Mohon tunggu...
radi hardiansyah
radi hardiansyah Mohon Tunggu... -

never lost direction

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekali Lagi Tentang Nono Sampono

24 Mei 2012   04:27 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 4217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Padi tumbuh tak berisik (Tan Malaka)

Seperti sepak terjangnya pada Mei Kelabu 98, masa lalu Nono Sampono tidak banyak yang tahu. Dia seperti muncul dari belah batu, mengisi ruang publik Jakarta, ramai dibicarakan orang, dengan atribut Letnan Jenderal (Purn) Marinir pada namanya. Dia calon Wakil Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Alex Noerdin. Orang-orang terdekat boleh saja mengagumi Nono, dan percaya bahwa dia mampu memimpin Jakarta. Maklum, mereka cukup tahu latar belakangnya. Tapi bagaimana dengan kita? Publik Jakarta? Bekal informasi apa yang kita punya untuk menyukai Nono Sampono?

Kiprah Nono Sampono pada peristiwa Mei 98 sudah diulas oleh beberapa media massa, namun serba sedikit. Meski begitu, sudah terlihat, Nono tahu benar di mana harus berdiri dan apa yang harus dilakukan untuk misi pengamanan ibu kota saat itu. Tugasnya sebagai prajurit tidak menghalanginya menerapkan pendekatan kemanusiaan ketika diperlukan. Bukan tindakan pura-pura, melainkan natural, pantulan dari kepribadiannya. Saya menilai itu sebagai kecerdasan tersendiri.

Tapi kekaguman harus saya tahan dulu, sebelum data-data yang berserakan tentang dirinya terkumpul. Saya perlu informasi sebanyak mungkin tentang Nono Sampono, demi mencari tahu, apakah dia layak menjadi pemimpin Jakarta, dengan sejuta problematika menghadang?

Saya buka www.nono-sampono.com, di sana hanya ada curiculum vitae, menyajikan data yang tidak banyak bicara. Tempat dan tanggal lahir, keluarga, riwayat pendidikan, dan karir. Saya telusuri lagi www.swatt-online.com, ada cerita Nono Sampono di sana. Isinya kisah sukses seorang penjual ikan dan roti yang menjadi Jenderal Marinir. Bagi orang Jakarta, kisah sukses itu biasa. Kebanyakan orang suskses menurut ukuran-ukuran umum tentu punya kisahnya sendiri, yang bisa saja mengharu-biru atau mengagumkan ketika dituliskan lagi. Saya juga membaca Harian INDOPOS, edisi 23 Mei 2012, ada beberapa info baru tentang Nono Sampono di sana. Dari artikel itu, saya bisa menelusuri lebih jauh tulisan-tulisan dalam blog si penulisnya.

Merasa masih belum cukup, mulailah saya bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitar Nono Sampono. Bukan mereka yang tergabung dalam tim kampanyenya sekarang, melainkan orang-orang di lingkungan TNI Angkatan Laut, khususnya marinir, yang dulu sempat menjadi nara sumber dalam penelitian saya. Banyak di antara mereka yang mengenal Nono Sampono. Munculah data-data yang relevan. Kemudian saya menelepon seseorang yang cukup mengenal Nono Sampono, mulai lengkaplah gambaran tokoh ini. Terutama aspek kepemimpinan yang menjadi concern saya sekarang. Begini jadinya saya menggambarkan Nono Sampono:

Nono Sampono adalah muslim, lahir dari ayah dan ibu muslim, di Madura. Islam di sana, kita mafhum, sangatlah kuat. Masyarakat muslim di Madura mayoritas kaum Nahdiyin dengan jumlah pesantren dan ulama yang banyak, penjaga nilai-nilai keislaman dengan tradisinya yang turun temurun. Tapi perpisahan orangtua ketika usianya masih sangat dini (3 tahun), menjadikan Nono harus berpindah-pindah mengikuti ibu dan ayah angkatnya. Dari Bangkalan, Madura, dia pindah ke Surabaya, kemudian Sidoarjo, lalu Blitar, sampai ke Semarang. Setiap kota, setiap lingkungan di mana dia hidup, tentu telah memberi warna dalam kepribadian dan kesadarannya paling awal tentang kehidupan Indonesia yang beragam.

Akhirnya, nasib telah membawa Nono tinggal di kampung halaman ibunya di Ambon. Inilah babakan penting dalam perjalanannya. Nono Sampono hidup dalam keluarga muslim, tapi rumahnya berada di lingkungan kaum protestan. Dia mengenyam pendidikan dari SD sampai SMA di Xaverius, sekolah Katolik. Toleransi bukan hanya menjadi pilihan sikap hidup keluarganya, melainkan keharusan. Berbeda namun tetap harmonis, bukanlah pengetahuan bagi Nono Sampono, melainkan pengalaman hidup. Baginya, pluralisme bukan juga ajaran, melainkan melekat dalam kepribadiannya. Menghargai perbedaan, menyerap keindahannya.

Maka tak heran jika di kemudian hari (1999) Nono Sampono termasuk ke dalam Tim 19 yang dikirim ke Maluku, untuk menangani konflik yang kental nuansa SARA-nya di sana. Sembilan belas orang itu semuanya perwira. Namun, baru satu setengah bulan, 14 perwira ditarik kembali ke Jakarta. Tersisa 5 perwira, dan Nono Sampono termasuk di antara 5 perwira yang tetap bertugas di Maluku.

Karena kepribadian yang ditempa oleh perjalanan hidupnya sendiri, Nono Sampono leluasa saja masuk ke pihak-pihak yang bertikai. Menenangkan berbagai kelompok. Dia mengenal dan dikenal oleh masyarakat sana. Dan langkah-langkah persuasi yang ditempuhnya sangat efektif. Hingga tercipta suasana tenang sampai menjelang penandatanganan Perjanjian Malino I dan II pada 2002. Para prajurit yang mendampingi Nono di Maluku, kerap berdecak kagum ketika menceritakan sepak terjang Nono dalam menghadapi kelompok-kelompok yang bertikai itu. (Saya akan menceritakan ini pada kesempatan lain).

Cerita terus berlanjut. Perjalanan karir Nono Sampono kemudian sampai menjadi Komandan Paspampres di era Gus Dur. Kenapa Nono? Apakah pengangkatannya hanya kebetulan belaka? Apakah Gus Nur, yang kita semua tahu sebagai tokoh yang gigih memerjuangkan pluralisme, sudah mengetahui terlebih dulu tentang jiwa pluralis dalam diri Nono. Saya tidak tahu. Tapi saya bisa melihat kesetaraan semangat antara Gus Dur dengan Nono Sampono dalam memahami pluralisme.

Apa artinya menjadi Paspampres? Mengawal keselamatan presiden. Itu pasti. “Menjadi pengawal presiden berarti tidak banyak bicara dan bertingkah, namun mata dan telinga tetap terbuka, memahami keadaan,” ujar seorang mantan anggota Paspampres yang sempat saya tanyai. Teranglah penglihatan saya. Nono Sampono begitu dekatnya dengan Gus Dur. Tetap menutup mulut, namun membuka mata dan telinga lebar-lebar. Dia terus tumbuh, menempa kepribadiannya sendiri, tiada berisik.

Gambaran besar Nono Sampono mulai terlihat. Semangat Pluralisme dalam dirinya, menjadikan dia sangat menghargai keragaman. Dia jelas prajurit TNI AL, berarti jiwa kepemimpinan sudah tertempa sedemikian lama. Kualitas kepemimpinannya itu terbukti ketika dia menerapkan pendekatan persuasif-humanis dalam dua peristiwa besar di negeri ini: Mei 98 dan Kerusuhan Maluku 1999 – 2002.

Nah, Jakarta adalah miniatur Indonesia. Semua suku yang ada di Indonesia, ada di Jakarta. Semua agama dengan ragam alirannya juga hidup di sini. Interaksi di antara kelompok-kelompok suku dan agama itu terjadi dalam intensitas yang cukup tinggi. Tidak jarang terjadi ketegangan, hingga meletup dalam berbagai konflik dengan nuansa primordial.

Benar, Jakarta perlu pemimpin dengan kesadaran pribadi yang mengatasi kesadaran primordial, demi bisa mengayomi semua kalangan yang hidup di masyarakat Jakarta. Pemimpin model ini tentu saja tidak bisa dihasilkan secara instan. Ia harus ditempa oleh pengalaman hidup di tengah perbedaan itu sendiri. Dan kita sudah memiliki enam pasangan pemimpin. Manakah di antara mereka, baik secara pribadi maupun kombinasi pasangannya, yang bukan hanya layak, melainkan yang terpenting, benar-benar sanggup menangani keragaman Jakarta ini. Di antara enam calon wakil gubernur Jakarta sekarang, saya melihat keunggulan dalam pribadi Nono Sampono. Bukan keunggulan dari tampaknya sekarang, melainkan perjalanan hidupnya.

Saya melihat Nono Sampono itu ibarat ‘padi tumbuh tak berisik’ menjadi pemimpin hasil tempaan sejarah pribadinya yang intens dalam keragamanan, dengan tipe kepemimpinan sebagai representasi keindonesiaan yang nyaris lengkap. Dan Jakarta, bukankah ia adalah kota miniatur Indonesia, di mana keragaman adalah keniscayaan. Menyeragamkannya adalah malapetaka.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun