[caption id="attachment_331401" align="aligncenter" width="538" caption="Lukisan "][/caption]
Claire menaburkan serutan keju ke atas omeletnya lantaran Beau hampir menyerah merobek bungkus krim untuk dituangkan ke kopinya. Pembuluh tipis di kening pemuda itu menyemburat, dan saat darahnya mulai terpompa ke wajahnya, ia sadar upayanya sia-sia. Sejurus ia melihat sekeililingnya, memastikan bahwa semua orang sedang lengah. Beberapa di antara mereka fokus dengan makanan yang mengepulkan asap panas dari piringnya, sebelum akhirnya dijejalkan ke mulut mereka sambil ber-aahh kenikmatan dan kepanasan. Beberapa yang lain asyik mengobrol, menunggu pesanan datang. Kendati taburan keju di atas omelet Claire sudah menggunung, ia belum juga melahapnya. Justru, dengan hati-hati, ia menyeret gelas cola-nya lalu mereguknya sambil mengernyit. Di mata Beau, une omelette au fromage dan cola adalah kombinasi yang sangat jarang. Biasanya, Claire akan memesan makanan yang sama dengan un lait frappé atau teh manis. Itu paduan yang lebih akur untuk sebuah sarapan. Beau memikirkan hal itu ketika croque-monsieur yang tinggal seukuran ibu jarinya dipaksa masuk ke dalam mulutnya. Setengah jam lagi ia harus masuk kelas Survey of Contemporary Literature in French, dan ia tak mau terlambat. Tak apalah. Lagipula, jarang-jarang ia bisa menginjakkan kaki di restoran sebesar dan semewah itu. Ditambah lokasi restoran itu tidak terlalu jauh dari kampusnya.
Sementara piring Beau sudah klimis, Claire belum menampakkan sedikit ketertarikan pada pesanannya. Beau seketika menekuk alisnya dalam-dalam. Tanpa bahasa, ia menangkap kelopak mata Claire yang sayu bergetar perlahan, kulit kendur di pipinya tampak doyong, dan bibirnya yang gersang. Merasa diperhatikan, Claire tetiba mengguit garpu di sebelah kirinya. Alih-alih meraih omelet, ia malah membenamkan ujung garpunya ke dalam tumpukan keju, sebelum lantas diputar-putarnya hingga membuat piringnya tampak seperti pusaran putih yang tak beraturan. Mungkin ia butuh air bening.
“Garçon, s’il vous plaît! Mas!” sahut Beau, satu tangannya tergantung di udara.
Seorang laki-laki dalam busana khas Restaurant du Gourmet menghampiri meja mereka. Perawakannya seperti Sean Penn, hanya saja lebih kurus dan kulitnya lebih cerah.
“Désirez-vous, monsieur? Bisa saya bantu?”
“Donnez-moi une carafe d’eau; c’est tout. Saya minta air satu poci; itu saja.”
Sementara pelayan itu berbalik pergi, Beau menyeruput kopinya. Ia benamkan wajahnya ke dalam gelas setinggi satu jengkal itu dan melihat bayangan matanya sendiri terpantul dari air gelap, menguarkan asap perak yang hilang-timbul. Mata cokelat terangnya, bersatu dengan bayangannnya di dalam minumannya, tampak seperti jurang tak berdasar, seperti sebuah abyss, sebelum lantas dilemparkannya ke mata Claire yang lesu.
“Bu,” kata Beau, nadanya diatur serendah mungkin, “ibu gak makan?”
Claire mengangkat wajahnya, dan saat kedua mata mereka berpapasan, ia menunduk lagi.
“Aku nggak begitu lapar.” Volume suaranya begitu rendah sehingga tertelan bunyi bel pintu utama yang kini membelalak, menyembulkan dua wajah gadis Perancis yang tengah melangkah masuk sambil cekikikan. Apa yang dikatakannya barusan? tanya Beau dalam hati. Claire sengaja merendahkan volumenya—dari awal tampaknya ia tak tertarik untuk mengobrol. Peduli amat. Kalau Beau tak meresponsnya, bisa-bisa mereka berdua bergelimang lagi dalam kecanggungan yang membunuh, dan Beau tak mau membiarkan itu terjadi. Jadi, ia asal bicara saja:
“Makanlah! Ibu kurus dan tampak kurang protein. Lihat tuh mata Ibu.”
Sontak, Claire, dengan payah, menoleh ke jendela persis di sebelah kanannya, dan sesosok bayangan perempuan paruh baya jatuh tepat di atas retinanya. Lima detik ia terpaku, sebelum kemudian salah satu tangannya sudah mendarat di pipi kanannya. “Mon Dieu! Aku sekurus ini, ya?”
Beau menganggap pertanyaannya retoris, jadi ia pura-pura tak mendengarnya dengan mengalihkan pandang ke arah televisi yang tertempel di atas konter pemesanan. Di sana, terpampang gambar tiga laki-laki berusia dua puluhan berseragam tentara, masing-masing mengarak poster bertuliskan “LIBERTÉ!” di udara. Sekilas, wajah mereka tampak seperti orang Perancis, namun ada guratan spesifik yang begitu jelas pada air mukanya hingga membuat profilnya sedikit berbeda. Kelopak mata yang rendah seakan menyiratkan bahwa mereka telah mengalami penderitaan dalam waktu yang lama. Lamun dipikir ulang, tayangan ini sudah sejak sebulan yang lalu dipancarluaskan di layar kaca-layar kaca. Beau hanya bisa memerhatikan mereka dalam warna hitam dan putih, dengan mulut mereka dibuka lebar, dan alis mereka dikernyitkan sedemikian rupa sampai-sampai terkesan menyatu. Apa mereka orang Arab? Tunisia? Algeria? Beau tak begitu yakin.
Yang ia yakin adalah bahwa poster-poster yang dipasang sepanjang jalan menuju kampusnya merupakan poster yang persis dibawa para tentara di layar itu. Ia tak bisa menangkis perasaan terganggu akan poster-poster yang, belakangan, mulai menutupi jadwal pemberangkatan bus di dinding-dinding terminal. Alhasil, perjalanan pulang ke rumah menjadi tercekat. Petugas terminal, anehnya, malah membiarkan hal ini terjadi. Kalau sudah begini, yang bisa dilakukan Beau, dan orang-orang lainnya, adalah menunggu di terminal selama yang ia bisa hingga bus datang. Alternatifnya, kalau tidak naik taksi, ia harus berjalan kaki, dan mesti baru tiba di rumah sejam kemudian. Makan waktu betul! Perjalanan kampus-rumah tanpa macet padahal hanya memakan 25 menit.
Pernah suatu hari, ketika juga sedang menunggu bus pulang, seorang ibu diam-diam mencabut poster di dinding pengumuman terminal. Awalnya, upayanya tak berhasil karena gambar itu, asumsinya, dilem dengan alat kimia tertentu, seakan menyatu dengan catnya, tapi akhirnya berhasil tercerabut kendati meninggalkan gurat-gurat putih di sana-sini. Namun, tak lama kemudian, seorang polisi yang berdiri tak jauh dari terminal itu menghampiri si ibu dan menyuruhnya membayar beberapa francs di tempat itu juga—di depan semua orang di terminal. Beau pun tak bisa melupakan ayunan tangan polisi yang cukup kuat ke wajah ibu itu setelah sebelumnya beradu argumen hanya karena enggan membayarnya. Sejak kejadian itu, tak ada lagi yang berani “mencederai” poster itu, di manapun, kecuali, tentu saja, saat polisi sedang lengah, yang sepertinya tidak mungkin.
“Beau! Ça va? Sehat?” suara seorang gadis menyadarkan Beau.
“Ah, Julien!” ia satu dari dua gadis yang baru saja masuk ke restoran. Beau tetiba sumringah, “ça va. Et tu-as? Saya sehat. Kamu sendiri?”
Belum sempat dijawabnya, Beau mendapati ruang kosong di atas kelopak mata kanannya ditutup dua-tiga lembar berwarna putih pekat, direkat selotip. Sementara Julien tengah melontarkan basa-basinya, Beau memotong, “Étes-vous blessée? Kening kamu terluka?”
Menyadari keningnya dipelototi, Julien kikuk, “Oh, c’est jus’que je me suis cogné la tête. Oh, ini cuma terbentur,” sambil memegang keningnya.
“Ah bon? Oya?”
“Oui, ce n’est pas trop grave. Ne vous inquiétez pas. Iya, gak terlalu parah, kok. Tenang aja.”
Beau menekuk bibirnya, sebelum lantas ditariknya dan berujar, “d’accord. Vous devez en prendre soin. Oke deh, jangan sampe gak diobati, ya.”
Saat Julien beranjak ke mejanya, gaun yang membungkus seluruh tubuhnya menari-nari saat terhembus angin tipis dari jendela-jendela yang terbuka. Beau yakin tak ada laki-laki manapun yang tak terkesiap melihatnya.
“Beau?” kata Claire, akhirnya, “itu gadis yang sempat main ke rumah beberapa bulan lalu, kan?”
Beau mengatur posisi duduknya agar terlihat niat mengobrol, “Ya,” singkatnya.
“Oh. Bukannya dia berkerudung?”
Butuh tiga detik untuk memproses pertanyaan itu, namun dibersihkan tenggorokannya sekilat sebelum akhirnya menjawab, “ya sempat, tapi sejak ayahnya meninggal, dia memutuskan untuk membuka jilbabnya,” dan entah mengapa kalimatnya barusan membuatnya risau.
“Phew. Ibu masih ingat betul betapa cantiknya dia waktu itu,” matanya menerawang jauh ke luar jendela, “tapi sekarang, dia... dia kelihatan jauh lebih cantik,” lalu kembali fokus dengan telurnya.
Beau mengakui hal itu dalam diam. Entah dari mana, sebuncah perasaan menggelimang dalam hatinya memenuhi dadanya saat Claire mengucapkan itu, lebihnya lagi saat Julien meraba kemeja Mark & Spencer-nya sebelum kemudian berkata malu-mau “à plus tard!” ke arahnya. Lantaran berjuang untuk tidak tersenyum, ia malah mendapati Claire yang senyum-senyum sendiri. Beau tak yakin apa yang dilihatnya, jadi ia menoleh ke arah jendela, dan di sudut kiri jalan besar melihat empat banjar manusia—dua untuk laki-laki dan dua untuk perempuan; dewasa dan anak kecil—yang sedang mengantri, “diperiksa” tentara Perancis. Semua laki-laki digeledah, tapi perempuannya tidak. Sialnya lagi, para perempuan yang berkerudung tidak diperbolehkan melintasi garis imajiner untuk masuk ke suatu daerah yang dianggap “melewati batas”. Tanpa basa-basi, para tentara itu akan memberikan instruksi “minggir” bahkan tanpa sempat bersuara. Mereka, sementara itu, akan membentangkan tangan mereka lebar-lebar ketika mendapati perempuan yang tak berkerudung berada dalam barisan, langsung memperbolehkan lewat. Apalagi jika pakaian dan tata rambut mereka menarik, maka, tanpa disuruhpun, mereka akan bebas saja melengos “masuk” ke kota.
Beau menghembuskan napas panjang, jengah karena hampir setiap hari mendapati fenomena itu. Mau tak mau ia pun kembali menoleh ke arah Claire. Tak ada yang berubah; ia masih tersenyum simpul. Apa yang salah sih? Apa karena Claire berhasil memuji Julien barusan di hadapan Beau? Lantas, buat apa juga kalau begitu? Agar Beau mengatakan “aku setuju denganmu” lalu mereka bisa melanjutkan perbincangan dengan lebih luwes? Itu akan jadi alasan yang konyol. Beau pun berasumsi bahwa Claire kini tengah menunggu mulut Beau membuka untuk mengatakan kalimat itu. Kalimat persetujuan itu. Ya ampun! Memangnya sudah berapa lama mereka memilih untuk tidak sependapat satu sama lain?
***
Beau teringat empat tahun ke belakang, 1947, saat dirinya baru lulus dari sekolah lanjutan atas di Jakarta dan harus memutuskan untuk tinggal atau ikut orangtuanya ke Perancis. Awalnya, ia berpikir bahwa itu adalah skema hidup yang fantastis; ayahnya mendapatkan kenaikan pangkat, dan, juga, nama negara itu merupakan satu dari nama-nama lain yang selalu disebut dalam doanya. Tak hanya teman-teman tetapi juga para guru di sekolahnya bahkan sampai mengirimkan kartu ucapan “selamat jalan” atau “semoga sukses” untuknya. Jelaslah. Seorang murid SMA yang baru diumumkan lulus dan pergi ke Perancis sementara teman-temannya yang lain masih beristirahat lepas Ujian Nasional, merupakan kans satu persejuta saat itu. Ia sendiri sebetulnya tak pernah menginginkan hal ini, di”pandang” sebegitunya oleh orang-orang yang bahkan tidak sekalipun ia sapa atau menyapanya di sekolah.
Mereka tidak tau bahwa malam-malam yang Beau lewatkan dihabiskannya mendengar adu mulut ringan antara ayah dan ibunya. Dari balik pintu kamar, ia bisa menguping:
“Pak, gimana dengan anak kita? Coba pikirkan dulu matang-matang.”
“Bagaimana dengan anak kita?” suaranya naik setengah dari sebelumnya, “ya gak gimana-gimana, Bu. Dia kan juga baru lulus SMA, timing-nya tepat, gak ada salahnya lah kalau dia, apa, bereksplorasi?”
Ada dua detik jeda, dan suara ibu tetap stabil, “masalahnya bukan dia baru lulus atau timing, Pak. Tapi itu tuh Perancis! Bapak tau sendiri gaya hidup mereka kayak gimana.”
“Aduh, tolong jangan sempit begitu Bu cara pandangnya. Di sana masih ada kok masjid, masih banyak pemuda yang bisa jaga diri, kalo Bapak gak keliru, di sana ada komunitas muslim juga—”
“Lalu gimana perempuannya?” ibu memotong, “mereka bisa jaga diri kah? Bapak bisa jamin apa?”
Di atas ranjang, Beau tepekur, bertasbih melihat serakan bintang yang mengintip sungkan di balik dedaunan. Ia hanya tak tahan melihat Ibu yang begitu persisten agar anak tunggalnya tidak ikut, ditambah menaikkan suara sambil mengotot, hal yang tak pernah dilakukannya sebelum malam ini. Beau kini sedang meniti jembatan tipis yang membunuhnya pelan-pelan. Di seberang sana, ada mimpi besarnya: Perancis, di belakangnya ada kepenatan Jakarta yang belum mau ia tinggalkan, sementara di bawahnya bergejolak rasa malu yang begitu besar yang disulut teman-temannya dan orang-orang yang lain, kalau-kalau ia tidak jadi pergi ke Perancis. Hingga, pilihan yang diambilnya saat itu adalah berdiri saja di tengah-tengah, diam tertelan waktu, dan membiarkan terali tipis di bawah kakinya mengirisnya dengan lamban, memupuskannya dalam jangka peristiwa.
“Hey,” suara tipis dari balik pintu terbersit di telinga Beau, yang sekarang sudah dijejalkan headphone. Ia tau itu ibunya namun menahan matanya agar tak terbuka, pura-pura terlelap. Ibunya melangkah masuk dan melepaskan headphone dari kepalanya, mendapati bahwa tak ada suara apa-apa dari sana. “Eh, pura-pura tidur ya?”
Tak ada jawaban. Beau merapatkan tubuhnya ke guling di sebelahnya saat ibunya mendesah lemah.
“Nak,” suaranya dekat, “jangan pergi, ya,” kata ibunya sebelum melengos keluar. Tepat ketika bunyi “klik” pintu terdengar, Beau mengusap air mata di pipinya.
***
“Monsieur, c’est votre boisson. Tuan, ini minuman Anda,” pelayan itu baru datang, “Y-a-t-il les autres que vous voulez? Ada lagi yang ingin Anda pesan?”
“Non, merci. Nggak, makasih,” kata Beau tanpa menoleh. Seketika, Claire langsung merenggut botol itu dan mereguknya tak sabar hingga suara glek glek glek dari kerongkongannya terdengar kentara di antara bising suara mulut.
Saat Beau tengah bertukar tatap dengan Julien yang tak jauh dari mejanya, omelet Claire hampir habis. Ia mengunyah makanan kuning pucat itu tanpa bergerak ketika matanya menangkap sesuatu di wajah Beau. Setahun belakangan, ia bertransformasi menjadi seseorang yang hampir asing. Dengan gaji ayahnya, ia mulai membeli barang-barang merk Eropa, dari pakaian, ransel, jam tangan, bahkan hingga bingkai kacamata. Ini membuat Claire tak sanggup untuk tidak ikut-ikutan, mengingat ia satu-satunya wali Beau yang biasa diundang hadir dalam pertemuan kampus dengan orangtua mahasiswa. Siapa juga yang sanggup dipelototi lama-lama ketika si anak mengenakan atasan Versace dan ibunya mengenakan setelan, misalnya, kebaya yang kurang dikenal di Perancis? Meski Claire tau pakaiannya punya merek sendiri, ia sadar itu tidak cukup. Ditambah, Beau anak yang prestatif di kampus, sehingga kalau ia diminta berpidato, maka kemungkinan besar, meski tidak selalu, Claire juga dimintai, kalau kata mereka, “pendapat”nya sendiri.
Belakangan, Beau juga mulai rajin berolahraga, membentuk tubuhnya. Ia kerap pulang larut malam dari kampus untuk pergi ke gym, setidaknya begitu yang Claire tau. Lebihnya, ia mulai membeli minyak rambut, aroma mulut, dan parfum merek Bvlgari beberapa kali dalam sebulan. Itu, setelah Claire hitung-hitung, sepadan dengan jumlah seluruh jatah belanjanya selama setahun. Dieu! Belum selesai, klimaksnya adalah saat malam ulangtahun Beau ke-20 sebulan yang lalu. Ia mengatakan ingin pindah ke sebuah apartemen mewah tidak jauh dari kampusnya, yang padahal cukup jauh dari rumah ayahnya, sebagai hadiah. Jelas saja, Claire tak mengijinkan. Di umurnya yang menginjak akhir lima puluh, ia, bisa dibilang, bisa bebas bernapas sekarang karena suaminya. Sengaja ia memutuskan tidak bekerja mengingat penghasilan suaminya yang sudah mapan untuk penghidupan. Oh, bukannya ia tak ingin bekerja, tapi jenis pekerjaan apa yang akan menerima seorang perempuan yang berkerudung? Ditambah, jika Beau juga pergi, maka siapa lagi yang akan mengurusnya?
Claire kembali menegak cola-nya ketika ia memerhatikan cara Beau berpakaian yang cenderung “metropolitan.” Tanpa mengenakan baju dalam, Beau membiarkan dua kancing teratas kemeja lengan pendeknya terbuka begitu saja, memperlihatkan otot dadanya menyembul keluar. Juga, bagian lengan kemejanya diangkat hingga dua-tiga lipatan, mempertegas bisep hasil upayanya di gym. Cara duduknya pun lebih santai; ia lebih nyaman bersandar dengan matanya yang berkeliaran. Saat berjalan, tubuhnya yang tegap dan tinggi akan bergerak stabil ke kiri dan ke kanan, membentuk citra lelakinya sedemikian rupa. Orang lain yang baru pertama kali melihatnya pasti akan menganggapnya pemuda asli Perancis.
Sesekali Claire berpikir bahwa ia bisa jatuh cinta dengan Beau, secara seksual, tapi itu mustahil. Sebelum berangan lebih jauh, ia pun mempertemukan matanya, dan sesuatu di balik kedua pupil Beau yang terpatri ke dalam pupil Julien, seakan berkata, “aku mau kau!”
“Maman, vous se direz encore! Bu, Ibu ngomong sendiri lagi!” sergah sebuah suara.
Claire bergidik, “Je ne dit rien. Ibu gak ngomong apa-apa ah.”
Beau menunduk. Un café crѐme yang dipesannya butuh tiga atau empat regukan lagi sebelum benar-benar habis. Alih-alih meminumnya, ia ber-aduh pelan saat jam tangannya menunjukkan pukul 11.25.
“Mau pergi sekarang?” kata Claire.
“Ya. Gapapa kan? Kelasnya jam 11.40, Bu.”
Claire mendongak, “garçon!” dan pramusaji yang sama menghampiri kami; perempuan paruh baya itu melanjutkan, “apportez-nous l’addition, s’il vous plaît. Kami minta bonnya ya.”
Beau mengenakan tasnya sebelum mendatangi meja Julien dan membungkuk untuk membisikkan sesuatu kepadanya. Suara cekikik pelan mereka lantas melebur dengan bunyi denting garpu dan pisau dari meja lain, tak menyisakan ruang kosong di langit-langit restoran untuk sebersit pun keheningan. Claire, tak enak, menghindari pemandangan itu dengan mengeluarkan 90 francs dari dompetnya. Saat Beau kembali, ia segera berdiri pas setelah pramusaji menerima uangnya, dan kemudian berjalan menuju pintu utama restoran.
Tatapan mereka lurus; mulut mereka terkunci. Saat melihat penjaga pintu di depan mereka sudah membukakan pintu, langkah Claire tercekat. Beau, yang selangkah di depannya, menahan kakinya untuk terus melaju. Ia menggeser tubuhnya ketika tiga remaja laki-laki berpenampilan necis masuk ke restoran. Claire tetap tak bergerak. Lengan kanannya yang menyampir tas merah tampak bergetar. Sepotong bibirnya terbuka.
“Nak, duluanlah. Kau nanti telat,”
“Ibu gapapa?” kata Beau.
Claire hanya mengangguk lemah sebelum Beau melengos pergi. Ia merasa tak ingin pergi cepat-cepat. Lagipula, sehabis ini ia tak punya rencana lagi. Jadi, ia putar tubuhnya, dan ketika beberapa orang memerhatikannya berjalan, ia rendahkan wajahnya. “Syukurlah,” bisiknya diam-diam saat mendapati mejanya belum ditempati orang. Segera, ia menempatkan dirinya di kursi Beau. Piring dan gelasnya masih belum dibereskan, tapi ia yakin sebentar lagi pramusaji akan membersihkannya. Ia menoleh ke luar lewat jendela dan sebongkah wajah menatap balik ke arahnya. Terpantul seorang perempuan yang rambutnya digelung tinggi dan terlihat sangat jelas kalau ia habis meminyaki rambutnya, sehingga akan mengilap saat diterpa cahaya. Meski tak dirias, wajahnya tetap bersih. Hanya lipstik merah jambu yang tak terlalu mencrang melapisi bibirnya yang penuh. Selain itu, semuanya tampak alami.
Claire mengalihkan fokusnya ke luar sana, ke kehidupan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Perempuan paruh baya berkebangsaan Perancis yang tak bersuami. Ya Tuhan, ia bergumam sendiri. Seketika cahaya yang dibiaskan matahari melalui jendela itu membutakannya, membuatnya menyipit. Dalam spektrum putih yang baur, dari sela-sela matanya, ia mengandaikan empat tahun yang lalu dirinya tak ikut suaminya ke sini—ke Negeri Cahaya. Ia mungkin saja bisa bertahan. Tapi Beau? Ia hanya bocah berumur 16 tahun yang begitu rentan akan segala hal. Dengan begitu mudahnya ia bisa terjerumus dalam kemaksiatan dan kehancuran. Aku tau betul suamiku akan jarang di rumah, hanya pulang sebulan dua kali, dan Beau akan sendirian di apartemennya, bebas melakukan apapun. Apa yang terjadi jika, entah kalau pernah, seorang perempuan tertarik padanya dan hendak bermaksiat dengan Beau? Ya Allah, Claire tak henti-hentinya ber-istighfar. Walhasil, di sinilah ia sekarang, berharap bisa membimbingnya seperti hari-hari tua.
Di mejanya, yang sekarang sudah bersih, Claire masih melihat ke luar dengan perasaan nelangsa, dan perasaan takut mulai menggerayangi seluruh bulu kuduknya. Suara konversasi, denting piring, dentang 12 kali dari jam utama, dan speker di TV membaur menjadi satu.
Ia palingkan kepalanya dari jendela, menyahut, “garçon!” dan pramusaji yang sama melangkah mendekat. Ia membungkuk, tak melepaskan pandangan:
“Qu’est-ce que tu prends, madame? Anda mau pesan apa, Nyonya?”
“Je prends... saya mau...” kata-katanya tersumbat, tanpa melihat menu di depannya, “um... Je prends—oh! Attendre, saya mau—oh! Sebentar,” ia angkat telunjuknya, “Je—saya—”
“—n’est-ce pas? Bukankah begitu?” kata pramusaji itu,
sambil tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H