Mencatat apapun memang lebih baik menggunakan tangan. Menggunakan tangan yang saya maksud adalah menggunakan alat tulis dan menuangkan informasi yang diperoleh di atas kertas. Menggerakkan jari-jari secara aktif saat membaca atau mendengarkan pengetahuan baru sambil menuliskannya secara rapi di buku catatan, merupakan suatu kenikmatan tersendiri dibandingkan dengan mengetik di laptop, setidaknya bagi saya. Selain menghemat baterai laptop, menulis di buku catatan menghidupkan kembali cara-cara lama dan klasik yang sudah dikesampingkan sebagian besar orang masa kini. Meskipun tulisan seperti ceker ayam, meriviu kembali catatan kuliah di atas kertas, mencermati kata-kata perbarisnya, atau mendengarkan bunyi gemeresik pelan kertasnya saat membalik halaman, menjadi sebuah kebahagiaan sederhana yang tak bisa ditebus dengan uang, membuat kita merasa down-to-earth.
Namun begitu, setiap orang memilih definisi kebahagiaan dalam urusan catat-mencatat secara berbeda-beda. Pemandangan terakhir yang saya lihat saat konferensi pers di sebuah stasiun televisi adalah tak ada lagi jurnalis yang memegang buku kecil atau memo sebagai sumber catatan utama. Semuanya tampak asyik menggeser jarinya di atas layar tablet atau ponsel pintar. Sayangnya, masyarakat cenderung menjadi malas dan enggan untuk mengingat informasi yang baru mereka dapatkan ke dalam otak mereka. Mereka lebih senang menyimpan alamat rumah, nomer telepon, atau nomer-nomer penting lainnya, ke gawai mereka tanpa harus repot-repot mengingatnya secara langsung di tempat, saat itu juga. Jika butuh informasi yang diperlukan, tinggal konsultasi saja ke handphone masing-masing. Selesai sudah perkara.
Perkara sebenarnya bukan terletak pada mudahnya akses restorasi informasi pada perangkat teknologi. Perkaranya adalah hampir 1.000 orang di Amerika umur 16 tahun ke atas hari-hari ini sedang mengalami apa yang disebut Digital Amnesia. Terdengar keren, sekaligus mengerikan. Siapa yang bisa menduga kemudahan menyimpan informasi di gawai bisa menyebabkan seseorang lupa ingatan? Di satu sisi, akses yang terbuka lebar bagi individu untuk menggunakan gawainya masing-masing membuat tab/smartphone/handphone seperti sahabat setia. Namun, hati-hati. Saking setianya, alat-alat itu bisa menjelma menjadi clingy lover (kekasih parasit) tanpa disadari.Â
Kasus yang paling marak adalah orang-orang Amerika tersebut cenderung sengaja melupakan nomer telepon dan membiarkan gawainya menyimpan nomer-nomer tersebut sesuai dengan tugasnya. Lagipula, untuk apa fitur phonebook jika tak dimanfaatkan? Tunggu dulu! Neurologis Jerome Freeman mengatakan bahwa fenomena ini dapat mengikis ruang daya ingat di otak yang sudah tersedia. Terbiasa melupakan nomer-nomer telepon penting secara sengaja cenderung menghapus hal-hal lain yang sudah disimpan dengan baik di otak, mengingat nomer-nomer itu memiliki struktur tertentu yang berelasi langsung dengan saraf-saraf motorik kita, dan saraf-saraf tersebut berhubungan dengan ingatan kognitif. Misalnya, nomer 1-2-3-4 berasosiasi dengan nomer telepon ibu si A, dan nomer-nomer dengan urutan lain akan berasosiasi dengan ingatan tentang nomer kerabat tertentu. Namun begitu, ia sendiri menyanggah ucapannya: "sengaja tidak mengingat nomer-nomer telepon bisa menyimpan ruang-ruang kosong di otak kita." Jadi, bagaimana?
[caption caption="Alzheimer Puzzle (sumber: boston biotech)"][/caption]
Sedikit keluar dari pembahasan, saya jadi teringat film Still Alice yang diperankan oleh Julianne Moore. Dalam sebuah adegan, karakter Moore tampak sedang merekam dirinya sendiri dalam sebuah video tentang apa yang harus dilakukannya saat penyakit Alzheimer-nya kambuh. Benar saja. Ia pun menyimpan video itu di dalam sebuah notebook. Di adegan lain, ia digambarkan sedang menghapal sejumlah kata dari kategori acak (hewan, sayuran, kata kerja) dengan mencatatnya di ponsel pintar. Belum selesai, saat ia sedang menghapal, ada countdown timer yang mengatur durasi ketika ia menghapal. Puncaknya adalah ketika ia kehilangan ponselnya dan berteriak histeris karena tak bisa menemukannya di mana-mana. Bam! Ini menunjukkan betapa teknologi telah menjadi bagian sehari-hari dari kehidupannya. Ia tak hanya menjadi "kekasih" yang addictive, tetapi juga bahkan, dalam kasus Alice, sang penyelamat hidup.
Kembali lagi, saya pikir, terkadang cara-cara lama atau tradisional memang cara terbaik untuk mencapai hasil terbaik. Mendapatkan informasi baru memang akan jauh lebih efektif dan lebih sreg jika tangan-tangan ini digerakkan untuk menggenggam bolpoin lalu menggoreskannya di atas kertas, mengingat "otak kita sejalan dengan tangan kita." Lagipula apa sulitnya membawa buku catatan kecil dan pulpen saat berpergian? Mungkin bagi sebagian orang, prosedur itu akan terdengar njlimet. Wong ada hape yang tinggal pencet dan simpan kok repot-repot pake buku segala? Ya kalau handphone-nya hilang atau lupa bawa bagaimana? Ya sudah, nasib. Eh tapi kalau buku catatannya hilang juga bagaimana?
Tulis di jidat saja...
Â
Referensi