Seorang gadis kecil dari Catalonia, Spanyol duduk tenang menatap kamera. Tanpa ragu, ia mulai membuka mulut dan membagikan pengalaman paling sulit selama ia hidup: kehilangan ayahanda tercinta. Di awal, ia tampak berusaha keras untuk tidak menangis, tapi akhirnya air matanya tumpah juga. Terkhusus saat ia mengingat apa yang ayahnya dulu biasa lakukan semasih hayat dikandung badan.
Layar berubah. Sekarang, terlihat bocah laki-laki dari Portugis yang teringat saat ia dijual oleh ibunya sendiri demi mempertahankan hidup keluarganya. Titik paling menohok mungkin saat ia "dijanjikan akan dipukul" atau bahkan dibunuh kalau tidak mau menuruti perintah orangtuanya. Namun, dari pengalamannya sebelumnya, ia akhirnya berani angkat bicara: "saya tak takut, Ma!" dan, kalau memang ibunya harus melakukan itu, ia tetap, lanjutnya dengan wajah bijaksana, "tidak akan merasa takut."
Di saat itulah, napas saya berhenti. Butuh beberapa detik bagi saya untuk memproses itu semua sebelum layar menampilkan narasumber lain dengan cerita-cerita menyedihkan yang lain. Untunglah penonton diberikan kesempatan untuk meresapi dan membiarkan air mata membanjiri pipi, dengan visualisasi menakjubkan berupa montase yang menampilkan tidak hanya aktivitas sehari-hari manusia dan upacara adat, tetapi juga lanskap luas di daerah tertentu yang sangat memanjakan mata.
Film dokumenter besutan Yann Arthus-Bertrand ini berfokus pada cerita-cerita manusia "biasa" yang luar biasa dengan total 2000 orang dari 60 negara. Menggunakan enam bahasa, yaitu Inggris, Rusia, Spanyol, Portugis, Arab, dan Perancis, orang-orang yang diwawancarai ini diberikan kebebasan menceritakan pengalaman mereka sejujur-jujurnya, dan Bertrand memperdengarkan jawaban mereka dengan layar hitam dan tanpa musik pengiring. Sepanjang film, kamera hanya menyorot wajah penuh para narasumber, seolah-olah mereka sedang bercerita langsung ke penonton.
Cerita lain yang benar-benar menyentuh saya hingga ke jantung hati, selain dua cerita di atas, adalah seorang ayah di Perancis yang diberikan anak laki-laki cacat bernama Aloysha. Ia sempat bingung mengapa Tuhan menitipkan seorang anak yang tidak sempurna fisiknya bagi keluarga yang "sehat, bahagia, dan sejahtera." Barulah beberapa tahun kemudian, ia akhirnya menyadari bahwa Tuhan menitipkan Aloysha padanya agar ia belajar bahwa "Tuhan itu ada," di antara dedaunan, angin, dan bintang-bintang.
Momen yang agak mengejutkan, kalau tidak menakutkan, adalah ketika seorang perempuan India berteriak-teriak soal kemiskinan dan kesengsaraan yang selama ini menghinggapi hidupnya. Ia merasa bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa selain  duduk dan mengeruk tenaga mereka untuk keuntungan mereka sendiri. Orang-orang pemerintah, lanjutnya, tidak lain hanyalah "pencuri yang bermalas-malasan di balik meja dan hanya menatap kertas-kertas sampah di atasnya." Mereka yang disebut pekerja adalah mereka yang bangun pagi hari dan benar-benar bekerja, di ladang sawah, di tanah kosong, di gubuk padi, atau di kebun jagung.
Bagi saya pribadi, menonton film Human ini seperti melihat proyeksi diri sendiri di balik bayang-bayang rasa takut, pesimisme, dan keputusasaan akan banyak hal. Dunia yang saya lihat saat ini adalah dunia yang penuh dengan kemewahan, materialisme, dan konsumerisme yang berlebihan. Orang-orang berlomba memajang diri di media sosial untuk menunjukkan pada orang lain sambil seolah berkata "saya lebih baik dari kamu tauk!"
Jelas munafik jika saya bilang bahwa saya tak pernah melakukan hal serupa. Tapi, di sisi lain, terdapat kehampaan yang terintip dalam hati saya yang penuh dengan gairah ketenaran itu, dan itu menghancurkan saya dari dalam, secara pelan-pelan. Dalam "dunia yang dilipat" seperti sekarang ini, manusia satu melihat dan memperlakukan yang lain tidak sebagai manusia atau spesies dari famili yang sama. Tetapi sebagai rival yang sifatnya semu dan hanya berada di permukaan. Itu juga mungkin yang menyebabkan saya menjadi cepat sekali untuk menghakimi orang lain dengan sekejap mata. Tanpa tedeng aling-aling, kita diperosokkan ke dalam dunia di mana persaingan superfisial menjadi arena cari muka.
Maka, ini adalah teruntuk teman-teman yang sama-sama ingin mulai bangun dari tidurnya, ingin merasakan hentakan masif terhadap fantasi yang terlampau tinggi, ingin tau bahwa di belahan dunia lain, ada manusia lain yang berasal dari famili atau genus yang sama dengan kita, yang sedang memimpikan apa yang kita miliki saat ini. Yaitu mereka yang mencoba tersenyum dalam getir pahit milenia yang kita olok-olok, ludahi, atau bahkan tak mau sekadar kita lirik. Dan, yaitu mereka yang, terlepas dari sisi dunia yang kejam, jahat, dan tak berperimanusia, masih ada sisi dunia lain yang pengertian, membuka tangan, dan patut diberikan anggukan setuju.[]