Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Belajar Bersyukur dari "Miss Brill"

24 Juli 2013   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13746476702017052198

Hari Selasa kemarin, 23 Juli 2013, saya mengikuti kelas Further Studies in Prose. Kali ini, kami membahas satu cerita pendek yang ditulis oleh Katherine Mansfield, "Miss Brill." Cerita pendek ini berkisah tentang seorang perempuan tua bernama Brill yang kesepian. Ia hidup di sebuah rumah di pinggir pantai di daerah Selatan negara Inggris. Dia nggak punya suami dan juga teman. Setiap hari Minggu, dia selalu pergi berjalan-jalan ke taman kota di sekitar rumahnya. Gak cuma taman kota, dia terkadang suka pergi ke pinggir pantai, dan duduk di bangku yang ada, memperhatikan kegiatan yang biasa dilakukan di waktu luang. Anak-anak kecil yang bermain bola, frisbee, atau ngebangun istana pasir. Tiap hari Minggu seumur hidupnya begitu terus. Terkadang, dia juga sering nguping pembicaraan orang lain, dan dia gak pernah berinteraksi dengan orang-orang yang sering ia perhatikan. Tapi ada satu hal yang saya pelajari dari Miss Brill: rasa syukur. [caption id="attachment_256463" align="aligncenter" width="480" caption="sumber: youtube.com"][/caption] Dosen saya mengatakan bahwa Mansfield membuat karakter Miss Brill dengan ego device mechanism yang cenderung sering berkhayal akan alam sekitarnya. Ego device mechanism itu, dalam teori sastra, merupakan bentuk manipulasi dari benak manusia yang terdiri atas tiga bagian: id, ego, dan super ego. Ketiga unsur ini bisa dianalogikan dengan nafs (nafsu), aql (akal), dan qalb (hati). Id adalah unsur yang paling "rendah". Di sinilah tahap di mana manusia memiliki keinginan-keinginan mendalam yang harus dipenuhi, seperti makan, tidur, tertawa, menangis, berhubungan badan, dan bentuk-bentuk physical pleasure yang lain. Barulah peran ego muncul. Ego bisa berfungsi sebagai fasilitator (yang fungsinya melanjutkan keinginan-keinginan itu) atau justru sebagai blocker (penahan). Si Ego hanya bisa ditahan ketika super ego mengatur kendali. Tahap super ego adalah tahap penentu apakah ego tersebut bisa terus jalan atau harus di-stop. Inilah yang terjadi sama si Miss Brill, yang darinya saya terinspirasi. Setiap kali ia keluar rumah, Mansfield menggambarkan suasana alam sekitarnya dengan kata-kata seperti "glorious", "fine evening", atau kata-kata lebay lainnya. Mansfield mendepiksasi karakter Miss Brill dengan istilah romantisasi (romantization). Romantisasi ini yang membuatnya menggunakan kata-kata yang cenderung "berlebihan". He he. Jadi, segala hal yang ada di sekitar Miss Brill dimanipulasi oleh bentuk-bentuk yang sudah diromantisasikan, yang seringkali ia lakukan. Dari sinilah saya bisa mengaitkan aspek yang ada dalam cerita ini dengan naluri manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sambil mendengarkan penjelasan dosen dan membaca ceritanya, saya tertampar keras akan bagaimana ada seseorang bisa membuat segala sesuatu yang dikelilingnya itu menjadi sangat penting, bahkan krusial. Contohnya, dalam sebuah bagian di ceritanya, Miss Brill digambarkan keluar rumah dengan menghirup napas sambil tersenyum lega, ia merasakan sinar matahari menghangatkan tubuhnya ketika angin laut yang dingin berhembus di pelataran kota London yang sejuk. Saya tergugah, "Saya udah sebersyukur itu belum ya?" hehe. Dalam cerita ini, meskipun Miss Brill digambarkan sangat sensitif sebagai seorang wanita tua yang kesepian, dia masih bisa menghargai keberadaan dirinya sebagai bagian dari ciptaan Tuhan atau, dalam kasus ini, bagian dari sebuah kehidupan sosialnya. Pada akhirnya, cerita ditutup dengan Miss Brill yang berlari sambil menangis karena diejek oleh seorang pasangan muda, yang bilang kalo "wajah Miss Brill itu gak seharusnya diliat sama orang banyak". Ini membuat Brill menangis berlari dan pergi pulang ke rumahnya, kembali ke "zona nyaman"nya. Sebenarnya, ada dua versi ending untuk cerita ini. Versi yang pertama yaitu versi adaptasi filmnya, yang disutradarai oleh Simon Lewis, yang menutupnya dengan Miss Brill yang lagi nangis sambil melihat ke luar jendela di dalam kamarnya. Sementara itu, versi kedua, yaitu versi di cerita pendeknya, mengatakan bahwa Miss Brill meletakkan kembali syal kesayangannya ke dalam kotak yang udah lusuh, lalu setelah menutup kotak itu, dia mendengar sesuatu yang seolah-olah sedang menangis. Kalau teman-teman tertarik untuk membaca cerita tentang "rasa syukur" tapi juga mau tau sosok perempuan yang demen "mahiwal" (mengkhayal) ini, sila tarik kesimpulan sesuai perspektif teman-teman masing-masing. Dijamin, setelah baca ini, pasti ada sesuatu yang temen-temen dapatkan. Sementara untuk saya pribadi, saya pun belajar untuk lebih mensyukuri hal-hal yang saya anggap remeh di sekitar saya, meskipun banyak hal-hal yang "dilematis" yang terkadang mendera kehidupan, kayak bikin paper, makalah, paper, dan makalah. Ups. Hehehehehe. Salam. Selamat Hari ke 15 puasa! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun