Diwarnai penolakan, KPU DKI Jakarta Tetapkan DPT. Demikian judul berita di sebuah media online pada akhir pekan lalu. Padahal, baru beberapa hari sebelumnya, ada berita lain berjudul 78 Dari 87 Pilkada Digugat di MK.
Gambaran singkat dari berita pertama adalah ngototnya KPU DKI Jakarta menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada sebanyak 6.982.179 pemilih. Mayoritas pasangan calon gubernur/wakil gubernur tidak bersepakat dengan angka tersebut, kecuali pasangan incumbent. Alasan penolakan, karena adanya dugaan DPT ganda.
Sedangkan inti dari berita satu lagi, mayoritas pelaksanaan Pilkada yang dilakukan pada tahun 2011 berujung konflik dan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), dari 87 Pilkada, 78 di antaranya digugat ke MK dengan 132 perkara yang teregistrasi.
Mendagri Gamawan Fauzi, dalam menanggapi maraknya gugatan itu, mengatakan Pilkada bukan saja berujung pada gugatan di MK, melainkan juga ada dinamika lain, seperti ditundanya pelantikan pemenang. Bahkan, beberapa di antaranya juga harus melakukan pemungutan suara ulang akibat putusan MK yang membatalkan hasil Pilkada.
Gugatan sengketa hasil Pilkada ke MK adalah akumulasi dari pelanggaran-pelanggaran yang tidak terselesaikan dalam proses pelaksanaan. Fakta itu menunjukkan penyelenggara Pilkada dan sistemnya perlu dibenahi. Baik dari segi pengawasan, UU Penyelenggara Pemilu, peran Bawaslu, termasuk status Panwaslu.
Ironisnya, meski menyadari banyaknya kasus Pilkada, Mendagri malah mengaku tidak terlalu kaget, jika ada sengketa DPT dalam Pilkada DKI Jakarta. Dengan entengnya dia mengatakan data e-KTP berselisih cukup besar dengan DPT sepenuhnya diserahkan kepada KPU DKI Jakarta selaku penyelenggara. Mendagri lepas tangan???!
Dalam ruang lingkup yang lebih luas pada perpolitikan nasional, saat ini, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pilkada memang tengah digodok revisinya. Diharapkan ke depan, UU harus mencakup aturan yang nantinya mengandung kemudahan-kemudahan. Semisal dari sisi pemilih, aturan harus mempermudah pemilih menyoblos dan mendaftar sebagai pemilih. Peserta juga harus mudah mencalonkan diri sebagai kandidat dengan biaya Pemilu murah dan sebaiknya cukup satu putaran. Selain itu, Pemilu juga harus rendah konflik dan tidak mempersulit proses penyelesaian sengketa.
Jika mau jujur, dengan adanya fakta 78 dari 87 Pilkada berpolemik hingga ke MK, mencerminkan masyarakat masih belum siap dengan Pilkada. Hampir setiap calon kepala daerah yang kalah menggugat ke MK. Carut marut ini, suka tidak suka, harus diakui telah mencederai demokrasi di Indonesia. Lalu, tidak adakah rasa kapok dari pemerintah, bila harus menghadapi lagi polemik Pilkada?
Menuju 11 Juli 2012, adalah waktu tersisa yang mestinya dimanfaatkan secara arif untuk sepenuhnya berada dalam kerangka kemufakatan sebuah pesta demokrasi agar layak dijadikan model bagi Pilkada di daerah lain. Bagaimanapun, Jakarta adalah ibukota negara yang selalu dijadikan tolok ukur bagi daerah dalam berbagai hal. Tak terkecuali dalam pelaksanaan Pilkada.
Benang merah dari persoalan terkini adalah nuansa kekuasaan terstruktur dan sistematis antara keinginan incumbent dan KPU DKI Jakarta untuk memaksakan jumlah DPT. Selain itu, lepas tangannya Mendagri yang menafikan keberatan kandidat lain, juga tersistematis. Mendadak serempak tiga pihak ini menggiring proses Pilkada DKI Jakarta tetap harus dilaksanakan bak anjing menggonggong kafilah terus berlari. Mengecilkan persoalan DPT yang nyata-nyata ditolak seluruh kendidat selain incumbent. Mengerdilkan potensi bertambahnya deretan kasus Pilkada yang berujung di meja MK. Menihilkan segala kesempatan untuk bermufakat dalam demokrasi.
Miriam Budiardjo mendefinisikan kekuasaan sebagai, “kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa, hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.” Bila saja Pilkada DKI Jakarta tetap dipaksakan tanpa mengindahkan keberatan para kandidat soal DPT, dipastikan skenario status quo memang telah ditata tersistematis sejak dini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H