Mohon tunggu...
Raden Roro Mira Budiasih
Raden Roro Mira Budiasih Mohon Tunggu... -

Perempuan Determinan. Mahasiswi Urakan. Wartawan Cengengesan. 1995

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bali: Exotism and Diversity

19 Mei 2016   20:36 Diperbarui: 19 Mei 2016   21:20 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mengenal Bali? Pulau yang menjadi banyak destinasi wisatawan dunia itu namanya sudah tidak asing di telinga para traveller. Bahkan nama Bali juga sering muncul di film-film box office sebagai salah satu tujuan wisata terbaik dunia. Ketika orang asing mendengar kata Indonesia, maka mereka juga pasti akan mengenali Bali, bahkan mereka lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia.

Lima hari saya habiskan di pulau indah tersebut. Berawal dari seleksi essai mengenai isu keberagaman, saya pun lolos seleksi dari 60 peserta dari Medan hingga Maluku yang mendaftar. Selama pelatihan workshop, saya dan 25 teman lainnya belajar mengenai hubungan media dengan perempuan, peran dan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), HAM dan juga bagaimana menyiarkan multikulturalisme bersama pemateri yang sudah mumpuni. 

Berbicara tentang Bali, tentunya berbicara tentang keberagaman. Berbagai suku bangsa dan warna kulit tumpah ruah menjadi satu. Ketika berada di sana, saya benar-benar dapat memahami apa itu Indonesia. Sebab, Indonesia mini ada di Bali. Bukan. Bukan karena berbagai ornamen setiap daerah di Indonesia ada di sana. Tapi semua suku dan bahasa bercampur meng-Indonesia di pulau eksotis tersebut.

Kedatangan saya disambut dengan sunset. Momen yang selalu ditunggu para wisatawan jika berkunjung ke Bali. Menikmati matahari tenggelam di Bali bersama beberapa teman dari daerah lain adalah pengalaman yang tak terperikan. Keakraban saya dengan peserta dari Ambon, Flores dan Pontianak yang baru saja saya temui di bandara Ngurah Rai menjadikan sore itu lebih bermakna ketika kami menyusuri jalan menuju Denpasar.

Hal yang paling tidak saya lupakan yaitu saat berkesempatan mendatangi sebuah Vihara atau Klenteng yang berada di permukiman masyarakat Hindu-Bali. Klenteng adalah rumah ibadah bagi umat Kong Hu Cu. Klenteng Dharmayana yang berada di Kuta ini menjadi saksi bisu toleransi masyarakat Kong Hu Cu dan pribumi di Bali yang sudah berlangsung sekitar 139 tahun lalu sejak Klenteng tersebut didirikan.

Aroma dupa yang tertiup angin, juga meniupkan dedaunan kering serta deru kendaraan yang berpadu dengan gesekan sapu lidi para pengurus klenteng berirama menyambut kedatangan saya. Ada yang unik saat saya menjejakkan kaki di klenteng tersebut. Canang (sesajen umat Hindu-Bali) juga terlihat menghiasi beberapa sudut klenteng. Ornamen dan arsitektur Bali berpadu dengan warna merah, kuning dan hijau khas klenteng. “Klenteng ini bisa dipakai bersama. Hindu, Islam, Kristen, semua boleh kemari,” tutur Koh Bun tetua adat yang saya temui di Klenteng. Benar saja, seorang turis asal Wales, Australia, saya lihat sedang asyik berdecak kagum di depan sebuah patung dewa. “Its amazing yeah?” katanya.

Eksotisme Bali tidak hanya terletak pada keragaman alam yang memanjakan mata dan raga. Tapi juga budayanya. Ketika sedang menunggu bus Sarbagita-semacam Trans Jakarta- malam hari menjelang isya waktu setempat. Rombongan orang mengendarai sepeda motor dengan perlahan di antara keramaian jalanan Kuta. Tidak ada yang memakai helm. Yang perempuan mengenakan kamen, selendang dan kebaya putih serta tatanan rambut mereka digelung rapi. Cantik. Yang laki-laki begitu pula, memakai baju safari putih, udeng, saput dan kamen. Baru saya tahu, ternyata iring-iringan tersebut hendak pergi sembahyang.

Bali memang menawarkan pengalaman yang tentu tak akan pernah terlupakan. Saya berkesempatan mengunjungi Pura Uluwatu yang terletak di daerah Pecatu, Jimbaran. Pura yang berdiri di pinggir tebing ini mampu menyihir setiap pengunjungnya untuk menikmati tiap semilir angin yang menyentuh permukaan kulit. Bahkan mengalahkan rasa capai saat menyusuri daerah Pura yang terlihat seperti Tembok Cina mini itu. Ditambah monyet-monyet yang berlarian kesana-kemari membuat keunikan pura semakin lengkap dan membuat saya tak ingin pergi dari tempat tersebut.

Sehari sebelum saya pulang, saya menginap di sebuah bangsalan yang notabene di sana adalah tempat tinggal para penduduk rantauan. Saya tinggal bersama Yunita teman saya dari Flores. Ia mengajak saya menginap di rumah Bapak Kecil­- adik dari Ayahnya. Bersama Bapak Kecil dan Istrinya, saya sudah dianggap saudara. Terlebih tetangga kami adalah orang rantauan yang bernama Tante Ella, dia orang asli Papua. Beragam bahasa saya dengar di bangsalan kecil tersebut. Walau bangsalan tersebut dihuni sebagian besar orang rantauan, tapi ada sebuah pura kecil yang dibangun di lantai dua. Setiap sore, akan ada seorang Ibu yang mengenakan kamen lengkap dengan kebaya membawa beberapa dupa serta canang. Ia berdoa.

Siapa yang tidak ingin mengunjungi Bali? Selain meninggalkan jejak berupa keindahan alam. Bali juga mengajarkan saya banyak hal, tentang hidup harmonis antar agama dari Klenteng Dharmayana, mensyukuri nikmat yang telah diberi dari Pura Uluwatu dan menghargai antara sesama di bangsalan Bapak Kecil. Lain waktu saya akan kembali mengunjungi Bali dan menelanjangi keindahannya.

Denpasar, 18-22 November 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun