Mohon tunggu...
RADINDA AISYAH
RADINDA AISYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang

Hobi saya yaitu menonton film dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sungkan dalam Budaya Jawa: Antara Hormat dan Beban Mental

22 Oktober 2024   15:36 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:38 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya sungkan merupakan salah satu aspek budaya yang sangat melekat pada masyarakat Jawa. Istilah "sungkan" sering kali diartikan sebagai rasa segan atau malu yang muncul dalam berbagai situasi sosial. 

Rasa sungkan biasanya timbul saat seseorang merasa harus menahan diri, menghormati, atau menunjukkan penghargaan kepada orang lain, terutama yang lebih tua, berstatus sosial lebih tinggi, atau dalam situasi tertentu. Dalam konteks budaya Jawa, sungkan merupakan salah satu cara untuk menjaga harmoni sosial yang dinilai penting agar hubungan antar individu tetap baik. 

Namun, seperti banyak aspek budaya lainnya, budaya sungkan ini tidak hanya memberikan dampak positif. Di balik kesantunan dan rasa hormat yang diharapkan dari budaya ini terdapat tantangan-tantangan yang bisa berdampak langsung pada kesehatan mental, khususnya bagi remaja atau mahasiswa yang sedang dalam fase perkembangan penting dalam hidupnya. 

Budaya sungkan dalam kehidupan mahasiswa

Mahasiswa yang tumbuh dalam budaya sungkan sering kali dihadapkan pada dilema antara mengekspresikan diri secara bebas dan menjaga norma sosial yang berlaku. Berikut adalah beberapa contoh konkrit bagaimana budaya sungkan ini memengaruhi kehidupan mahasiswa:

 1. Kesulitan menyuarakan pendapat di kelas

Salah satu contoh yang sering terjadi adalah ketika mahasiswa merasa sungkan untuk berbicara atau bertanya di kelas. Dalam budaya Jawa, ada kecenderungan untuk menghormati otoritas seperti dosen atau guru. 

Sebagai bentuk rasa hormat, banyak mahasiswa enggan mempertanyakan atau mengkritik pendapat dosen, meskipun mereka mungkin tidak setuju atau tidak memahami materi yang diajarkan.

Dalam jangka panjang, rasa sungkan ini dapat merugikan mahasiswa secara akademis. Mereka mungkin menjadi pasif dalam proses belajar dan akhirnya kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan. 

Selain itu, mereka bisa mengalami perasaan frustasi atau cemas karena tidak berani mengungkapkan pendapat atau bertanya, meskipun sebenarnya mereka memiliki pertanyaan penting yang bisa membantu pemahaman mereka. 

Hal ini dapat berdampak pada penurunan motivasi belajar, bahkan hingga menghambat perkembangan intelektual dan kreativitas mahasiswa.

2. Sungkan terhadap teman sebaya dalam kelompok studi

Budaya sungkan tidak hanya berlaku pada relasi antara yang lebih muda dengan yang lebih tua, tetapi juga sering muncul dalam hubungan antar teman sebaya. Misalnya, dalam kelompok studi atau tugas kelompok, seorang mahasiswa mungkin merasa sungkan untuk mengkritik ide atau pendapat teman-temannya, meskipun mereka merasa bahwa pendapat tersebut tidak tepat. 

Rasa sungkan ini sering muncul karena keinginan untuk menjaga perasaan teman dan menghindari konflik.

Namun, akibatnya bisa berdampak buruk pada hasil kerja kelompok. Mahasiswa yang sungkan untuk menyampaikan pendapat akhirnya tidak berkontribusi secara maksimal, yang dapat menyebabkan hasil kerja kelompok menjadi kurang optimal. 

Lebih jauh, rasa tertekan ini bisa memicu kecemasan sosial, di mana individu merasa tidak nyaman dalam situasi sosial dan selalu merasa perlu menyesuaikan diri dengan orang lain, meskipun harus mengorbankan keinginan atau ide mereka sendiri.

 3. Tekanan dari ekspektasi sosial keluarga

Dalam budaya Jawa, rasa sungkan juga muncul dalam hubungan dengan keluarga, terutama orang tua. Mahasiswa sering merasa sungkan untuk mengungkapkan ketidaksetujuan mereka terhadap harapan orang tua, misalnya dalam hal memilih jurusan atau karier masa depan. 

Dalam beberapa kasus, orang tua mungkin memiliki harapan tinggi atau pandangan tertentu tentang apa yang seharusnya dilakukan anak-anak mereka. Meskipun seorang mahasiswa mungkin memiliki minat atau bakat di bidang lain, mereka sering kali menahan diri untuk tidak mengungkapkan pendapat karena rasa sungkan.

Ketegangan ini dapat memicu stres dan kecemasan. Ketika seseorang merasa terjebak antara memenuhi harapan orang tua dan mengejar minat atau impiannya sendiri, mereka bisa mengalami konflik internal yang berlarut-larut. 

Jika tidak dikelola dengan baik, ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mahasiswa, seperti timbulnya depresi atau perasaan rendah diri karena merasa tidak bisa mencapai ekspektasi keluarga.

Dampak budaya sungkan terhadap kesehatan mental

Cemas dan stres: tekanan untuk selalu menghormati orang lain dan menahan diri dari mengekspresikan pendapat dapat menyebabkan kecemasan dan stres berlebih. Mahasiswa yang merasa tidak mampu atau tidak diperbolehkan untuk menyuarakan perasaan mereka mungkin merasa terjebak dalam situasi di mana mereka terus-menerus harus mengorbankan kebutuhan mereka demi menjaga hubungan sosial. Ini bisa menyebabkan mereka merasa cemas setiap kali dihadapkan pada situasi di mana mereka harus berpendapat atau mengambil tindakan yang mungkin bertentangan dengan norma sosial.

Perfeksionisme dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi: budaya sungkan sering kali terkait dengan ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitar, baik itu keluarga, teman, atau masyarakat luas. Mahasiswa yang merasa harus selalu memenuhi standar yang diharapkan oleh orang tua, dosen, atau masyarakat cenderung mengembangkan sikap perfeksionis. Perfeksionisme ini, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi beban yang berat, karena mahasiswa akan selalu merasa cemas jika hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan harapan yang tinggi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun