Sengketa Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) adalah salah satu dari sekian banyak persoalan daerah yang terabaikan atau sengaja diabaikan oleh pemerintah pusat. Jakarta sebagai panggung elit-elit politik berlabel nasional mementaskan perannya, tidak memberi ruang bagi cerita lain. Sepak terjang para elit dalam segala peristiwa politik di pusat seperti menjadi representasi cerita politik Indonesia. Bahkan kasak-kusuk dan spekulasi elit menjelang reshuffle kabinet sanggup mendominasi ruang pemberitaan media massa selama dua minggu terakhir ini. Seolah-olah, nasib Indonesia dipertaruhkan oleh sederet nama yang bisa jadi tidak ada kaitannya dengan penyelesaikan persoalan daerah yang mendesak.
Dalam sengketa Pilkada Kobar, Mendagri Gamawan Fauzi adalah elit pusat yang paling bertanggung jawab dalam pengabaian masalah ini. Sengketa itu sendiri sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sejak 7 Juli tahun lalu. Adalah tanggung jawab Mendagri untuk menyelesaikannya hingga tuntas, bukannya melempar tanggung jawab kepada bawahannya (Gubenur Kalteng) atau kepada atasannya (Presiden SBY), lalu menunda-nunda pelantikan, setelah dia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengesahan pengangkatan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto tertanggal 8 Agustus 2011 sebagai bupati-wakil bupati Kobar.
Sungguh aneh, SK Mendagri yang telak-telak ditolak oleh Gubernur Kalteng Teras Narang dianggap biasa-biasa saja, dan hanya ditanggapi akan dilakukan kajian mendalam dan dimintakan arahan lagi kepada presiden--kata lain dari menunda-nunda--jika tidak bisa dikatakan mengabaikan. Entah di mana wibawa Mendagri yang katanya mendasarkan putusannya atas putusan MK itu. Sementara jalannya pemerintahan dan pembangunan di Kobar sendiri luput dari perhatian Mendagri. Satu tahun anggaran sudah lewat sejak 7 Juli 2010. Sudahkah Mendagri melihat dari dekat nasib pembangunan di Kobar akibat jabatan bupati masih digenggam oleh Teras Narang selaku Pj Bupati? Pernahkah Mendagri bertanya langsung kepada DPRD Kobar yang katanya menolak menyelenggarakan sidang paripurna istimewa untuk melantik Ujang-Bambang? Bukankah pelantikan bupati-wakil bupati tidak harus dilaksankan di depan DPRD?
Alasan Mendagri menunda pelantikan Ujang-Bambang bisa jadi berbeda dengan alasan penolakan Gubenur Kalteng, tapi keduanya sudah jelas sama-sama tidak menghormati putusan MK. Bagi Gubernur Kalteng, penolakan pelantikan bisa jadi karena Ujang-Bambang bukan pasangan yang diusung partainya gubernur. Jika benar alasan ini, maka politik di Kalteng mengatasi hukum. Kepentingan partai mengatasi rasa keadilan masyarakat.
Sementara bagi Mendagri Gamawan Fauzi, perkara Sengketa Pilkada Kobar bisa jadi nomor sekian dalam skala prioritas masalah yang harus diselesaikannya. Jauh lebih penting mengamankan kursi menterinya dalam menghadapi reshuffle kabinet. Apalagi setelah mendengar kabar burung tentang ancaman kerusuhan jika pasangan Ujang-Bambang dilantik. Perkenan Presiden SBY jauh lebih penting daripada menegakkan wibawa hukum di Kobar. “Pak Menteri, kenapa harus takut oleh ancaman kerusuhan dari sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab? Itu hanya isapan jempol dari sekelompok orang yang ingin mengamankan jaringan bisnisnya di Kobar!”***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H