Cerpen Himawan Pradipta
Kawung Nawulan, 1959.
Berbalut sarung yang terangkat sedikit sampai di bawah lutut, peci yang oleng, dan baju koko yang dikancing tak sejalan, aku dan yang lainnya mulai jengah menunggu. Kami tak tau persis jam berapa saat itu, yang jelas matahari sudah tenggelam. Di langit terpampang serpihan awan panjang-panjang yang dihantui selingan garis ungu mengilap, baur dengan gerimis yang hilang-timbul, hingga horizon tampak seperti sebilah kaca berbahan kristal yang terendam dalam air keruh. Ini Sabtu kliwon pertama di bulan Januari, dan sebentar lagi hujan akan jadi kawan pelipur lara sampai pagi menjelang. Kata Pa’, air dari langit artinya rahmat berlimpah, yang mampu menggerus dosa para penduduk kampung dalam semalam. Tapi kata ibu tiriku, hujan bisa juga petaka, karena tak ada yang pernah benar-benar tau, apakah yang dibawa turun bersamanya adalah air atau darah.
Aku tak pernah percaya takhayul, atau cerita Para Panguhur. Pa’ bilang lagi bahwa segala sesuatu yang keluar dari mulut manusia itu biasanya bohong dan penuh tipu. Namun apa mau dikata, penduduk kampung ini mungkin sudah terlanjur termakan kitab-kitab suci jaman dulu dan meyakinkan diri bahwa semuanya hanya omong kosong, hingga pada ujungnya tradisilah yang turun tangan menentukan iya atau tidak, baik atau hina, pantas dipuja atau dicerca. Kendatipun, seperti pemuda lain yang kukenal, aku hanya bisa pura-pura percaya.
Maka tetap kusangkal diri sendiri keinginan untuk kabur dari ritual ini, mencari sepuluh ribu alasan yang kadang bagiku sendiri tak masuk akal, meskipun itu tak akan mungkin terjadi. Kalau pun mau, sebenarnya aku bisa saja. Tapi aku akan ditanya oleh orang rumah: “udah bisa? Udah lihat apa saja?” sebelum kemudian oleh orang sekampung dan teman-teman sekolah. Tapi ya sudahlah, kulakukan saja apa yang harus kulakukan. Rasanya terlalu muluk kalau boleh berharap banyak malam ini, karena aku benar-benar tak niat. Untunglah, tak seperti yang lain, aku datang seorang diri, dan berhasil mendapatkan posisi yang nyaman untuk ngintit Para Pengatas yang akan salat di surau. Jadi, aku bisa mengumpat diam-diam kalau mendapati sesuatu yang benar-benar tak logis terjadi malam ini.
Tapi, sejauh ini, semuanya berjalan baik-baik saja. Yah, setidaknya sejak 35 menit yang lalu. Aku terus asyik menontoni Para Pengatas bertakbir, rukuk, sujud, hingga berdiri lagi, sama seperti yang biasa kulakukan. Ini sudah rakaat ketiga, dan belum juga terjadi sesuatu yang aneh. Sialan! Aku bertanya-tanya dalam hati dari tadi: apa yang lain sudah lihat sesuatu? Kulihat mereka mengobrol satu sama lain, yang kuyakin paling-paling hanya bertukar “eh kau liat sesuatu ndak?” atau sekadar melontarkan keluhan. Tinggal satu rakaat tersisa, dan sesuatu harus terjadi! Wajib.
“Ruq!” sedesir suara mengusikku dari belakang. Itu Remis, kakak laki-lakiku yang hobinya mengusiliku tiap kali ngintit dihelat. “Faruq!”
Kutolehkan kepala ke belakang sambil mengernyit, lalu menempelkan telunjuk di atas bibir, sebelum akhirnya kembali ke posisi semula. Namun, seperti pemuda lain yang sudah lolos ritual, ia tak pernah menyerah meyakinkanku bahwa yang kulakukan ini sia-sia belaka.
“Pulang aja, Ruq! Kamu gak akan bisa liat mereka dari sini!” bisiknya pelan; aku tak bergerak, pura-pura tuli. “Heh, dibilangin! Jangan ngeyel kamu.” Ia mulai bertingkah. “Heh!” jarinya menempel di pundakku.
“HEH REMIS!” Petugas Burmeus angkat bicara, “jangan ganggu! Minggat!” Mampus, batinku. Atmosfer di sesemak itu jadi kurang khusyuk karena gaung suara Petugas Burmeus. Ditambah suara gerimis yang perlahan jadi beringas, dan pelindungku satu-satunya adalah sarung ini, tapi aku pakai celana pendek. Hendak kulepas baju koko, tapi aku lupa mengenakan kaus dalam. Ya sudah, peci kainku yang bau rambut orang serumah-lah yang jadi tamengnya.