Namanya Mpok, begitu ia biasa dipanggil. Ia sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahku selama hampir 11 tahun. Sungguh tak terasa. Seolah-olah ia hadir baru kemarin. Terasa sekilas saja, lalu uban-uban mulai menggelayut di kepalanya. Kerutan garis wajahnya pun sudah mulai menegaskan rautnya yang menua. Jika boleh mengira-ngira, umurnya sekitar 35 tahunan lah. Wajahnya teduh, dan mirip salah seorang tokoh terkemuka yang pernah meramaikan ranah politik negeri ini, Rieke Dyah Pitaloka. Hmm... Bisa dibayangkan bagaimana cantiknya he he. Hanya satu yang membuatnya tak serupa: tahi lalatnya yang bertengger di bawah dagunya. Dan...ia tampak sedikit lebih lusuh, sedikit lebih lelah, dan...sedikit lebih kurang menarik dibandingkan si Rieke itu.
Di rumahku, ia tidak hanya bekerja--menyapu, mengepel, mencuci pakaian, dan hal-hal lainnya, tetapi juga mengasuhku. Ia datang ke rumah hanya pagi hari, dari pukul 6.30 hingga menjelang pukul 9. Sementara Ibu pergi ke kantor dan tak ada yang mengurus keperluan rumah, ia hadir mewarnai hari-hariku yang sepi di rumah. Meskipun begitu, cintanya terhadap 7 orang (kalau aku tak keliru) anaknya tidak berkurang sedikitpun. Belakangan, ia dikabarkan melahirkan seorang anak laki-laki, yang aku lupa namanya. Sungguh tak bisa kubayangkan betapa pontang-panting ia harus menjalani hidupnya sekarang: bekerja di dua rumah sekaligus, tapi di saat yang bersamaan juga harus berfokus pada kebutuhan anak-anak serta suaminya, dan yang terpenting, kebutuhan untuk dirinya sendiri.
Sepuluh tahun yang lalu, aku belum mengenalnya sedekat sekarang. Ia belum berani membentakku jika aku terlalu lama berada di kamar mandi, atau membentakku ketika aku sulit disuruh untuk membereskan tempat tidurku, atau bahkan membentakku karena aku sering mengagetkannya diam-diam. Sekarang, kami sudah jauh lebih terbuka satu sama lain. Setiap kali ada waktu senggang, aku selalu menghampirinya ke ruang setrika. Sekadar saling menanyakan kabar atau justru ngobrol panjang lebar. Aku tak pernah merasa bosan berbicara dengannya. Ia selalu terlihat jujur, apa adanya, dan santun. Sebagai orang yang tidak seberuntung aku secara finansial, ia masih mampu untuk terus mempertahankan senyumnya ketika aku menyapanya. Mpok...
Terkadang, aku sedih melihat kedua saudaraku menertawakan atau mencemooh tingkahnya. Mengingat kemampuan pendengaran Mpok yang sudah menurun, membuat saudara-saudaraku memiliki bahan guyonan yang renyah. Ketidakmampuannya mendengar secara efektif membuatnya harus "membaca bibir" agar bisa memahami ucapan seseorang. Mau tidak mau, kami pun harus memperhatikan cara kami berujar agar antara kami dan dia tidak terjadi kesalahpahaman.
Pagi ini, ia bercerita tentang sesuatu yang membuatku terenyuh.
Beberapa hari sebelumnya, ia mengendap-ngendap menarikku, dan mengatakan, "Wan...Mpok pinjem uang," katanya. Aku menjawab, "berapa? untuk apa?"
"Lima puluh ribu aja.."
Ia terdiam sejenak. Pandangannya takut-takut, seolah-olah sedang mencari kata yang tepat untuk pertanyaanku yang kedua.
"Untuk bayar hutang..." ujarnya akhirnya, ragu.
Sangat disayangkan aku belum menarik uangku dari bank. Andai aku memiliki beberapa uang di dompet, pasti akan kuberikan uang dengan jumlah yang ia minta. Tapi tidak. Aku merasa sedikit bersalah melihat mimik wajahnya, beberapa saat setelah aku menolak permintaannya, yang terlihat agak murung. Ia pun pulang, meskipun begitu, dengan senyum berbinar di bibirnya...
...tapi tidak di matanya.