Namun, kali ini asumsi Maya dipatahkan oleh seorang ibu-ibu yang memiliki kuku yang indah. Kutikulanya tampak begitu sehat. Bu Yuni namanya. Di samping Bu Yuni, ada seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak yang lengannya digulung sampai ke siku.
"Terima kasih, ya," ucap Bu Yuni tersenyum setelah menerima buku tabungan yang sudah dikenyangkan dengan nominal fantastis. "mbak Maya," sambungnya setelah membaca nama yang tertera di papan akrilik di atas meja.
Laki-laki berkemeja kotak-kotak ikut tersenyum kepada Maya sebelum mengekori Bu Yuni pergi meninggalkan bank.
"Amit-amit, May!" seloroh Nisa yang segera menyadari Maya masih berdiri menatap kepergian laki-laki itu. "itu anaknya Bu Yuni, namanya Raja. Enggak banget deh kalau kamu naksir dia. Kamu tau enggak, kalau aku disuruh ibu mertuaku antar makanan ke rumah Bu Yuni, aku selalu liat Raja itu nyapu, ngepel, nyuci piring, nyuci baju, bahkan kadang dia masak. Banci banget kan?" sambungnya sambil mencat kukunya dengan warna merah menyala. Warna yang kontras dengan kutikula kukunya yang mulai keunguan.
Maya hanya tersenyum. Ia meletakan papan akrilik yang bertuliskan 'istirahat'. Kini keenam teller itu bersiap pergi ke sebuah restoran atas ajakan bos mereka, seorang gadis dengan tampilan yang selalu sempurna dan nyaman bagi siapa pun yang memandang.
Sang bos akan mentraktir dalam acara pelepasan status lajangnya. Sebenarnya Maya tidak ingin ikut, tapi ancaman sang bos tidak bisa disepelekan, mengingat ia adalah tulang punggung keluarga sejak bapaknya yang pemabuk itu tidak dipercaya oleh orang-orang lagi baik menjadi karyawan atau berhutang.
Pesta diadakan di sebuah restoran mewah. Senyum sang bos bertebaran sepanjang jam makan siang bahkan masih berlanjut ketika jam pulang. Maya hanya memiliki satu pertanyaan, "Apakah kutikula kuku sang bos akan tetap indah?"
Pertanyaan itu terus terbawa hingga bulan mendarat, membawakan sinar kuningnya. Maya merasa susah walau hanya memejamkan mata. Gadis itu tidak bisa menebak atas pertanyaannya sendiri. Hingga tiba saatnya matahari yang berkuasa. Meski sudah berdiri hampir lima jam, tetapi sinarnya yang keemasan masih tersendat akibat awan mendung yang enggan menyingkir sejak ayam-ayam dalam kandang bangun.
"Saya datang ke sini untuk menjadikan Maya istri saya," ucap Randi sambil mencetak senyum tipis yang dominan di pipi kirinya.
"Saya punya syarat," celetuk Maya yang tiba-tiba berdiri di belakang sofa yang diduduki Ibu. Mata merahnya dihiasi kantung hitam. Bahkan gadis itu enggan mengikat rambut megarnya.
Wajah Ibu pias, sementara wajah Bapak mendadak seperti kepiting rebus.