Noktah hitam kembali berserak. Wajah pendidikan kembali tercoreng. Oknum Kepala Madrasah Tsanawiyah di, Pongangan, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, AN memukuli murid-muridnya hingga pingsan. Kejadian ini bermula saat 15 murid kelas IX diketahui jajan di kantin luar lingkungan sekolah. AN kemudian memanggil murid-murid tersebut, kemudian disuruh masuk ke ruangan kosong. Di sana murid-murid itu disuruh berbaris, lalu dipukuli hingga pingsan.
Akibat, ulahnya itu, pria berusia 52 tahun tersebut harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Ia dijerat pasal 351 KHUP tentang penganiayaan, juncto pasal 80 UU 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak, dengan acaman hukuman 3,5 tahun. Di samping itu, AN juga diberhentikan dari jabatannya oleh pihak yayasan.
Saya turut prihatin. Kejadian tragis semacam ini tidak seharusnya terjadi di lembaga pendidikan, tersebab sekolah bukanlah "penjara" bagi murid. Bukan pula ruang gelap yang menakutkan. Sekolah adalah ruang bagi murid untuk menumbuhkembangkan seluruh kekuatan kodrat yang ada pada dirinya. Guru laksana seorang petani. Sekolah ibarat, sawah dan murid bagaikan benih, Petani harus mengolah sawah, agar benih yang ditanam dapat tumbuh subur. Petani hanya bisa menanam dan merawat tanaman, tetapi tidak bisa memaksa tanaman itu berbuah. Guru seharusnya menuntun, mendampingi, ngemong agar dapat menebalkan bakatnya yang masih samar. Bukan malah menjadi sosok yang sangat menakutkan di hadapan para murid.
Mencermati peristiwa di atas, saya mencoba mengintip rapor pendidikan https://raporpendidikan.kemdikbud.go.id/app/. Dari website tergambar bahwa rapor pendidikan publik 2022 terkait iklim keamanan sekolah untuk jenis sekolah keagamaan di Kabupaten Gresik masih dalam kategori "waspada". Artinya, satuan pendidikan mulai mengembangkan iklim keamanan dalam aspek kesejahteraan psikologis, perundungan, hukuman fisik, kekerasan seksual, dan penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekolah.
Agar tragedi memilukan itu tidak terulang kembali dan melebar ke sekolah lain, satuan pendidikan dapat melanjutkan intervensi dengan meningkatkan kemampuan mencegah dan menangani kasus di lingkungan sekolah. Misalnya, peraturan sekolah sebaiknya tidak disusun secara top-down, alangkah baiknya murid-murid juga dilibatkan. Anak-anak zaman sekarang ini sulit diomongi, tetapi mereka menjadi sangat care kalau diajak ngomong. Mereka butuh suaranya (voice) didengar. Mereka juga butuh pilihan-pilihannya (choice) diakomodir. Dengan seperti ini, murid-murid merasa bahwa peraturan sekolah yang merupakan konsensus bersama itu menjadi miliknya (ownership). Mereka kemudian merasa bertanggunggungjawab untuk menegakkannya. Kalau ini dilakukan secara konsisten dan terus menerus, perlahan-lahan peraturan ini akan berubah menjadi sebuah keyakinan. Mereka meyakini bahwa peraturan sekolah itu, didalamnya memuat nilai-nilai kebajikan universal. Ketika murid menjadi irisan dari dinamika sekolah dan memiliki kontrol atas apa yang terjadi, inilah yang disebut dengan kepemimpinan murid atau student Agency. Salah satu peran guru adalah mewujudkan kepemimpinan murid.
Nah, ketika ada murid yang melanggar peraturan sekolah, guru atau kepala sekolah sebaiknya menempatkan diri pada posisi kontrol yang tepat agar tidak membahayakan dirinya sendiri dan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Menurut William Glasser, ada 5 posisi kontrol guru: penghukum, pembuata rasa bersalah, teman, pemantau dan manager. Guru atau kepala sekolah yang suka menghukum biasanya kerap berdalih bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat menekan murid-murid lebih dalam lagi atas nama penegakan disiplin.
Hindari sejauh mungkin menghukum. Apakah itu hukuman verbal ataupun fisik. Kalau bisa kubur dalam-dalam. Menghukum akan berdampak kurang baik terhadap psikologi anak. Lihat saja, 15 murid yang dihukum oleh AN, mengalami trauma mendalam. Mereka membangun ingatan bahwa gurunya galak sehingga di anatara mereka mengaku tidak berani lagi masuk sekolah. Dampak yang lebih buruk lagi akan berpotensi murid marah, lalu bertindak agresif melampiaskan dendamnya.
Memang, untuk menciptakan murid yang merdeka, sekolah harus menerapkan disiplin positif. Akan tetapi kesalahan-kesalahan itu bisa saja menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Tidak menutup kemungkinan mendera kepala sekolah, guru, dan murid. Tetapi hukuman bukan solusi terbaik. Oleh sebab itu, ada strategi yang lebih humanis. Misalnya dengan menghadirkan model berpikir menang-menang (win-win) atau bekerjasama menciptakan kesepakatan alternatif-alaternatif solusi baru, atau melalui segitiga restitusi. Gossen (2004) menjelaskan, segitiga restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat.
Guru atau kepala sekolah yang menempatkan diri pada posisi kontrol sebagai manajer biasanya menghadirkan segitiga restitusi ketika menyelesaikan masalah murid. Mereka tidak serta merta bereaksi terhadap murid yang melakukan pelanggaran, tetapi lebih bersikap strategis. Sebagai manajer, guru melakukan tindakan bersama-sama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung dan memberikan ruang seluas-luasnya kepada murid agar dapat menemukan solusi terbaik atas permasalahannya sendiri. Tindakan yang dilakukan biasanya diawali dengan menstabilkan identitas, lalu validasi tindakan, kemudian diakhiri dengan menanyakan keyakinan.
Intervensi lain yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah dan menangani kasus di sekolah adalah meningkatkan kapasitas paedogi guru dan ilmu etika. Ini sangat penting tersebab sekolah tidak hanya mengurusi masalah kognitif saja, tetapi juga mental dan karakter murid. Sekolah juga merupakan sebuah institusi moral. Artinya, sekolah merupakan unsur terkecil yang memiliki andil besar terhadap menguatnya nilai-nilai serta mental karkater pada diri setiap murid.
Pada era seperti sekarang ini mobilitas penduduk berjalan sangat cepat sehingga masyarakat semakin beragam secara demografi. Oleh sebab itu Up-skilling kapasitas paedagogi dan ilmu etika ini mendesak untuk segera dilakukan agar para guru dan kepala sekolah dapat mengembangkan, membina, dan memimpin sekolah-sekolah lebih toleran dan demokratis. Dengan begitu iklim lingkungan sekolah menjadi aman dan nyaman. Guru senang, murid bahagia sehingga semakin mendekatkan terwujudnya pelajar-pelajar yang memiliki karakter profil Pancasila.