Mohon tunggu...
Ryanda Adiguna
Ryanda Adiguna Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pernah jadi: - Paskibraka. - Pertukaran Pemuda. - Duta Wisata. - Penerima Beasiswa. - Pengajar Muda. "Menulislah, agar orang di masa yang akan datang tahu kalau kau pernah hidup di masa lalu"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Aku Mau Merantau, Jangan Khawatir Papa-Mama, Minangkabau Sudah Siapkan Bekal

10 Desember 2012   17:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:52 2210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13551769241030391359

[caption id="attachment_228715" align="aligncenter" width="618" caption="Ilustrasi/Admin (Wikipedia)"][/caption]

Lapau = warung/kedai

Surau = musholla/mesjid (tempat Shalat berjamaah) Rantau = ??? Monolog Christine Hakim dalam film Merantau:

Dalam tradisi MINANGKABAU, setiap anak laki-laki suatu hari akan pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka, dan berjalan mencari pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang akan membuatnya menjadi lelaki sejati. Perjalanan mencari pengalaman hidup ini adalah MERANTAU. Sebuah ujian dan pendidikan jasmani rohani, terakhir untuk membuktikan pengetahuan dan kehandalannya di muka dunia. Alam semesta menjadi guru pembimbing yang akan membedakan cahaya KEBENARAN dan cahaya KESALAHAN.

Tulisan ini tidak bertendensi untuk mengangungkan atau menonjolkan etnis atau agama tertentu. Namun dalam tulisan ini saya gunakan pendekatan melalui etnis Minangkabau dan agama Islam. Karena bukan salah Bunda mengandung, bukan salah Bapak membesarkan. Kita tak bisa pesan dilahirkan dari rahim siapa, siapa orangtua kita, dari keturunan mana kita berasal, di tanah mana kita dibesarkan, bahasa apa yang kita gunakan, dll. Kebetulan saya lahir dari Ayah dan Ibu yang memiliki garis darah minangkabau (Sumatra Barat). Tulisan ini tentang saya, kamu, dia, mereka dan siapa saja yang ingin merantau tapi belum mendapat restu. Restu orang tua, keluarga, atau mungkin pacar, dll. Karena hidup keras di perantauan, kalau tak dapat restu, tentu akan semakin keras (dibaca dengan huruf 'e' keras). Surau, Lapau, dan Rantau Dalam sejarah peradaban minangkabau, merantau adalah sesuatu yang wajar, bahkan sudah menjadi tradisi, terutama bagi laki-laki. Karena Minangkabau menggunakan garis keturunan matrilineal, bernasab pada Ibu. Perempuan di minang diberi tempat yang lebih istimewa dibanding laki-laki. Anak perempuan tidur di rumah, sedangkan anak laki-laki tidur di surau.

Surau sebagai bagian dari budaya Minangkabau dimasa lalu.Pada masa dahulu, ketika seorang anak laki-laki (dalam pengertian ini adalah telah memasuki usia sekolah yaitu kira2 usia 6-7 tahun) akan menuju surau apabila hari mulai beranjak malam. Setelah melakukan Sholat Magrib berjamaah, kemudian kegiatan dilanjutkan dengan mengaji, mendalami ilmu-ilmu agama dari angku guru. Maksud dari pendalaman ini adalah bukan hanya menghapalkan hukum agama, namun juga memahami tafsir, filsafah hidup yang sesuai dengan ajaran islam, bagaimana ahlak yang baik, menjadi manusia yang memiliki manfaat bagi orang banyak. Setelah melakukan shalat isya, kegiatan dilanjutkan dengan mempelajari tafsir Al Quran, yang lebih dewasa biasa akan berlajar silat di luar surau, dan ketika malam mulai beranjak larut semua kembali ke surau untuk beristirahat. Setelah melakukan shalat shubuh berjamaah barulah semua anak kembali ke rumah orang tua masing-masing untuk bersekolah.

Sesudah sholat subuh dan saat hari sudah beranjak terang, maka anak laki-laki kembali beraktifitas. Sekolah, belajar, bergaul, bermain. Kemudian lapau menjadi salah satu tempat bergaul. Di lapau pemuda minang berinteraksi dengan pemuda lain.

Warung kopi yang banyak terdapat di seluruh wilayah Sumbar itu semula memiliki konsep ekonomi. Pranata utang terjadi di lapau, yakni barang dapat diambil lebih dulu dan baru dibayar saat panen tiba. Konsep ekonomi masih mendominasi lapau yang berderet di sepanjang jalan raya Padang-Padang Panjang. Lapau di situ menjadi tempat beristirahat sambil membelanjakan uang. Lama-kelamaan, fungsi lapau bergeser menjadi semacam media pertemuan informal serta tempat pertukaran informasi dan ekonomi. Lapau demikian biasanya menyediakan televisi dan permainan, seperti kartu. Bapak-bapak/lelaki nongkrong di warung kopi setelah shalat isya atau magrib. Bicara tidak terstruktur.
Lapau pula yang akhirnya ”mendidik” kaum laki-laki di Sumbar untuk terbiasa menyampaikan pendapat, bertukar pikiran, berdebat, tetapi tetap menghargai pendapat orang lain. Pembicaraan di lapau biasanya terpengaruh kondisi termutakhir. Misalnya, tahun 2009 ini, isu pemilihan umum presiden-wakil presiden menjadi topik hangat di lapau.

MERANTAU Ini bukan tentang film merantau ataupun membahas film tersebut. Merantau bisa dikatakan adalah lahan aplikasi ilmu agama yang didapat di surau dan ilmu bersosialisasi yang dipahami di lapau.

Rantau menjadi tradisi yang kental di Minangkabau, selain lapau dan surau. Rantau, lapau, dan surau menjadi bagian dari perjalanan hidup laki-laki di tanah yang menerapkan sistem matrilineal atau garis keturunan ibu itu. Hans van Miert dalam bukunya berjudul Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia 1918-1930 menyebutkan, untuk orang Minangkabau, bepergian berarti mengikuti tradisi lama yang dinamakan rantau. Artinya, meninggalkan daerah sendiri untuk mencari pengetahuan atau karena pertimbangan ekonomi dan nantinya pulang dalam keadaan sudah lebih matang dan/atau lebih kaya. Elizabeth E Graves dalam bukunya, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century, menyebutkan, merantau adalah interaksi paling penting antara penduduk nagari dan dunia luar. Rantau berlaku di mana saja, selama di luar wilayah nagari tempat asalnya. Nagari adalah wilayah pemerintahan setingkat desa. Rantau merupakan petualangan pengalaman dan geografis. Secara sadar memutuskan meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan. Sumber.

Jika bukan karena merantau, tak mungkin Mohammad Hatta bisa injakkan kaki di tanah jawa. Padahal beliau lahir di Bukittinggi, rumahnya tak jauh dari jam gadang-pasa ateh, juga tak jauh dari rumah nenek saya di daerah birugo bungo. Karena memang Bukittinggi itu kotanya kecil, tapi dari kota kecil ini beliau merantau hingga bisa sekolah di negeri Belanda, kemudian menjadi salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia. Belum lagi nama-nama seperti Sutan Sjahrir, Agus Salim, M.Yamin, Tan Malaka, M.Natsir, A.K. Gani, Buya Hamka, dll. Belum lagi perantau minang di Malaysia yang kemudian keturunannya telah menjadi warga negara Malaysia. Konon Yang Dipertuan Agung, Raja Malaysia yang pertama adalah keturunan minang. Dan juga perantau-perantau minang di negara lain. Kalau bukan karena merantau, tak kan mungkin brand Nasi Padang tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia hingga ke mancanegara. Bahkan ada anekdot, kalau lah ada kehidupan di bulan, mungkin sudah ada yang buka rumah makan padang di sana. Saya yakin merantau juga terjadi di daerah lain di Indonesia, bagi pemuda di luar minang. Lihatlah, kalau tidak karena merantau tak mungkin ada penjual Nasi Gudeg di Kalimantan, Coto Makasar di Sumatra, Nasi Rawon di Maluku, Bika Ambon di jual di Medan. #eeh (memang asli Medan :)) Untuk mereka yang ingin merantau tapi belum mendapat izin orang tua, keluarga, atau mungkin pacar. Zaman sudah berubah, merantau bukan lagi untuk anak lelaki dan minangkabau. Merantau bisa dilakukan siapa saja. Lagi pula tradisi tidur di surau sudah lama hilang, apalagi di kota-kota besar. Nilai-nilai lapau pun sudah banyak bergeser. Nilai-nilai agama sudah mulai diajarkan di sekolah. Lahan-lahan pelatihan untuk bersosialiasi pun tidak hanya di lapau. Ruang untuk berpendapat, bertukar pikiran dan berdebat sudah semakin luas. Jika pemadam kebakaran punya moto "pantang pulang sebelum padam." Jika merantaupun harus punya motto, "pantang pulang sebelum menang." Karena hakekat merantau adalah mencari yang lebih baik di luar kampung halaman. Merantau ibarat menuju gelanggang perang, medan persaingan. Jangan pulang sebelum menang. Seperti kata Sutan Sjahrir, salah satu perantau minang yang jadi Perdana Mentri Indonesia zaman Presiden Soekarno.

"Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, maka tidak akan pernah dimenangkan."

Tapi lanjut Sjahrir,

"Bukan berarti asal mempertaruhkan dengan konyol. Mempertaruhkan juga harus dengan perhitungan."

Jika rasa-rasanya ilmu dan bekal sudah cukup, pergilah merantau. Dunia masih terlalu luas dan menunggu untuk dijelajahi. Pastikan pulang dengan kepala tegak :) Tetapi karena tak ada yang pasti di dunia ini, maka berusaha dan berdoalah agar tidak pulang dari rantau dengan kepala tertunduk. Tulisan ini memang sepertinya bersifat gender karena membahas banyak tentang laki-laki dan contoh perantau laki-laki yang sukses. Dimana peran perempuan?? Untuk sekedar tambahan tulisan yang berimbang, bisa dibaca tulisan ini. Perempuan di antara rantau, surau, lapau. Selamat merantau, MS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun