[caption caption="Ilustrasi - menunggu ibu mencuci (kfk.kompas.com/)"][/caption]Rambutnya yang mulai putih, kerutan yang mulai bermunculan, tubuhnya yang tak lagi proporsional, namun cantik. Ya, wanita tercantik di dunia, dialah Ibu.
Dua puluh empat tahun lalu, wanita tersebut mempertaruhkan nyawanya demi mempertemukan seorang bayi berbobot 3,5 kg dengan dunia. Sebuah klinik bidan di Jalan Halimun Kota Bandung menjadi arena pertarungannya antara hidup dan mati. Akhirnya, sekitar pukul empat subuh, 24 Juli 1991, Ibu memperkenalkan saya kepada dunia.
Dulu, Ibu adalah seorang pegawai bank di Simpang Lima, Asia Afrika, Kota Bandung. Dia tercatat sebagai pegawai teladan yang kariernya terus meningkat karena kegigihannya dalam bekerja. Namun, apa yang terjadi ketika Ibu melahirkanku? Dia jadi tidak fokus, sering tidak masuk kerja, dan terlihat keteteran. Karena apa? Tentu karena sibuk mengurusku, memberiku ASI, menggendongku pagi dan malam. Hingga akhirnya Ibu memutuskan untuk menghentikan kariernya, membuangnya begitu saja, hanya untuk siapa? Hanya demi saya, fokus kepada saya, memberikan yang terbaik bagi saya.
[caption caption="Ibu. Dok.pri"]
Hingga suatu saat ketika saya berumur 16 tahun, Ibu dari teman dekat saya meninggal. Pada saat itu, di otak saya hanya ada Ibu, Ibu, dan Ibu. Saya pun tersadar, Ibu tidak akan selamanya berada di dunia.
Memasuki dunia kuliah, saya mulai berpisah atap dengan Ibu. Menempati kosan yang terletak di Jatinangor, diselingi kesibukan berkuliah sehingga mulai jarang melihat Ibu. Terlebih ketika saya bergelut dengan dunia skripsi.
Saya orang yang malas dalam mengerjakan skripsi. Ibu pun sempat kecewa karena saya tidak juga lulus, malah menyibukkan diri dengan organisasi-organisasi di kampus. Hingga pada Februari 2013, saya menghadiri proses wisuda teman dekat saya, di sana saya melihat bagaimana orang tua mereka begitu terlihat bahagia sambil memeluk teman dekat saya. Dalam hati saya tersadar bahwa ternyata sudah 23 tahun saya belum pernah benar-benar membuat Ibu bangga. Ya, di situ saya kecewa karena membuat Ibu kecewa lebih sering daripada membuat Ibu bangga. Kekecewaan tersebut terbayar ketika akhirnya saya berhasil lulus pada tahun 2014. Senyum yang begitu lebar tersungging dari bibir ibuku, tak pernah kulihat ibu tersenyum sebahagia ini. Bulu kuduk berdiri, bangga, bahagia, bukan karena saya berhasil lulus, namun karena akhirnya saya dapat benar-benar membuat ibu saya bangga.
***
2 tahun kemudian...
“Mamah bikin sayur kacang Ka, pulang ya.” Kalimat tersebut sering kali tertulis muncul di notifikasi handphone saya sejak saya bekerja di Jakarta. Ya, dari dulu Ibu selalu membuatkanku sayur kacang, dan beliau selalu menyuapiku, bahkan hingga sekarang. Konyol memang seseorang berumur 24 tahun masih disuapi sayur kacang oleh ibunya, namun itu yang menjadi kebiasaan Ibu. Dan hal itu merupakan salah satu hal yang selalu membuatku teringat kepadanya.
Namun apa yang kubilang terhadap ibu? “Nanti ya Mah, banyak banget kerjaan masih belum bisa pulang.” Balasan tersebut sangat sering kusampaikan, hingga mungkin dapat dijadikan template di pesan singkat handphone saya. Lagi-lagi saya lupa akan peran Ibu di dunia ini.