Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal "Hikikomori": Sindrom Mengurung Diri Masyarakat Jepang

10 Juli 2015   21:58 Diperbarui: 10 Juli 2015   21:58 4037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah fenomena ganjil yang terjadi di Jepang benar-benar menghantui saya. Pada sebuah kolom kecil di Koran Sindo edisi Jumat, 10 Juli 2015, tampak sebingkai foto yang menampilkan seorang remaja laki-laki di kamarnya dengan kondisi yang sangat berantakan. Ia terlihat sedang tidur di bawah selimutnya, dengan sejumlah makanan dan minuman kemasan di sekitarnya yang pating mblarah. Asumsi saya pertama kali saat melihat foto itu adalah Jepang terkena gempa bumi lagi, ternyata saya keliru. Itu adalah gambar seorang remaja pengidap sindrom Hikikomori. Layaknya gempa bumi, sindrom yang menyerang self-esteem pengidapnya ini mengguncangkan tak hanya Negeri Matahari tetapi juga, kemungkinan besar, seluruh dunia.

Hikikomori merupakan aktivitas mengurung diri dalam sebuah ruangan dalam kurun waktu tertentu. Sindrom yang sudah menyebar sejak tahun 1990-an ini mulai "menyerang" anak-anak muda berusia 15 tahun, setidaknya pada waktu itu. Penyebabnya bermacam-macam (kebanyakan bisa bersifat sangat personal), beberapa di antaranya adalah mendapat nilai buruk di sekolah, patah hati, dan bahkan ditekan orangtua untuk tujuan tertentu. Seorang remaja Jepang yang diwawancarai BBC mengaku bahwa ia "menjadi takut untuk pergi keluar dan bertemu orang." Beberapa yang lain menyatakan bahwa mereka "tersiksa secara batin" karena dipaksa masuk ke perguruan tinggi tertentu keinginan orangtuanya dengan jurusan yang tidak sama sekali diminati remaja tersebut.

Tahun 2010, sindrom ini berkembang dengan ganas. Sepuluh tahun sejak awal kemunculannya, ia tak hanya menyerang remaja umur 15 tahun, tetapi juga laki-laki umur 21 tahun dan 32 tahun. Mereka yang sudah bekerja dan berpenghasilan tidak menjadi pengecualian. Mengejutkannya, saat ditanya apa yang biasa mereka lakukan saat mengurung diri, mereka menjawab bahwa mereka hanya "tidur dan menonton TV" terus-menerus guna membunuh waktu. Kasus yang lebih parah bahkan ada yang mengais-ngais di tubuh ibunya, atau dalam bahasa Jawa ngelendot, karena berada di bawah pengaruh obsesi dan paranoia terhadap dunia di sekelilingnya.

[caption caption="Ilustrasi Pengidap Hikikomori (sumber: bp blogspot)"][/caption]

Jika ditelisik lebih dekat, penyebab sindrom ini bersinggungan dengan dua aspek penting, yaitu kebutuhan berprestasi yang tak terpenuhi dan hubungan kekerabatan antaranggota keluarga yang kacau.

Pertama-tama, kejadian ini berkaitan erat dengan fakta bahwa Jepang merupakan satu dari berbagai negara maju yang ada di dunia. Jiwa persaingan terhadap negara-negara maju lain tumbuh pesat dalam mental para penduduknya, dan ini memicu mereka untuk terus menampilkan performa tanpa cacat, bermutu, dan inspiratif bagi orang-orang di sekitarnya. Baik para pekerja di perusahaan, mahasiswa atau siswa di sekolah, maupun rakyat biasa, berupaya sebaik-baiknya agar menghasilkan karya dalam bentuk apapun. Upaya mereka itu pun sejalan dengan argumen McClelland yang menyatakan bahwa "masyarakat Barat rata-rata memiliki need for achievement yang tinggi, yaitu keinginan kuat untuk mencapai prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan berpikir dan berusaha menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki mutu kerja" (2011). Kebutuhan berprestasi para penduduk yang tinggal di negara-negara maju, dalam kasus ini negeri Jepang, begitu tinggi sehingga kegagalan atau kecacatan yang terjadi dalam etos kerja mereka akan berdampak pada kehancuran diri (self-destruction). Tengok saja angka kasus bunuh diri di Jepang yang tercatat selama satu dekade belakangan. Kebanyakan faktornya adalah karena mereka dipecat dari pekerjaan atau karena hal-hal lain yang meruntuhkan rasa percaya diri atau martabat mereka sebagai manusia di mata manusia lainnya.

Kedua, berbicara tentang harga diri orang Jepang berarti juga berbicara tentang hubungan antaranggota keluarganya. Mengutip Budi Radjab, Fukuyama berpendapat bahwa hubungan familial di negara-negara Asia Timur, spesifiknya Cina, merupakan aspek fundamental untuk membangun kepercayaan sosial (social trust) dalam diri masyarakatnya. Ia pun melanjutkan hubungan kekerabatan yang kuat juga mampu menciptakan modal sosial dan berpengaruh pada pengembangan kognitif dan sosial anak. Dalam kasus Hikikomori, seorang ayah atau anak yang mengalami distorsi semacam itu tentu akan mengganggu sistem yang sudah terbentuk secara mapan dalam keluarga tersebut. Dalam sebuah contoh, seorang Ibu yang anaknya mengidap Hikikomori meninggalkan makanan di depan pintu kamar anaknya tanpa melakukan kontak verbal atau komunikasi secara lisan, dan, mengerikannya, anggota keluarga yang lain merasa hal itu baik-baik saja, karena mereka tak tau lagi harus melakukan apa. Walhasil, keluarga ini mengalami apa yang disebut dengan krisis identitas. Tak hanya si anak itu saja, tetapi seluruh keluarganya. Mereka merasa kurang percaya diri ketika bertemu dengan teman atau kerabat yang (siapa tau) tiba-tiba menanyakan kabar anaknya atau di mana anaknya menuntut ilmu atau bekerja sekarang. Walhasil, beberapa dari mereka memutuskan untuk menetap di rumah dan berkarya di ruang domestik.

Sungguh ironis melihat generasi muda di salah satu negeri pengekspor terbesar di dunia, menyikapi kegagalan dengan mengurung diri di kamar dalam waktu tertentu. Padahal, menurut BBC lagi, mayoritas pengidap hikikomori ini, selain laki-laki, berasal dari masyarakat kalangan menengah ke atas. Ini menjadi suatu pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran saya: memangnya apa lagi yang kurang bagi seorang yang hidup dalam golongan menengah ke atas? Semuanya serba cukup. Uang cukup. Papan, sandang, dan pangan dengan mudah bisa terpenuhi dengan sekejap. Mereka tak perlu berusaha keras untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saya pikir minimnya kesadaran akan Tuhan sebagai penjamin kebahagiaan yang ultimatum-lah yang menyebabkan ini semua, yang secara tidak langsung menjadi faktor tambahan disamping dua yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Faktor lain seperti kondisi mental remaja yang masih labil mungkin bisa diikutsertakan, namun menurut saya yang paling mendasar adalah faktor agama. Prestasi dan hubungan dengan keluarga yang sukses mungkin bisa dicapai, namun itu hanya mampu memenuhi kebutuhan duniawi. Tanpa agama, semua itu akan pincang, seperti kata Einstein. Tanpa adanya kesadaran diri yang kuat bahwa Tuhan sudah menjamin semuanya, sudah mengatur semuanya sedemikian rupa, maka kita tak bisa berbuat banyak. Seperti para pengidap Hikikomori, tanpa pegangan hidup yang kuat, maka kita tak akan bertemu siapa-siapa, kecuali penyesalan dan kesia-siaan.

 

Referensi

William Kremer dan Claudia Hammond, 2013. Hikikomori: Why Are So Many Japanese Men Refusing to Leave Their Rooms? http://www.bbc.com/news/magazine-23182523

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun