Hari ini, 1 Januari 2015 tepat satu tahun usia Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Dalam satu tahun pelaksanaannya, JKN banyak mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Penilaian, opini, pujian, kritikan, hinaan dan komentar lainnya tidak jarang menghampiri JKN. Banyak sudah upaya yang digulirkan oleh pihak Kemenkes,BPJS, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas serta klinik kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional ini. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan dan kendala dalam penyelenggaraan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini seiring dengan masih banyaknya keluhan dan ocehan masyarakat tentang rumit dan lamanya pengurusan administrasi BPJS di pusat pelayanan kesehatan dan pelayanan petugas kesehatan di rumah sakit yang menganak tirikan pasien dengan jaminan kesehatan BPJS dibanding pasien umum yang membayar langsung biaya berobatnya di rumah sakit.
Selama satu tahun JKN di Indonesia, tidak menutup kemungkinan adanya kecurangan atau fraud dalam pelaksanaannya. Potensifraud selalu ada dalam setiap sistem asuransi kesehatan dan terjadi di semua negara, termasuk program JKN di Indonesia. Definisi darifraud itu sendiri adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan; kesalahan alegasi (mendakwa orang melakukan tindakan criminal), menutupi sesuatu yang harus terbuka, menerima tindakan atau sesuatu yang salah dan merencanakan melakukan sesuatu yang salah kepada orang lain sehingga dia bertindak di atas hukum yang salah (Black’s Law Dictionary).
Kemungkinan terjadinya fraud pada JKN disebabkan oleh dua hal, yaitu faktor ketidaksengajaan dan faktor kesengajaan. Faktor ketidaksengajaan terjadi karena kurangnya pemahaman rumah sakit tentang JKN beserta aturannya sehingga terjadi kesalahan, seperti saat penulisan kode diagnosa penyakit (coding). Sedangkan faktor kesengajaan terjadi karena didasari keinginan Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk  mencari keuntungan yang lebih besar.
Seperti yang telah diketahui sistem pembiayaan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTP) dalam hal ini, yaitu Rumah Sakit menggunakan sistem INA-CBGs. Pada awal era JKN, banyak rumah sakit yang menolak kebijakan tarif INA-CBGs, karena menganggap tarif INA-CBGs jauh lebih rendah dari biaya kesehatan umumnya, bahkan banyak rumah sakit yang mengklaim tarif INA-CBGs tesebut tidak menutupi biaya operasional mereka. Hal inilah, yang mendorong tenjadinya fraud pada rumah sakit. Berbagai cara pun dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, seperti menaikkan kelas rawat peserta JKN, dengan dalih kamar rawat sesuai kelas yang dijamin sedang penuh. Sehingga peserta harus membayar sendiri tambahan biaya untuk kelas rawat yang tersedia. Padahal bisa saja ini hanya akal-akalan rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan. Potensi fraud lainnya yang bisa dilakukan oleh rumah sakit yaitu dengan melakukan upcoding tarif INA-CBGs. Sehingga muncullah klaim-klaim palsu yang tidak sesuai dengan pelayanan kesehatan yang sebenarnya diberikan ke peserta.
Selain itu dalam hal ketersediaan obat pun sering terjadi fraud. Banyak kasus terkait peserta yang harus mengeluarkan biaya sendiri (out of pocket) untuk obat yang dibutuhkan dengan alasan obat yang diresepkan oleh dokter sedang kosong atau resep tersebut bukan obat yang dijamin oleh BPJS. Padahal seharusnya semua obat yang diberikan kepada peserta sudah ditanggung oleh BPJS, sehingga peserta tidak perlu lagi membayar obat karena peserta berhak mendapatkan perawatan sesuai tindakan medis, termasuk pemberian obat tanpa harus membayar kembali. Siapa yang tau obat tersebut beneran kosong atau lagi-lagi cuma modus rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan, ditambah lagi dengan kurangnya pengetahuan peserta tentang obat yang dijamin oleh BPJS.
Rumah sakit bukan satu-satunya pelaku fraud pada JKN, peserta sebagai penikmat dari sistem jaminan kesehatan juga berpotensi melakukan fraud. Contohnya saja, pada saat melakukan registrasi dengan memalsukan identitas ketika mengisi formulir aplikasi.
Oleh karena JKN sangat rentan terjadi fraud, maka diperlukan perhatian dan pengawasan lebih khusus untuk menindaklanjuti hal-hal yang berkaitan dengan fraud sekecil apapun itu. BPJS sebegai penyelenggara jaminan kesehatan harus lebih ketat mengawasi provider kesehatan dan memberikan sanksi yang tegas jika terindikasi melakukan kecurangan. Menteri Kesehatan harus melakukan review tarif INA-CBGs setiap tahunnya, sehingga tarif INA-CBGs sesuai dengan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit. Diharapkan dengan adanya review dan penyesuaian tarif INA-CBGs, fraud pada rumah sakit dapat diminimalisasi. Selain itu sosialisasi terkait JKN harus lebih ditingkatkan, sehinga seluruh lapisan masyarakat mengerti apa yang menjadi haknya di JKN ini. Harapannya memasuki tahun kedua pelaksanaan JKN, masyarakat bisa lebih merasakan manfaat dari niat mulia JKN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H