Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seusai Sekolah

20 Juli 2015   08:58 Diperbarui: 20 Juli 2015   08:58 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen Himawan Pradipta

[caption caption=""Hutan Api" (sumber: deviantart)"][/caption]

Rasa takut menggerayangi sekujur tubuh saat bayangan matahari sudah memanjang. Atmosfer Tangerang dan suasana hatiku benar-benar sedang tak sependapat. Dengan malas kusampirkan tas di atas kepala untuk menghadang cahaya panas. Jalan pulang tampak berliku. Sepi. Hanya tiupan angin panas dan bunyi knalpot motor bebek yang mondar-mandir dengan pasokan sayur atau buah tergantung dalam jumlah besar di jok belakang, membuatnya terlihat seperti seonggok rambut keribo berjalan. Hening lagi. Tak terasa dua-tiga butir keringat meluncur pelan dari keningku, dan milyaran butir lain di dalam baju ini membuat wajahku kebas. Sedetik ingin kuberhenti dan kembali saja. Namun aku tak mau memicu lebih banyak masalah, tapi juga tak mau buru-buru pulang ke rumah.

Di halaman depan, ibu sedang duduk membaca Al-Quran. Tanpa menoleh, ia menjawab salamku lantaran aku merangsek masuk melewatinya. Tak ada senyum, tak ada “eh sudah pulang” atau “nggak bareng Ingga?” seperti tiga tahun belakangan. Sudahlah. Aku pun berpikir tak ada gunanya mendengar basa-basi semacam itu. Toh aku bukan bocah lagi sekarang. Sebelum masuk ke kamar, kuputar kepala agar bisa mendapati Ibu yang masih membelakangiku. Seiring dengan sinar yang mengemas, hangat yang dulu hadir menjalar pelan ke lubuk hati. Azan hampir bergaung. Ibu biasa akan melirik ke kamarku dan berkata “jangan lupa ganti baju, Mat” tanpa pernah mendengar tanggapanku. Aku hanya cukup menggumam tak jelas dan Ibu akan sudah melengos pergi, kembali ke siklus kehidupannya yang membosankan. Sekarang, ia sedang duduk di ruang keluarga membaca buku-buku tebal karya sejumlah alumnus perguruan tinggi Mesir. Kalau sudah begitu, tak ada yang boleh mengganggunya. Andai saja aku duduk di sana lebih awal, pasti aku sudah menonton film serial kesukaanku yang tayang tiap dua hari. Sempat kumembatin, memangnya apa sih menariknya lembaran-lembaran itu dibandingkan kubus kecil yang di dalamnya terdapat seluruh kebahagiaan duniawi? Aku berdecak heran. Suara sepatu sekolah bergelemetuk menuju pintu depan. Itu adik kecilku, Ezra. Ia cukup membuka percakapan dengan mengucap salam, dan Ibu akan menyerangnya dengan sederet omong kosong. Aku hanya bisa menggerutu dari dalam kamar.

Sepuluh menit menjelang ashar, aku harus siap-siap mandi. Namun belum sampai aku menanggalkan pakaian, mataku tertuju pada tas sekolah yang tergantung di pundak kursi belajar. Ada sesuatu yang ganjil di sana: resleting bagian depannya menganga lebar, padahal aku ingat betul sebelum bel pulang berdering, semua resleting sudah kututup rapat-rapat. Bagian belakang kuisi buku pelajaran, seikat mushaf, dan sepasang baju olahraga, bagian tengah dompet dan pengisi daya baterai ponsel, dan di bagian depan alat tulis, beberapa koin sisa uang jajan, dan sebuah korek api gas bekas milik Ingga. Aku pun berasumsi seseorang iseng membukanya diam-diam dan mencoba memasukkan sesuatu. Mungkin karena barang bawaanku yang tak terlalu banyak yang membuat tasku begitu enteng, sehingga tak terasa jika ada orang yang mencoba membuka atau melakukan sesuatu. Entahlah. Kudekati saja tas itu, dan, benar, secarik kertas putih yang dilipat dan dimasukkan secara tergesa-gesa menyembul keluar dari sana! Tulisan tangan bagus yang ditulis dengan krayon merah mendominasi pandangan:

“Richie ngamuk. Guru-guru tau.
Besok jangan masuk.”

Lewat bentuk hurufnya, dapat kuterka itu tulisan Ingga, teman sebangku sekaligus karibku. Segulung petir menyambar—kilatnya membutakanku sejenak. Aku sudah tau Richie akan marah, tapi aku sungguh tak menduga beritanya akan menyebar secepat itu. Aku tak tau harus bereaksi apa. Pikiranku berkelebat, bersama jantung yang berdegup tak beraturan. Kucoba tenangkan diri dan menarik napas sedalam yang kumampu. Sebenarnya, aku tak begitu peduli kalau Richie marah. Begitu juga dengan para guru. Mereka hanya pura-pura peduli dan lebih ingin tau tentang masalah-masalahku dibandingkan membantu mencarikan jalan keluarnya. Permasalahan sesungguhnya terletak pada kalimat terakhir di kertas itu. Kalau aku memang harus bolos sekolah besok, itu sama artinya dengan menabuh genderang perang. Semoga suasana hati Ayah sedang bagus malam ini.

***

TV berceloteh pelan. Benda itulah satu-satunya penyelamat kami dari kecanggungan yang membunuh. Sudah sepuluh menit sejak Ibu berkata, “yuk makan semua,” dan tak ada yang bicara setelahnya. Aku dan Ezra tengah memerhatikan Ibu yang sedang mengaduk-ngaduk nasi, meruapkan kepul panas wangi pandan kesukaan Ayah. Setelah itu, baru aku yang kebagian mengambil nasi. Ayah sudah lahap melumat kepala ikan tembak dari piringnya, sementara Ibu langsung menjejalkan setengah potong terong sambal ke dalam mulutnya yang sudah setengah terisi nasi. Di meja itu, kulihat sekat-sekat imajiner kasatmata yang membatasi ruang gerak kami, sehingga masing-masing orang, meskipun bisa saling melihat, tak bisa berkomunikasi satu sama lain, dan piring ini seperti portal menuju dunia lain yang kami ciptakan sendiri. Cukup dengan melihatnya. Klik! Kami semua sudah berada di tempat lain. Meskipun begitu, semua orang tampak tenang, kecuali aku. Apa yang harus kulakukan?

Tiga puluh menit setelahnya kurasa adalah waktu yang paling tepat untuk memulai pembicaraan. Kupisahkan bibirku.

“Mat…” Ayah justru yang memulai.

Aku tersedak air liur sendiri. Kutenangkan diri. “I-iya?” berharap Ayah akan membicarakan hal nonpersekolahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun