Mohon tunggu...
Radhar Tribaskoro
Radhar Tribaskoro Mohon Tunggu... -

Mengharapkan kesetaraan dan kebebasan suatu ketika menjadi warna utama masyarakat kita.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjadi Indonesia

7 Oktober 2011   21:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:13 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi saya Papuaadalah contoh terburuk gagalnya kita Menjadi Indonesia. Apakah Indonesia? Apa yang mengikat kita semua sehingga mencintai Indonesia?

Buat saya pengikat itu bukan nasionalisme, bukan internasionalisme, bahkan bukan Pancasila. Bagi kebanyakan orang awam semua ideologi yang saya sebut diatas terlalu muluk. Lagipula siapa pula orang yang belajar Pancasila dulu baru kemudian mencintai Indonesia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk kita, mencinta karena dicinta. Seorang anak mencinta orangtuanya karena ia tahu telah dirawat penuh cinta semasa kanak2. Kita mencinta istri/suami kita karena ia mencinta kita. Yah, tentu saja ada kecuali; saya mengenal beberapa teman yang mencinta terus walau sepihak. Orang yang rasional sebetulnya bisa menghentikan cinta sepihak dan mengalihkannya kepada yang lain.

Bagaimana awalnya kita mencintai Indonesia? Saya misalnya mencintai Indonesia setelah mengenal Sukarno, Hatta, Syahrir dan tokoh2 pahlawan lainnya. Saya terharu kepada mereka yang bolak-balik masuk penjara bahkan mati dalam kondisi terpenjara (Sukarno dan Syahrir). Saya berkabung untuk Sawunggaling, Wira Angun-angun, Trunojoyo, Diponegoro, Kiai Maja, Sentot, pejuang terbuang Digul, korban Romusha, korban perang Permesta, dan jutaan orang yang mati karena memperjuangkan kemerdekaan.

Kemerdekaan siapa? Bukan kemerdekaan bagi mereka yang sudah mati itu tentu, tetapi kemerdekaan Indonesia. Siapakah Indonesia, perlahan-lahan imajinasi kanak2 saya berkembang dan mendapatkan bahwa Indonesia yang dimaksud para pahlawan itu adalah saya, generasi saya dan generasi seterusnya. Pengorbanan para pahlawan itu adalah untuk Indonesia, untuk masa depan saya, generasi saya dan seterusnya. Cinta para pahlawan itu menyentuh saya yang hidup bergenerasi kemudian, menghidupi cinta saya kepada Indonesia.

Namun sebagaimana hidup, bila cinta tidak dipelihara ia bisa mati. Apakah yang memelihara cinta? Sekali lagi cinta dipelihara oleh cinta. Apakah Indonesia masih mencintai kita? Apakah negeri ini melindungi kita kala sedang susah? Apakah negeri ini memenuhi kebutuhan kita? Apakah kalau bersengketa kita bisa mendapat keadilan?

Ketika kemiskinan dan kesusahan menjadi menu utama rakyat negeri ini, ketika keadilan sulit didapat di negeri ini, cinta itu bisa susut dan pudar. Ketika figur2 pemimpin tidak bisa lagi menjadi contoh kepahlawanan, idealisme, dan pengorbanan, tidak ada alasan cinta negeri bisa tumbuh subur. Ketika para pemimpin malah sibuk memperkaya diri dengan menggerus kekayaan negeri, mereka sesungguhnya telah menjadi penghianat yang menggerogoti fondasi negeri ini.

Di tengah situasi seperti itu, negeri ini sulit Menjadi Indonesia. Dalam saat seperti itu bertanya saudara2 kita dari Papua: Apakah yang telah diberikan bangsa "Indonesia" kepada bangsa Papua? Adakah sedikit pengorbanan, sedikit kepahlawanan, sedikit cinta yang telah "Indonesia" beri kepada Papua? Kalau itu semua tidak ada, kalau semua keresahan dijawab dengan senjata, atas dasar apa kita minta mereka mencintai bangsa ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun