Tulisan ini lahir bukan karena ajang narsisme. Apalagi niat mempromosikan diri. Nama saya Raden Roro Mira Budiasih, bagi pembaca yang mengenal akrab nama Raden Roro pasti mulai menebak-nebak apakah benar saya keturunan keraton?
Saya lahir di sebuah kota yang kini menjadi ibukota Kalimantan Utara. Putri pertama dari ayah yang merupakan keturunan asli Makassar, masa balita sempat saya habiskan di kota yang terkenal dengan pahlawannya yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur itu. Ibu saya asli Jogjakarta. Dari pihak Ibu lah nama saya ada. Eyang, alm Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sawabi Danudiprojo yang memberi saya nama.
Kini, saya mulai tumbuh sebagai gadis dewasa menginjak usia 21 pada 22 Maret lalu. Semenjak kecil, saya lah pengambil keputusan untuk diri sendiri. Ibu pun Ayah tak pernah sedikit pun mencampuri apa yang menjadi keinginan gadis berkacamata ini.
Sejak SD hingga SMK, lagi-lagi orangtua tak punya andil besar dalam hidup. Semua saya yang putuskan. Memilih sekolah? Saya yang tentukan. Keputusan-keputusan itu membentuk saya yang sekarang. Mengenal dunia seni musik lewat drum band dan paham baris-berbaris kala SD, memahami seni peran lewat teater dan berani tampil di atas panggung karena puisi serta pidato sejak SMP.
SMK? Saya habiskan dengan belajar manajemen diri lewat OSIS. Termasuk pengalaman pertama terbang sebagai anak daerah mewakili Kalimantan Timur dalam beberapa kesempatan. Sebagai remaja putri, saya cukup aktif kala itu. Lagi-lagi, orangtua saya tak melarang ini itu. Mewakili Kaltim dalam ajang Lomba Pidato Pemuda Nasional. Lalu, menjadi wakil Kaltim sebagai peserta Sekretaris dalam ajang Lomba Keterampilan Siswa (LKS) Nasional setelah melewati seleksi tahap sekolah, kota, hingga provinsi.
Menjadi perempuan pengambil keputusan semakin kentara saat ini. Diamanahi sebagai Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di tempat saya menimba ilmu menjadikan pribadi ini perempuan determinan. Penentu kebijakan, pengarah tujuan, sekaligus pengambil keputusan. Ternyata, menjadi determinan tak selamanya menyenangkan.
Budaya patriarki nan kental memaksa perempuan ‘sedikit’ terpinggirkan. Atmosfirnya terasa sekali. Apalagi urusan perasaan. Alasan itu yang membuat perempuan akhirnya dipertimbangkan untuk memimpin. Sensitif? Jelas. Saya perasa sekali. Bisakah hormon yang saya salahkan? Hehehe.
Adapula kalanya ketika saya harus mengalah dengan keputusan. Ada beberapa pertimbangan di mana keputusan saya harus dinomorduakan dulu. Sulit rasanya membuat keputusan murni. Saya akui, itu karena emosi saya belum stabil. Secara emosi, saya belum dewasa.
Sebagai sulung dari tiga bersaudara, apalagi perempuan semua, determinan juga sangat terasa. Ditambah, komposisi rumah saat ini perempuan semua. Ayah entah pergi kemana. Tak tahu lagi kabarnya sejak cerai pada 2015 lalu. Mau tak mau, suka tak suka, adik-adik menjadikan saya contoh. Ibu menaruh beban berat di pundak ini.
Apalagi, predikat kuliah, kerja, dan amanah masih saya sandang hingga saat ini. Sebagai mahasiswi semester enam program studi Ilmu Komunikasi, kerja di sebuah harian lokal yaitu Kaltim Post rasanya seperti ada kebanggaan tersendiri. Terhitung, aktif sejak Desember 2014 hingga kini. Sekarang tak perlu risau ketika kebutuhan kuliah mengharuskan saya merogoh kocek agak dalam. Bisa teratasi tanpa harus diskusi dulu dengan Ibu. Tanpa harus membebani.
Sebagai perempuan, saya selalu ingin menjadi beda. Pecicilan sejak SD, ikut kegiatan sana-sini setidaknya membuat salah satu sudut kamar saya berhiaskan beberapa piala. Tidak banyak. Kebanyakan piala pidato, puisi, hal-hal berbau jurnalistik, dan film dokumenter. Seperti yang saya ceritakan di atas, ada pula piala lomba LKS.