Mohon tunggu...
radi hardiansyah
radi hardiansyah Mohon Tunggu... -

never lost direction

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jakarta Memilih Ekonomi Kelautan

9 Juni 2012   14:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:11 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahukah Anda, 40 persen atau sekitar 24.000 hektare wilayah Jakarta, posisinyalebih rendah dari permukaan laut? Tahukah juga Anda, bila setiap tahun, daratan di ibukota ini mengalami penurunan (land subsidence) hingga 10 milimeter?

Makanya jangan heran, bila orang Jakarta sudah sangat akrab dengan siklus banjir lima tahunan. Atau, bagi sebagian warga yang tinggal di kawasan utara ibukota, istilah banjir rob sudah jadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Dan ternyata, cerita banjir ini bukan domain warga Jakarta kini saja.

Sekitar seabad lalu, yakni pada 1918, hampir seluruh Batavia --sebutan Jakarta tempo dulu--tergenang hingga sedada orang dewasa. Para ahli di zaman Kolonial Belanda kemudian, pada 1922, membangun Banjir Kanal Barat sepanjang 17,5 kilometer untuk melindungi 811.000 penduduk Kota Batavia dari ancaman banjir.

Namun, upaya strategis pemerintah zaman kolonial itu tidak berlanjut linier dengan pertumbuhan penduduk. Banjir Kanal Timur sangat terlambat dibangun di dekade 2000-an, dimana jumlah penduduk Jakarta sudah bertambah hampir 10 kali lipatnya. Terus terang, miris melihat sebuah iklan politik di televisi. Betapa Fauzi Bowo malah terkesan membangga-banggakan terbangunnya Banjir Kanal Timur. Tentu miris, sebab bukannya Banjir Kanal Timur tiada arti, hanya saja kehadirannya sudah sangat terlambat.

Ketimbang berdebat perkara keterlambatan pembangunan Banjir Kanal Timur, yang sejatinya memang tetap harus ada, sesungguhnya Jakarta kini butuh inovasi lebih canggih dalam mengatasi intaian banjir. Yakni, pembangunan Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall di Pantai Utara Jakarta. Sayangnya, sangat sedikit yang mengkritisi ketika Giant Sea Wall ini hanya masuk dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2030. Artinya, kalau dihitung mundur ke hari ini, warga Jakarta sedikitnya masih berada di bawah empat kali ancaman banjir lima tahunan.

Pernah awal 2011, Fauzi Bowo mewacanakan tentang rencana pembangunan Giant Sea Wall. Entah mengapa kemudian senyap. Alih-alih kenaifan Giant Sea Wall yang hanya dimasukkan dalam rencana Perda RTRW 2030, si Gubernur malah membanggakan Banjir Kanal Timur dalam kampanye politiknya di media massa.

Sebenarnya, sejak Desember 2010, kajian pembangunan Tanggul Laut Raksasa ini sudah dilakukan. Terdapat empat pilihan, pertama, pembangunan tanggul laut diintegrasikan dengan reklamasi pantai utara. Kedua, tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi. Ketiga, tanggul laut berada di luar wilayah reklamasi, kecuali Tanjung Priok. Dan keempat, tanggul laut menghubungkan antar pulau di Kepulauan Seribu.

Pemerintah DKI Jakarta selama ini terlalu berorientasi untuk mewujudkan pembangunan tanggul laut berdasarkan pilihan pertama hingga ketiga. Padahal, problematika yang kerap muncul adalah persoalan lemahnya pengaturan dalam sistem pertanahan nasional. Regulasi berupa Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dan Perpres Nomor 36 Tahun 2006 tidak cukup manjur. TanpaUU yang lebih tegas, kedua peraturan itu kerap kali mandul berhadapan dengan penolakan-penolakan warga, ketika lahan mereka diminta untuk kebutuhan pembangunan. Pun, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sepertinya hanya sebatas hukum di awang-awang. Ada semacam anomali, pemerintah sepertinya tidak mampu bertindak tegas demi kepentingan umum. Ini tercermin dari masih sebatas wacananya pembangunan Giant Sea Wall hingga kini.

Bila tidak ingin membenturkan antara kebutuhan Jakarta akan Tanggul Laut Raksasa dan kepentingan sebagian warga di wilayah utara, pilihan keempat memiliki prospek yang lebih menjanjikan. Tanggul Laut Raksasa dibangun dengan menghubungkan pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Tinggal yang dibutuhkan adalah memadukan konsep ini dengan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan Jakarta yang berorientasi pada ekonomi kelautan. Sebab, tidak mungkin Giant Sea Wall dibangun membentang di Kepulauan Seribu tanpa memikirkan pengembangan potensi di wilayah kepulauan dan laut Jakarta.

Baru-baru ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo menyesalkan hingga kini Indonesia belum menjadikan kelautan sebagai mainstream pembangunan nasional. Hal itu tidak terlepas dari paradigma pengambil kebijakan antara eksekutif dan legislatif yang masih sangat berorientasi  pada daratan (land based oriented) dibandingkan kelautan (marine based oriented). Bahkan, hal itu terjadi sejak zaman kolonial.

Menurut Sharif, bila bangsa ini ingin menata masa depannya, maka harus berangsur paradigma diubah pada sektor lautan. Sharif, yang juga menjadi Ketua Pelaksana Harian Dewan Kelautan Nasional, berharap para pengusaha perikanan dan nelayan-nelayan kecil semakin diberdayakan guna mendapat peluang dan dorongan untuk penggerak perekonomian nasional dan menjadi pengusaha serta pelaku ekonomi kelautan yang andal.

Bukan kebetulan, Sharif memiliki pandangan demikian, mengingat posisinya sebagaiMenteri Kelautan dan Perikanan. Bukan kebetulan pula, bila di Jakarta perlu digadang calon pemimpin yang memiliki pandangan serupa mewujudkan pembangunan ekonomi yang berorientasi kelautan, sekaligus memberi manfaat bagi daratan agar tak lagi berada di bawah intaian banjir.

Kini, ada enam pasangan calon gubernur-wakil gubernur di DKI Jakarta. Namun, dari semuanya, hanya satu yang memiliki marine based oriented, yakni Nono Sampono yang bukan kebetulan seorang purnawirawan marinir. Kembali melihat peluang Jakarta untuk bisa lepas dari ancaman banjir, tentu Nono sepakat untuk memberdayakan 6.977,7 km2 luas laut Jakarta, ketimbang berpikir sempit pada 661,52 Km2 daratan Jakarta. Pilihannya pasti mewujudkan Giant Sea Wall yang menghubungkan antar pulau di Kepulauan Seribu.

Sebagai calon wakil gubernur, mainstream kelautan yang ada di diri Nono sangat mendukung visi ekonomi milik Alex Noerdin, sang calon gubernur. Dari sederet keberhasilan Alex Noerdin dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Selatan, perannya menyukseskan SEA Games XVI adalah satu yang fenomenal. Bukan perkara mudah mencari dana dari pihak ketiga sebesar Rp1,6 triliun demi sukses event internasional tersebut. Padahal, pemerintah sendiri melalui APBN hanya mampu membiayai 20 persen dari total budget Rp2,2 triliun.

Akankah visi ekonomi Alex Noerdin dan mainstream kelautan Nono Sampono dapat memberikan sumbangsih bagi Jakarta agar lepas dari ancaman land subsidence?Semua tergantung Jakarta memilih pada 11 Juli 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun