Mohon tunggu...
Radhitya Okvien
Radhitya Okvien Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Matematika yang mencari Jati Diri Matematika

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tidaklah Indah Dunia Ini, jika Hanya Ada Satu Warna

6 Januari 2016   15:05 Diperbarui: 6 Januari 2016   15:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya tulisan ini sudah lama ingin saya publikasikan. Tetapi, karena ada beberapa pertimbagan dan juga belum ada keberanian maka tulisan ini urung saya publikasikan. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk mempublikasikan tulisan ini. Tulisan ini saya anggap sebagai keresahan saya dalam beberapa waktu ini. Bukan curhat, bukan juga kritik. Tapi saya hanya ingin mengutarakan pendapat saya.

Sekitar beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan sebuah broadcast message dari grup alumni pondok pesantren tempat saya bersekolah dulu. Isinya cukup membuat saya kaget, pesan itu berisi tentang akan diadakan sebuah demo. Demo ini terjadi karena pendirian sebuah gereja yang menurut beberapa ulama disana menyalahi peraturan. Dan mereka menuntut pencabutan izin gereja tersebut. Kira-kira begitulah isi pesan yang saya dapatkan.

18 tahun saya hidup dalam lingkungan yang homogen. Homogen dalam artian semua orang di lingkungan yang saya tempati semuanya beragama Islam. Tidak ada yang beragama selain islam. Apalagi setelah lulus sekolah dasar saya melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren dibilangan Bekasi. Ketika saya memulai kehidupan sebagai mahasiswa, saya harus belajar hidup bersama. Itu berarti, semasa belajar, saya harus memposisikan diri untuk memandang dan memperlakukan sesame dengan setara. Karena dunia kampus mempertemukan saya dengan orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang agama.

Setiap agama tentunya membawa nilai-nilai yang berbeda. Maka dari itu, untuk tetap menjalani kehidupan dengan baik, saya harus mempunyai sikap tenggang rasa, agar perbedaan ini dapat diterima dan dihormati. Dalam satu tulisan Prof. Gunawan Tjahjono, beliau mengatakan bahwa. Sikap tenggang rasa akan tumbuh jika keberterimaan perbedaan berlangsung dalam kesetaraan dan saling menghormati.

Menurut Mohammad Munip (Direktur Eksekutif International Conference on religion and peace), berbagai persoalan bernuansakan agama, mulai dari intoleransi, radikalisme, bahkan ekstremisme disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu terhadap agama atau penganut agama lainnya. Maka, muncullah pemikiran bahwa yang ada dimuka bumi ini hanyalah diri dan kelompoknya saja. Yang berbeda dianggap aneh dan menyimpang bahkan sesat.

Pernyataan ini membuat saya seperti dipukul. Indonesia bukan hanya Islam saja, Protestan saja, Katolik saja, Hindu saja, Budha saja, atau bukan Konghuchu saja. Semua agama tersebut diakui oleh Negara. Lalu, apakah hanya karena kita mayoritas kita boleh bertindak seenaknya terhadap minoritas? Pertanyaan ini bukan hanya untuk umat islam saja. Tetapi, untuk semua agama yang mayoritas disuatu daerah. Bukan hanya kejadian demo pendirian gereja di bekasi tetapi juga kejadian pembakaran gereja di tolikara. Gampangnya, jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan dicintai, tentu kita juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain. Itu teori sosiologis sederhana.

Lalu apa yang saya ingin sampaikan? Saya cuman ingin menyampaikan bahwa kita hidup di Indonesia bukan hanya terdiri atas satu agama saja. Indonesia terdiri dari berbagai macam agama. Khusus untuk kasus pendirian gereja di bekasi seperti yang saya ceritakan diatas. Coba kita telaah dari syarat pendirian rumah ibadah. Tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah. Pada pasal 13 Perber Menag dan Mendagri No. 8/9 Tahun 2006, disebutkan bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan kepada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

Pendirian rumah ibadah ini dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum, serta memenuhi peraturan perundang-undangan. Apabila keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, maka pertimbangkan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota/provinsi. Selain itu, ada syarat administratif yang harus dipenuhi, antara lain :

  1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan penjabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
  2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
  3. Rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota
  4. Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/kota.

Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati.walikota untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari setelah permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia.

Jadi, jika semua syarat tersebut sudah dipenuhi maka, rumah ibadah tersebut legal untuk didirikan. Nah, yang jadi permasalahannya adalah bagaimana ketika data dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izinnya? Seperti yang terjadi di bekasi. Menurut broadcast message yang saya dapatkan, data persetujuan warga dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izin tersebut. Seharusnya, yang kita lakukan adalah bukan mempermasalahkan pendirian rumah ibadah tersebut.

Tapi, buktikan bahwa tuduhan itu benar dan laporkan kepada pihak yang berwajib. karena Negara kita Negara hukum, yaaa walaupun hukumnya kadang timpang. Tapi, alangkah baiknya untuk kita mematuhi system yang telah berlaku di Negara ini. Sistem akan berjalan baik jika system yang menggerakkan manusia bukan manusia yang menggerakkan system. Itu argument saya dari segi aturan yang berlaku di Negara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun