Tiap kali ia dipojokkan dengan pertanyaan apa langkah konkret sebagai solusi, setiap itu pula ia berkelit dengan mengatakan semua perencanaan atau program sudah bagus.
Uji Kompetensi Calon Gubernur DKI Jakarta antara Alex Noerdin dan Joko Widodo di Program Suara Anda Jakarta Memilih, yang ditayangkan Metro TV pada Jumat (11/5) malam pekan lalu, tidak memiliki cukup greget. Pemirsa mungkin berharap ada saling serang antara kedua kandidat. Yang terjadi dalam acara berdurasi tak sampai satu jam itu, hanyalah pertanyaan-pertanyaan seputar masalah Jakarta yang dijawab dengan singkat oleh kedua kandidat.
Alex Noerdin lugas menjawab persoalan kesiapan dirinya untuk memimpin Jakarta. Ia mengacu pada pengalaman dua kali menjadi bupati dan jabatan saat ini sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Diakuinya, memimpin provinsi selain Jakarta relatif lebih sulit ketimbang jadi Gubernur Jakarta. Alasannya, di era otonomi daerah, gubernur di provinsi lain selain Jakarta, sangat sulit bila ingin menelurkan kebijakan. Gubernur harus mengayomi seluruh bupati yang sejatinya pemegang otoritas di daerahnya masing-masing.
Hal tersebut sangat berbeda dibandingkan posisi seorang gubernur di Daerah Khusus Ibukota. Otoritas memimpin di Jakarta sepenuhnya dipegang gubernur. Sedangkan lima walikota adalah pejabat yang diangkat dan dilantik oleh gubernur itu sendiri. Mengendalikan para walikota tidak sesulit mengoordinasikan bupati-bupati yang masing-masing dipilih dalam pilkada berbeda.
Perihal fokus pertanyaan tentang persoalan Jakarta, semisal kemacetan, Alex Noerdin langsung memberikan solusi. Pertumbuhan kendaraan yang saat ini mencapai 15% pertahun, harus ditekan. Di sisi lain, pertumbuhan jalan, dari hanya 0,01% pertahun menjadi seiring atau paling tidak mendekati pertumbuhan kendaraan. Hal konkretnya adalah membuat berbagai peraturan agar penggunaan kendaraan pribadi menjadi mahal, sehingga orang mau beralih ke angkutan umum. Seiring itu, kenyamanan angkutan umum harus dibenahi, di antaranya dengan revitalisasi.
Hal yang sama ditanyakan kepada Joko Widodo. Walikota Surakarta ini dengan sangat santai menanggapi sejumlah pertanyaan. Misalnya tentang kemacetan, ia berkeyakinan yang harus lebih diperhatikanadalah kenyamanan bagi pejalan kaki. Maksudnya, angkutan umum harus tersedia sampai semaksimal mungkin mendekati tempat-tempat tujuan warga. Sehingga, warga tidak terlalu jauh berjalan kaki.
Prinsipnya, menurut Joko Widodo, tentu saja fasilitas angkutan umum juga harus dibenahi. Soal bagaimana membenahi angkutan umum ini, ia berkelit dengan dalih semua perencanaan yang ada sudah bagus, tinggal dijalankan saja secara benar oleh seorang gubernur. Ia tidak menjabarkan lebih lanjut perencanaan mana yang dimaksud.
Penyampaian Joko Widodo itu sama persis dengan jawaban-jawabannya di acara serupa sekitar sebulan lalu di Jak TV. Tiap kali ia dipojokkan dengan pertanyaan apa langkah konkret sebagai solusi, setiap itu pula ia berkelit dengan mengatakan semua perencanaan atau program sudah bagus. Tinggal bagaimana gubernurnya mengomandani program-program agar berjalan sesuai rencana.
Joko Widodo bisa dikatakan sebagai kandidat yang dibesarkan media massa. Berawal rapor birunya dalam memimpin Solo, yang berlanjut dengan blessing Esemka. Seiring angan mobil nasional yang belakangan ini kian memudar, citra Joko Widodo malah terus menanjak sebagai sosok yang tampil apa adanya.
Namun, ada mata rantai yang terputus dalam komunikasi yang dilakukan Joko Widodo. Paling tidak, hal itu terlihat dalam setiap debat yang diikutinya. Mengutip Sidney Jourard(1971), yang menandai sehat atau tidaknya komunikasi interpersonaladalah dengan melihat keterbukaan dalam komunikasi.Mengungkapkan yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain, yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Tentang Teori SelfDisclosure, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita pada orang lain ataupun sebaliknya. Menurut Joseph Luft(1969), Teori SelfDisclosure didasarkan pada model interaksi manusia yang disebut Model Johari Window,sebagai berikut:
I
OPEN AREA
Known by ourselves and known by others
II
BLIND AREA
Known by others not known by ourselves
III
HIDDEN AREA
Known by ourselves but not known by others
IV
UNKNOWN AREA
Not known by ourselves and not known by others
Open Area adalah bentuk ideal dalam komunikasi, karena seseorang dan orang lain saling terbuka sehingga saling bisa memahami.Sedangkan Blind Area bisa dikatakan kondisi anomali, karena ketika ia sendiri tidak memahami apa yang orang lain pahami. Berikutnya yang dimaksud dengan Hidden Area adalah semacam ketertutupan seseorang dari orang lain. Terakhir, Unknown Area adalah kondisi yang gelap dikarenakan tidak ada keterbukaan dari semua pihak.
Teori Self Disclosure mendorong adanya keterbukaan atau kata lainnya kejujuran, dengan tujuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, sehingga tercipta pengertian yang benar dalam komunikasi interpersonal. Meski kadang, keterbukaan yang ekstrem bisa saja memberi efek yang negatif dalam suatu hubungan.
Tapi, paling tidak dengan memahami Teori Self Disclosure ini, dapat ditarik kesimpulan awal, bahwa ketidakpuasan dalam hubungan komunikasi interpersonal bisa disebabkan oleh ketidakjujuran, kurangnya kesamaan antara tindakan seseorang dan perasaannya, dan miskin feedback.
Perihal ketidakjujuran sementara bisa dikesampingkan dulu terkait bagaimana seorang calon gubernur dalam mencitrakan dirinya ke pemilih berdasarkan Teori Self Disclosure. Dari debat yang sudah terjadi, Alex Noerdin cukup memahami persoalan dan berupaya secara terbuka menjelaskan argumentasi solusi yang ia tawarkan. Apakah ia berada di Open Area, pemilih bisa menimbang sendiri berdasarkan jawaban-jawaban dan rekam jejaknya yang pernah dua kali menjadi bupati dan gubernur.
Sedangkan Joko Widodo jelas berada pada Blind Area. Asumsi ini diperkuat dengan jawaban yang ia lontarkan kerap kali diawali dengan kata-kata “saya kira…” dan seterusnya. Sulit darinya muncul jawaban konkret atas berbagai persoalan, selain hanya berlindung pada keyakinan sumir terhadap perencanaan atau program yang sudah ada dari para pendahulu, bukan gagasan miliknya sendiri. Heboh Esemka --yang ditungganginya-- juga sama sekali bukan gagasannya.
Yang terakhir, ada kurangnya kesamaan antara tindakan dan perasaannya. Joko Widodo boleh saja memiliki perasaan yakin atau mampu membenahi Jakarta, yakni bila diberi kesempatan mengomandoi pelaksanaan program-program lama tadi. Tapi, tindakan apa yang akan dilakukan jika ia menjadi pemimpin, tidak terabstraksi secara jelas dalam gagasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H