Tiga belas tahun lalu dari hari ini, kalian masih berhimpun dalam barisan ribuan mahasiswa, menentang kuasa rezim yang mengangkangi kebebasan. Elang, pagi itu mungkin engkau berada di tengah 6.000 civitas akademika Trisakti, di pelataran parkir Gedung M, yang bersiap melakukan aksi damai. Hafidin Royan, engkau juga pasti berdiri di sana menyaksikan merah-putih dikerek setengah tiang karena duka tengah meliputi nasib negeri. Heri, aku tahu, dadamu berdentum ketika mimbar bebas digelar, kala teriakkan: "Merdeka, Merdeka, Merdeka!!!" terlontar dari mulut para orator jalanan, membahana di langit Jakarta. Dan engkau Hendriawan, tegap bersemangat melangkahkan kaki dalam long march menghadang pentungan dan barikade dua lapis aparat yang hanya tahu melaksanakan tugas tanpa memahami keadaan.
Di depan sana, langkah kalian tertahan satuan tugas keamanan berbaju hijau. Kalian tidak boleh meneruskan langkah. 'Karena bisa menimbulkan kemacetan lalu lintas,' kata mereka. Padahal semua orang tahu jalanan di Jakarta tetap macet tanpa ribuan kalian yang melakukan long march. Negosiasi terus berjalan. Kalian tegaskan bahwa aksi itu adalah aksi damai, namun mereka menjawab dengan mendatangkan tambahan 4 truk aparat Pengendalian Massa. Lalu kalian meneruskan mimbar bebas, menjadikan suasana semakin panas. Kalian tetap bergeming ketika hujan mulai turun. Butiran air dari angkasa kalian anggap sebagai restu langit atas aksi kalian. Hujan itu membuat semuanya terdiam dan saling tunggu. Lalu polisi datang, membentangkan police line. Tidak boleh ada yang mendekati bentangan pita kuning itu lebih dari 15 meter. Baik dari barisan kalian, maupun aparat yang berjaga.
Namun ada saja yang memancing di air keruh. Entah kebetulan atau memang seharusnya begitu. Satu mulut entah siapa, memaki kalian. Marah kalian terpancing lalu ada di antara kalian yang mengejar pemilik mulut culas itu. Dia berlari ke arah barisan aparat. Aparat mengira kalian hendak menyerbu mereka, mereka berreaksi. Saat itulah picu ditarik dan moncong senapan menghamburkan peluru karet ditambah lontaran gas air mata. Kepanikan membuncah, kalian berlarian, cerai berai, sebagian menuju kampus, banyak juga yang berlarian taktentu arah. Rona jingga di langit menjadi saksi, hanya naluri kemanusiaan yang harus menyelamatkan diri yang membuat kalian berlarian seperti itu. Dikejar-kejar oleh pentungan dan popor senapan. Di bawah desingan peluru, entah karet entah tajam, yang berseliweran. Satu dua tendangan mengena telak di pantat dan tubuh kalian. Banyak pukulan menghantam wajah kalian. Dan caci maki dari petugas yang kehilangan kontrol diri menghunjam telinga kalian.
Senja penghabisan sore itu. Tetapi masih ada aparat yang berada di bawah jembatan layang menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dalam formasi siap menembak dua baris (sebaris jongkok, sebaris berdiri). Lalu rentetan tembakan memuntahkan peluru tanpa kendali itu. Meluncur deras ke arah kalian yang berada di dalam kawasan kampus. Satu dua korban mulai jatuh. Mereka yang luka segera dilarikan ke rumah sakit.Namun Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie sudah tewas tertembak peluru tajam pada tempat-tempat vital: kepala, leher, dan dada mereka. Tumbal sudah dikorbankan,namun tembakkan masih terus menggencar disertai lontaran gas air mata.
Maaf, Elang, jika hari ini kami tidak turun ke jalan untuk memperingati hari itu, karena kampus kita sedang berada di bawah bayang-bayang sengketa. Kami tidak ingin disimpulkan sebagai pemihak salah satu dari mereka yang bersilangan. Urusan yang mereka sengketakan tiadalah menyangkut soal nasib negeri ini, melainkan sekadar soal penguasaan aset dan pengelolaan kampus. Diam adalah langkah terbaik untuk saat ini. Apalagi setelah menyaksikan bagaimana mereka bersilang pendapat. Memutar balik fakta demi membenarkan hasrat memiliki, bukan mencintai, sebagaimana kalian dulu mencintai reformasi dan negeri ini.
Untukmu, Heri Hertanto, kami memohon restu merayakan tragedi hari itu dengan cara yang tidak biasa. Mungkin cukup dengan melantunkan do’a diam-diam, agar mereka yang bersengketa akhirnya tahu saat mana mereka harus taat, kapan mereka harus menentang, dan tahu bagaimana cara berdamai. Bukankah kita dulu pernah menegaskan, bahwa damai bukan pilihan, melainkan keharusan? Dan damai saat ini begitu kami nanti, karena kami ingin menuntaskan masa belajar di kampus ini.
Hafidin Royan, aku rindu tatapanmu, yang sanggup melihat segala-sesuatu yang taknampak. Jika engkau hadir di sini, mungkin bisa menunjukkan kepada para pihak yang bertikai, bahwa bukan itu yang sepatutnya mereka sengketakan. Bukan soal status pemilikan dan pengelolaan kampus, melainkan soal-soal yang lebih besar dari seluruh soal civitas akademika, yakni keberlangsungan pendidikan kami, pendidikan di negeri ini. Keputusan hukum sudah ada, tapi satu pihak masih saja mengada-ada, menyetarakan perlawanan mereka sebagai kebenaran. Kami tidak bebal untuk membedakan manipulasi dengan perjuangan atas kebenaran cita-cita. Kami tidak akan terbawa-bawa oleh arus yang menipu itu. Karena kami tahu, arus itu bukanlah gelombang reformasi.
Dan terakhir Hendriawan Sie, tenanglah. Kabut takkan bertahta selamanya, ia pasti sirna seiring menyingsingnya matahari. Sengketa itu bakal segera ditelan indahnya damai, kecuali bagi mereka yang terlalu bebal dan buta melihat sejarah kampus kita yang sanggup menembus ujian waktu dengan keharuman nama Trisakti yang menetap.
Salam Almamater!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H