"Argumentum ad Misericordiam", sebuah istilah yang asing namun saya yakin sebagian dari kita sering mendengar bentuk konkretnya. Adalah sebuah penalaran yang sudah ada sejak jaman Yunani kuno yang digunakan untuk mendapatkan rasa kasihan atau simpati dari lawan bicara, sehingga menyetujui argumen mereka namun bukan karena kekuatan argumennya itu sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, argumen ini sering kali kita dengar tanpa kita sadari. Pernah lihat adegan dimana supir angkot arogan dan sembrono, tapi ketika terjadi kecelakaan dia akan bilang “... saya cuma supir angkot, saya ga punya uang untuk ganti rugi, penghasilan saya pas-pasan.” dan sebagainya.
Pola penalaran ini juga umumnya digunakan para pengacara dalam membangun argumen pada nota pembelaannya (pleidoi), yang kemudian dibacakan oleh terdakwa dengan harapan hakim mempertimbangkan keputusannya untuk dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Sebagai contoh, seorang koruptor memohon keringanan masa hukuman karena memiliki anak kecil. Adapula seorang koruptor yang menganggap telah berkontribusi banyak untuk negara, sehingga memohon hakim untuk mempertimbangkan ‘jasanya’.
Ada yang berpendapat bahwa ad Misericordiam merupakan sebuah kesesatan dalam berpikir. Dianggap sebuah kesesatan karena argumen dibangun untuk menimbulkan rasa kasihan (atau emosi terkait) yang sebenarnya tidak relevan dan menciptakan kekeliruan dalam kesimpulan argumen tersebut.
Namun tidak semua argumen memohon simpati dan rasa kasihan adalah kesesatan dalam berpikir. Misalkan kita berpendapat bagaimana memprihatinkan keadaan di Palestina dan berharap adanya gencatan senjata dari Israel atas konflik yang terjadi. Argumen semacam ini memberikan alasan yang sah untuk membantu meringankan krisis kemanusiaan. Dengan demikian, perasaan kasihan atau simpati terhadap para korban dari konflik tersebut merupakan alasan yang relevan dan tepat.
Pun mungkin argumen "Kalau bisa jangan menyerang. Tiap kali kebocoran data yang dirugikan ya masyarakat, kan itu perbuatan illegal access," yang digunakan Kominfo pada tahun 2022 lalu termasuk pada ad Misericordiam yang relevan dengan tujuan meredam adanya serangan lanjutan oleh peretas. Untuk yang satu ini saya tidak berkomentar hehe.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pendapat Aristoteles dalam buku “Aristotle's Art of Rhetoric”(University of Chicago Press, 2019):
“For one must not warp the juror by inducing … pity: this would be just as if someone should make crooked the measuring stick he is about to use.”