"Pertama, saya tidak mau disuruh berhenti bekerja, kecuali atas kemauan saya sendiri. Kedua, saya akan memutuskan kapan saya siap menjadi ibu dan saya akan mengatur jarak kehamilan. Dan terakhir, kita akan berbagi tugas pekerjaan rumah tangga," kata Maya sambil mengacungkan jemarinya satu per satu, dan menahan getaran bibir yang tidak bisa dikendalikannya. Tatapannya memaku pada kutikula kuku ibunya Randi. Ia melihat seekor, atau bahkan banyak ulat kecil-kecil yang tinggal di sana. Seketika bulu kuduknya meremang.
Tanpa permisi, Randi dan keluarganya segera keluar dari rumah. Mereka mengatakan jika kedua orang tua Maya sudah gila karena sudah memelihara seorang gadis gila.
Sepulangnya Randi dan keluarganya, Maya berdiri menghadapi emosi Bapak dan Ibu. Benteng pertahanannya selama bertahun-tahun akhirnya luruh ketika Ibu mengatainya seorang anak yang tidak berguna. Betapa ngilu hatinya, mulutnya kian bergetar ingin ikut memuntahkan emosi, matanya memerah, dan kedua tangannya mengepal hebat. Namun ada Gendis yang menghampiri dan memeluk.
Maya merasa tubuhnya menegang. Pelukan yang tidak pernah dirasanya kini mendarat dan terasa hangat sampai ke relung hati. Dengan kaku ia membalas pelukan Gendis yang memakai daster kumal dan beraroma ASI, ia mengelus kepala sang adik dengan lembut. Adik yang selama ini tidak pernah dihiraukannya, apalagi sejak kelahiran Arunika dan Arusha.
Amarah dalam rumah itu berakhir ketika Gendis berteriak meminta Bapak dan Ibu untuk segera berhenti mencaci dan memaki Maya.
"Mbak Maya harus bahagia. Jangan kayak aku, pernikahanku hanya demi melunasi utang minuman Bapak," ucap Gendis dengan air mata yang tumpah ruah. Tangisannya diiringi tangisan kedua anaknya dari dalam kamar.
Bapak dan Ibu terdiam. Mereka membuang pandangan ke plafon rumah yang sebagian sudah terkelupas dan yang lainnya ada bekas kecupan air hujan. Mereka seolah kehilangan kata, mungkin juga akal. Sebab Bapak mendadak terjatuh.
Pria yang hampir botak itu kesulitan mencari oksigen. Tampak dari dadanya yang membusung dan mengempis. Hanya tangisan Ibu yang mengiringi kepergiannya. Sedang kedua anaknya hanya berdiri mematung, menyaksikan.
Dunia tidak runtuh. Dunia masih berputar sesuai janjinya. Maya pun tetap melanjutkan hidup. Bedanya kini ada Raja yang setia di sisinya.
"Seberapa bahagia kamu di kantor hari ini?" tanya Raja, ketika mereka berada di taman kota. Taman yang kini terasa lebih hidup ketimbang saat matahari enggan menurunkan derajatnya seperti berbulan-bulan yang lalu.
Maya menoleh untuk melempar senyumnya, matanya berbinar.