Dari balik jendela kamarnya, Maya memandang hujan yang turun deras. Bulir-bulir air menari riang di jendela, menciptakan gambaran yang indah di tengah kegelapan. Suara gemericik hujan memberi kehangatan tersendiri dalam ruangan yang sunyi.
Setiap titik hujan menyisakan jejaknya. Beberapa menjelma menjadi riuh, sementara yang lain berusaha menyisipkan pesan diam-diam. Hujan mengajaknya untuk merenung, seperti suatu panggilan dari alam semesta untuk menikmati keindahan dalam ketenangan.
Mata Maya terpaku pada setiap helaian hujan yang mengalir di jendela. Dalam ruang yang hening, pikirannya melayang ke masa lalu. Ia teringat hari-hari bahagia saat berlarian di taman saat hujan turun.
Tiba-tiba, terdengar suara pelan dari balik pintu kamarnya. Ia menghampiri dengan langkah berhati-hati dan membuka pintu perlahan. Di ambang pintu, ia menemukan seorang anak kecil, basah kuyup oleh hujan yang belum mereda.
"Dek, kenapa kau di sini?" tanya Maya dengan penuh kebaikan hati.
Anak kecil itu hanya tersenyum kecil. "Saya takut hujan, Kak. Bolehkah saya berteduh sebentar?"
Dalam sekejap, Maya merasakan kehangatan di dalam hatinya. Ia segera mengajak anak kecil itu masuk, dan bersama-sama mereka duduk di dekat jendela yang masih basah oleh tetesan hujan.
Maya menenangkan anak itu dengan kata-kata hangat. Dan di situlah, di tengah gemuruh hujan, mereka berdua menemukan kebahagiaan dalam momen sederhana itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H