Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sugar Daddy (Part 1)

27 Desember 2014   05:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap kali malam datang, dan bintang-bintang mengintip dari balik dedaunan, pemuda itu selalu bertanya dalam senyap: Mengapa laki-laki tak bisa hamil? Apa yang membuat perempuan begitu spesial sehingga mereka bisa hamil dan laki-laki tidak? Benarkah hamil itu sebuah karunia, atau justru sebuah bencana? Menurutmu bagaimana? Apakah ada perempuan di alam semesta ini yang menyesal pernah hamil? Selalu ia bertanya tanpa pernah mau mendengar jawabannya. Selalu ia berteriak tanpa pernah berani bersuara. Ia hanya bisa meruapkan feromon yang mengidentifikasi dirinya dalam atlas jagad raya, menjadi sebuah titik minuskular yang lebih kasat mata dari amœba. Tanpa suara, tanpa cahaya—tanpa diri yang jadi.

Di atas kasurnya, ia palingkan matanya ke langit-langit dari ujung kabel panjang yang menembus kulit punggung tangannya, mengalirkan cairan berwarna air kelapa supaya tubuhnya mendapatkan nutrisi memadai. Ia sering gelisah sendiri jika tak ada yang menemaninya di ruangan itu. Meski televisi berukuran tiga puluh dua inci yang menggantung di atas cermin utama selalu disetel, ia tak pernah menontonnya. “Tak ada yang benar-benar menarik.” Ia justru berpikir menyalakannya hanya membuang-buang tenaga listrik. Jika Suster Adriana mendapati televisinya mati, ia akan menyetel tip untuk memutar lagu-lagu lawas yang liriknya cengeng, sekadar untuk membunuh keheningan. Ada apa dengan orang-orang ini? Apakah mereka sengaja melakukannya agar tagihan perawatannya membengkak? Dunia sudah gila! Apa saja dilakukan untuk menyenangkan orang lain tanpa bertanya terlebih dulu.

Pemuda itu memang sudah tak suka sejak pertama kali ada di rumah sakit itu. Beberapa kali ia memohon Suster Adriana untuk tetap tinggal dan membacakannya The Old Man and The Sea, seperti kali pertama ia dirawat di ruangan itu. Sekali, dua kali suster yang khusus menanganinya itu masih mau meluangkan waktunya sejenak untuk menyangga matanya agar tak terkatup, meski mulutnya sudah menguap dan kepalanya hampir jatuh menahan kantuk. Hingga pada suatu pagi, Dokter Prama mendapatinya terlelap di atas kasur pasien, lengkap dengan seragamnya dan papan dada dalam pelukannya. Dokter Prama tentu terlonjak; ia selalu memperingati susternya untuk tidak tidur, apalagi tertidur, selama jam kerja. “Melanggar kode etik,” katanya. Sejak saat itu, Suster Adriana tak pernah lagi mau membacakan cerita untuk pasien manapun, dan tak ada lagi yang mau mengunjungi pemuda itu.

Hanya satu atau dua kerabatnya yang berkenan mengunjunginya, itupun ketika akhir pekan. Mungkin itulah alasan ia tak pernah mau menjalin hubungan terlalu dekat dengan orang-orang. Melakukannya hanya akan melibatkan terlalu banyak emosi, bukan? Siapa yang mau sedih ketika melihat sahabatnya sekarat sehabis ditabrak mobil? Siapa yang mau mengurung diri di kamar dan mogok makan karena ibunya meninggal karena serangan jantung tiba-tiba? Siapa yang mau gelisah tidurnya karena ayahnya sakit dan harga obatnya melambung?

Ia teringat hari pertama di rumah sakit. Mengerikan! Tiap pagi, nampan putih berisi daging panggang, telur rebus, sup kental, dan nasi putih dibungkus rapat-rapat dengan polietilena, siap terhidang di atas mejanya. Cahaya matahari yang menyelinap masuk dari jendela tak jauh dari ranjangnya meleburkan efek bayangan yang menawan ke menu hariannya itu. Hidangannya tampak begitu lezat sampai pembungkus itu dibuka, menjatuhkan titik-titik air uap ke atas nasi, melesap melalui serat-serat daging, dan bercampur bersama air sup.

Di hari ketiga, ia mendapati sarapannya sudah berkuah saat ia bangun; pembungkusnya terlalu lama tertutup karena ia tidur larut. Alhasil, ia tak mau makan—hanya minum air bening untuk mengantar pil penahan sakit kelenjar getah bening ke lambungnya. Nafsu makannya pun menurun drastis. Semuanya tak enak lagi di lidahnya. Gravitasi bumi seperti menarik begitu dalam hingga ia lolos masuk ke sebuah sumur yang tak berjurang. Pihak rumah sakit pun langsung menempatkannya di kamar VIP atas permintaannya. Ia harus pastikan bahwa tak ada kerabatnya yang tau bahwa ia memiliki sindrom yang membuat pengidapnya malu luar biasa. Pihak rumah sakit pun hanya menugaskan spesialis tertentu untuk merawatnya. Tak boleh sembarang orang.

“Pak Asa,” Suster Adriana membangunkannya dari lamunan, “Anda punya pengunjung,” katanya singkat sebelum melengos ke luar.

Dari balik pintu, muncul seorang laki-laki muda berkulit cerah dalam setelan kasual dengan seikat bunga melati putih di genggamannya. Air wajahnya cemas. Selama dua detik, alisnya terangkat ketika mendapati sesosok tak berdaya yang dikenalnya sedang terbaring lemah di atas kasur. Ia mencoba mendekat, tapi kaki-kakinya urung. Dari bawah temaram, rambutnya yang baru saja disemir tampak berkilau sempurna. Ia melangkah, menghasilkan suara ketuk pelan dari pantofelnya, yang juga klimis di bawah lampu.

“Sa?” bisiknya pelan.

Asa berusaha menggetarkan pita suaranya, tapi, jelas, tak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa menatap balik laki-laki itu saat ia mencium aroma bunga yang sekarang sudah diletakkan di atas meja dekat kasurnya. Ingin rasanya ia kuatkan otot-otot lengannya sebelum memeluk pemuda yang ada di depannya itu. Namun, apa daya. Energinya sudah habis untuk batuk sepanjang hari dan sepanjang malam. Itu juga mungkin yang membuatnya tampak tak berdaging, tak berjasad. Tak akan ada orang yang tau seberapa kurusnya pemuda itu kecuali dengan membuka selimut yang melindunginya dari temperatur yang membunuhnya pelan-pelan.

“Aku—Aku gak percaya kamu...” lanjut Bian. Napasnya memburu, sebelum akhirnya tenggorokannya tercekat. Apa yang sedang terjadi? Orang yang selama ini, setiap saat, ia habiskan malam-malamnya untuk makan bersama, memasak bersama, dan berbagi tentang hal-hal sepele bersama, sekarang harus pasrah dibius kabel, menelan tablet sebesar babon, dan dihunus jarum suntik yang bisa membuatnya mengalami mimpi buruk di malam-malamnya yang panjang. Tidak! Ia teriak dalam diam. Dan segelintir perasaan dalam dada Bian mendorongnya untuk menggerakkan lengannya yang berotot dan melingkarkannya di tubuh Asa. Ia benamkan wajahnya ke dalam rambut Asa yang menjarang.

“Aku—”  juangnya, mencoba tak menangis, “Aku gak nyangka ini terjadi sama kamu.”

Suara langkah sepatu seseorang terdengar sedang mendekat, namun Bian belum mau melepaskan pelukannya.

“Padahal kita selalu pake penga—” sisa kalimatnya termakan oleh bising ciut pintu kamar yang terbuka tiba-tiba. Suster Adriana tampak kelimpungan mendapati mereka, “Oh, maaf sekali! Saya tidak bermaksud mengganggu,” lalu menundukkan wajahnya. Sebelum sempat menanggapi, Bian sudah melepaskan pelukannya dan memposisikan dirinya agar tak terlihat mencurigakan.

“Saya hanya ingin memberitahukan bahwa waktu jam besuk sudah hampir habis, Pak Bian.”

“Oh, oke. Sebentar lagi saya segera keluar.”

Setelah suster pergi, Bian mendaratkan ciumannya di kening Asa. Itulah momen pertama ada kerabat yang mengunjunginya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun