Sekitar Rp 9,7 miliar dana siluman dimanfaatkan untuk mempopulerkan Gubernur DKI Jakarta. Begitu kalimat pembuka dari berita berjudul ‘Ditengarai Foke Kuras Rp9,7 M APBD untuk Kampanye’ pada sebuah situs berita online, baru-baru ini.
Dalam berita tersebut, LSMantikorupsi ICW dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggelar konferensi pers bertajuk "Membongkar Uang HaramPemilukada DKI Jakarta 2012" di kantor LBH Jakarta. Kedua lembaga menemukan indikasi adanyapenggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta untuk dana kampanye Fauzi Bowo alias Foke.
Penggunaan dana hingga miliaran rupiah itu untuk sejumlah aktivitasGubernur DKI Jakarta, yang secara langsungmendongkrak popularitasnya. Secara rinci, disebutkan sejumlah aktivitas tersebut, antara lain penilaian RS Sayang Ibu dan Sayang Bayi Tingkat Provinsi (Gubernur Award): Rp37,4 juta, invitasi cabang olahraga pencak silat Piala Gubernur Provinsi DKI Jakarta: Rp150 juta, Turnamen Bowling Piala Gubernur Provinsi DKI 2012: Rp100 juta, silahturahmi Gubernur dengan Pahlawan Nasional, Janda Pahlawan,Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan/Janda Perintis Kemerdekaan danOrganisasi Kejuangan lainnya: Rp600 juta, dan koordinasi gerakan pemberantasan sarang nyamuk bersama Gubernur: Rp200 juta.
Tentu lembaga seperti ICW dan LBH Jakarta memiliki argumentasi mengapa mereka berani melontarkan tudingan semacam ini. Rakyat Jakarta juga tak perlu heran, karena selalu ada pembenaran atas semua aktivitas yang terkait dengan posisi Foke sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Tapi, dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas negara. Termasuk juga, dalam Ayat 1Pasal 79 ditegaskan larangan keterlibatan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa. Lalu pada Ayat 4 tertulis Pasangan Calon dilarang melibatkan PNS, anggota TNI, dan Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam Pilkada.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Dalam Pasal 4 peraturan ini ada tertulis setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye, meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Nah, sangat jelas alasan ICW dan LBH Jakarta yang lantas menyorot penggunaan APBDterkait sejumlah aktivitas Foke. Bang Kumis adalah seorang PNS yang juga incumbent gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta. Tapi, saya pribadi yakin, ini hanya angin lalu. Bertiup kencang sejenak, lalu hilang begitu saja di tengah masyarakat Jakarta yang butuh embusan angin penyejuk semu.
Saya sebut angin penyejuk semu, sebab sejumlah aktivitas yang ditengarai melanggar di atas, faktanya adalah yang memang dibutuhkan rakyat. Rakyat Jakarta membutuhkan perbaikan kesehatan ibu dan anak melalui Gubernur Award. Butuh peningkatan prestasi olahraga melalui invitasi cabang olahraga pencak silat atau turnamen bowling. Penting pula Gubernur menjalin silahturahmi dengan Pahlawan Nasional, Janda Pahlawan,dan Keluarga Pahlawan. Apalagi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, warga mana yang menolak program semacam ini. Menjadi semu, karena rakyat berpotensi besar jadi alat untuk kepentingan politik Foke dalam Pilkada DKI Jakarta.
Tidak hanya yang telah dirilis ICW dan LBH Jakarta. Foke juga cukup jeli melihat dari perspektif serupa terhadap ancaman dekadensi moral masyarakat. Rakyat Jakarta telah disuguhi berbagai nasihat dan wejangan dari para alim ulama yang terlebih dahulu dirangkulnya. Barangkali, ICW atau LBH Jakarta agak risih untuk meretas adanya indikasi penggunaanAPBD dalam upaya Foke merangkul para ustadz dan habib yang balihonya banyak bertaburan di beberapa perempatan jalan ibukota.
Kesimpulan sementara, dalam Pilkada DKI Jakarta, Foke bekerja dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada di dirinya sebagai penguasa.Ia tidak atau hanya sedikit memanfaatkan mesin politik yang mendukungnya. Kalaupun mesin politik berperan, maka lebih diarahkan untuk mendorong atau sekadar menjadi pendamping dalam usahanya mendongkrak popularitas ketokohannya sebagai incumbent.
Sedikit mencermati perkembangan politik di Tanah Air, memang telah berlaku teori perubahan dalam pola siklus. Merujuk teori ini, perubahan atau perkembangan politikdi Tanah Air merupakan sesuatu yang tidak bisa direncanakan atau diarahkan ke suatu titik tertentu, tetapi berputar-putar menurut pola melingkar. Perkembangan politik kita sebagai suatu hal yang berulang-ulang, karena apa yang terjadi sekarang akan memiliki kesamaan atau kemiripan dengan apa yang ada di zaman dahulu. Bukti yang menjelaskannya adalah apa yang dilakukan Foke sebagai pribadi (incumbent) yang meminggirkan sistem kepartaian. Sekali lagi, peran partai pasti ada, tapi tidak signifikan bila dibandingkan dengan perannya sebagai incumbent.
Dalam bahasa akademis, apa yang berlaku di atas disebut sebagai sebuah banalitas politik. Bila mengutip Yves Meny dan Andrew Knapp (1998), idealnya partai politik mampu melaksanakan fungsi-fungsi mobilisasi dan integrasi, pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), rekrutmen politik, ataupun elaborasi pilihan-pilihan kebijakan. Sementara itu, perilaku politik Foke justru lebih sering terlibat dalam permainan politik transaksional yang membarter kepentingan rakyat dengan kepentingan kekuasaannya. Apa boleh buat, itulah enaknya jadi Foke. Semoga rakyat Jakarta tidak ikut terseret dalam banalitas politik yang disuguhkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H