Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Toga Berwarna Hitam?

23 September 2014   22:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:48 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://seragam-sekolah.com/wp-content/uploads/Tog.jpg

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="sumber: seragam-sekolah.com"][/caption]

”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (H.R. Ibnu Abdil Barr)

Pertanyaan itu terngiang-ngiang sejak saya menginjak tahun ketiga menjadi mahasiswa. Sekitar sebulan yang lalu, tim dokumentasi Universitas Padjadjaran mengunggah foto-foto wisuda para senior di Graha Sanusi, tempat para mahasiswa di"lepas," dan sebuah pertanyaan terlintas. Sebelumnya, saya tak pernah memerhatikan warna gordom atau graduation cap yang selalu dikenakan sebagai atribut sakral. Ya, kalau hitam terus kenapa? pikir saya. Tetapi kemudian, pertanyaan barusan menjadi ciut dan tak ada apa-apanya setelah saya membaca buku "Api Sejarah"karya Ahmad Mansyur Suryanegara. Di dalamnya, ternyata esensi warna hitam, bahkan bentuk toganya itu sendiri, menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik, yang banyak dari kita, termasuk saya awalnya, mungkin sering luput. Toga yang kita kenal sekarang adalah sebuah topi hitam bertali yang dikenakan para wisudawan di sebuah pendidikan tinggi pada hari kelulusan. Tidak hanya itu, mereka juga wajib mengenakan gordom, atau baju wisuda, yang kita kenal sebagai kain hitam panjang yang menutup bagian atas tubuh. Tanpa kedua atribut tersebut, sepertinya upacara "pelepasan" wisudawan menjadi kurang sakral jatuhnya. Berbicara mengenai sakral, mungkin banyak dari para wisudawan kurang peduli atau bahkan abai tentang esensi penggunaan kedua atribut tadi. Yang mereka pedulikan hanyalah ukurannya berapa, asal nyaman dikenakan, lebihnya lagi kalau bisa menunjang penampilan agar terlihat lebih "gagah." Mereka lupa bahwa warna hitam di pakaian yang mereka kenakan memiliki nuansa filosofis tersendiri, yang padahal bisa menjadi sangat sakral. Dalam bukunya, Ahmad Mansyur juga menjelaskan bahwa 'toga' merupakan istilah yang diserap dari bahasa Latin. Sebelumnya, istilah yang mereka gunakan adalah jubah, yang berasal dari bahasa Arab. Kata jubah yang sudah melekat dalam benak orang-orang Arab berarti sesuatu yang menutup diri agar terlindung dari ketertinggalan, kebodohan, dan kelalaian. Sementara itu, istilah ini dianggap terlalu agamis dan ritualis oleh kelompok orang pada umumnya di belahan dunia yang lain, sehingga konvensi yang terbentuk untuk atribut kepala itu menjadi Toga. Di benak orang-orang Indonesia, justru menjadi agak unik. Toga, yang sebelumnya jubah, merupakan atribut untuk di kepala; jubah, di sisi lain, untuk menutup tubuh, yang secara esensiil masuk ke dalam lingkup pengertian kata "jubah" itu sendiri. Dari segi peristilahan, Ahmad Mansyur melanjutkan bahwa warna hitam toga/jubah merupakan representasi kiswah (kain penutup/selubung) Ka'bah. Dari segi bahannya, meskipun masing-masing toga di daerah tertentu berbeda, kebanyakan toga/jubah terbuat dari kain khusus yang sama dengan kain untuk Kiswah. Tidak hanya itu, dulu, bentuk toga adalah segi empat, yang juga merupakan representasi dari bangunan Ka'bah itu sendiri. Kemudian, pertanyaan selanjutnya: lalu maksudnya apa? Kain penutup Ka'bah yang juga berwarna hitam merupakan simbol "kekotoran" (hati), yang kemudian relevan dengan simbol kepasrahan seseorang pada Allah. Kepercayaan yang terbentuk dalam masyarakat Arab pada masa itu adalah dengan kotornya hati manusia, maka manusia tersebut akan terus menerus membersihkannya, tak kenal waktu dan tempat, mengingat jika debu menempel pada kain hitam, maka manusia itu tak akan memerhatikan bahwa ada debu yang hinggap di pakaiannya. Debunya takkan kelihatan! Maka, dia akan menjadi manusia "utuh" yang dengan rutin membersihkan hatinya. Begitu pula ke konteks hitamnya toga para wisudawan. Lulus dari sebuah institusi pendidikan, dan diterjunkan ke sebuah medan liar bernama masyarakat, para wisudawan "diharapkan" mampu memiliki bekal tersendiri untuk melawan dan melewati godaan luar biasa yang hilang-timbul. Atribut-atribut yang dilekatkannya saat hari kelulusan merupakan tanda distingtif bahwa terdapat makna hidup yang luar biasa dari pakaian yang dikenakannya. Baik toga maupun gordomnya seakan membayar lunas semua perjuangan, berapa banyak pertemuan dengan dosen pembimbing, waktu yang dihabiskan untuk bermalam, atau, misalnya, berapa gelas kopi yang diteguk agar mata tetap terjaga. Dengan topi dan jubah yang dikenakan saat Hari H seseorang menempuh kehidupan akademisnya, ia membawa misi besar untuk dipertanggungjawabkan. Itulah mengapa momentum wisuda menjadi momen-momen yang mengharukan, menghanyutkan, bahkan mungkin menyiksa bagi sebagian orang. Mereka tak sanggup melewati tiap detik ketika pembawa acara mengumumkan nama mereka di depan para wisudawan lain dan, khususnya, orangtua/wali mereka sendiri. Ada getaran tersendiri yang meninggalkan bekas yang indah di hati masing-masing para wisudawan saat hari itu tiba, menyaksikan diri mereka sendiri bahwa dengan toga dan gordom yang mereka kenakan saat itu merupakan simbol, tidak hanya sebagai lulusnya mereka dari ujian guna meraih gelar dan diakui sebagai seorang akademisi, tetapi juga sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka di hadapan Allah kelak. Hippocrates pun menambahkan dalam sumpahnya,

Now if I carry out this oath, and break it not, may I gain for ever reputation among all men for my life and for my art; but if I transgress it and forswear myself, may the opposite befall me. Apabila saya menjalankan sumpah ini, dan tidak melanggarnya, semoga saya bertambah reputasi dimasyarakat untuk hidup dan ilmu saya, akan tetapi bila saya melanggarnya, semoga yang berlawanan yang terjadi;

yang kemudian didalilkan menjadi sumpah untuk para wisudawan bidang kedokteran. Sekarang, kita sudah tau dan mungkin mencoba merenungi waktu-waktu yang sudah atau akan dilewatkan untuk hari wisudanya masing-masing, dan kita juga sudah tau bahwa hitamnya toga dan gordom, dan bentuk toga yang dulu segi empat, berkiblat pada Ka'bah. Pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa kemudian di Indonesia, meskipun warnanya masih hitam, bentuk toganya menjadi segi lima? Salam, Himawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun