Alif di New York sebagai wartawan VOA, satu temannya lagi (saya lupa namanya) di Turki, Ikal di Sorbonne University, dan Arai di London. Semua pembaca pasti kalau tidak tergerak hatinya pasti terharu melihat perjuangan semua karakter itu melewati rintangan dan hambatan untuk mencapai tujuan belajarnya. Tidak ada yang salah dengan itu. Tak ada sama sekali itu. Justru perjuangan mereka mesti diapresiasi setinggi-tingginya.
Namun demikian, pemberian apresiasi itu  juga menjadi kerumitan tersendiri. Para pembaca (dan penonton video-video Maudy Ayunda) dikhawatirkan bukan lagi tergerak atau mungkin terharu dengan perjuangan mereka bisa berkuliah di sejumlah universitas ternama dunia. Persepsi mereka telah disetir bahwa pendidikan di  luar negeri sudah menjadi maskot, menjadi kampiun bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Lalu, pertanyaan selanjutnya muncul, terus siapa yang bisa menebak bahwa, dengan pandangan seperti itu, ada kemungkinan bahwa mereka menganggap remeh pendidikan di Indonesia?
Argumen saya, kemudian, adalah bahwa kultur pengaminan semcam ini mesti dihentikan secepat mungkin. Meskipun saya tidak menutup kemungkinan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih banyak celah yang bisa ditinjau ulang dan direvisi, saya yakin tidak ada upaya yang sia-sia untuk mengatakan bahwa "pendidikan di Indonesia juga bisa sama juaranya dengan pendidikan di luar negeri." Masalah lain pun muncul: mengapa kita mesti menjadikan patokan itu dengan luar negeri? Atau segala sesuatu yang berbau luar negeri dijadikan cult atau semacam patokan yang 'baik' bagi negara yang 'bukan luar negeri'.
Semua ini bisa dimulai dengan melihat dari banyak sudut pandang, dengan melihat sisi lain dari apa yang terjadi, dan mencari implikasi dari sekadar 'pernyataan'. Saya rasa sudah bukan jamannya lagi untuk membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain, khususnya dalam hal yang Indonesia belum lakukan atau sudah lakukan tapi tidak maksimal hasil akhirnya. Masyarakat yang masih terjebak dalam paradigma bahwa 'luar negeri adalah segalanya' mesti ditegur dengan cara apapun untuk tidak masuk dalam keterlanjuran itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H