Istilah mafia hukum sudah lama didengar dan sering menjadi topik utama dalam pemberitaan media, pembahasan di forum diskusi, dalam pidato para pemimpin atau pejabat pemerintah, bahkan dalam pernyataan pimpinan KPK, akan tetapi bagaimana praktik mafia hukum itu sendiri, di mana terjadi dan seperti apa wujudnya mayoritas rakyat Indonesia mungkin tidak tahu. Sering diucapkan, sering didengar, tapi tidak diketahui rupanya. Dapat dirasakan keberadaannya akan tetapi tidak kasat mata. Â Mafia hukum itu kurang lebih seperti hantu.
Praktik mafia hukum sesuai sebutan untuk para pelakunya: mafia hukum,  pasti selalu bekerja secara rahasia, diam-diam, melibatkan lebih dari satu orang / pihak (baca: kolusi), ada penyerahan dan penerimaan uang / transaksi suap menyuap atau jual beli, ilegal karena dapat dipastikan melanggar hukum, dan sudah pasti ada pihak lain sebagai korban yang dirugikan.
Sesuainya sebutannya selaku mafia hukum, maka dapat dipastikan pula di antara pelakunya atau pelaku utamanya adalah para oknum penegak hukum. Bisa jadi oknum polisi, jaksa, bahkan hakim di setiap instansi atau lembaga hukum.
Mengenai praktik mafia hukum di kepolisian, kita banyak mendengar atau mengetahui dari pemberitaan media mengenai pelaku kejahatan yang tidak ditangkap, tidak ditetapkan sebagai tersangka hingga tidak dilimpahkan perkaranya ke pengadilan oleh penyidik atau penerbitan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan perkara dan seterusnya. Di samping itu, juga sering didengar adanya orang yang jadi korban karena salah tangkap, penetapan tersangka yang tidak sesuai ketentuan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan atau PERKAP (Peraturan Kapolri).
Di tahap penuntutan oleh kejaksaan, kita sering mendengar praktik jual beli pasal, berat ringan tuntutan yang diajukan penuntut umum di depan persidangan, hingga penghentian perkara atau perkara tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Berbeda dengan praktik yang terjadi di kepolisian atau di kejaksaan yang mudah ditemukan dan semakin banyak diberitakan media, praktik mafia hukum di lingkungan pengadilan di Indonesia masih jarang jadi pemberitaan media karena jarang terungkap ke permukaan. Paling banter hanya sebatas penangkapan oknum hakim, panitera atau juru sita pengadilan dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, praktik mafia hukum di lingkungan pengadilan dirasakan semakin subur dan berkembang sejak beberapa tahun terakhir.
Modus Praktik Mafia Hukum di Pengadilan
Makna kata modus di sini adalah cara. Modus praktik mafia hukum dapat diartikan adalah mengenai cara bagaimana para mafia hukum menjalankan praktiknya dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya untuk memenangkan atau mengalahkan pihak tertentu yang sedang berperkara di pengadilan secara melanggar hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oknum hakim yang mengadili atau panitera yang mengurus perkara.
Berbeda dengan perkara pidana yang sering mendapat sorotan publik, perkara perdata jauh dari perhatian publik sehingga luput dari pemberitaan media massa. Padahal, praktik mafia hukum dalam perkara perdata yang diperiksa pengadilan jauh lebih banyak dan saat ini telah berada pada titik yang sangat memprihatinkan. Di kalangan praktisi hukum khususnya advokat dan para pencari keadilan telah terbentuk stigma "Tak mungkin dimenangkan kalau tidak membayar (beri suap)".
Mengenai suatu perkara yang telah terkontaminasi praktik mafia hukum adalah mudah dirasakan oleh setiap advokat yang menjadi kuasa hukum dalam perkara yang sedang diperiksa oleh hakim di pengadilan. Indikator utama umumnya tampak dari perilaku hakim yang memeriksa yang kerap melanggar hukum acara, memberikan kelonggaran tidak wajar kepada Tergugat atau kuasa Tergugat, mengabaikan fakta persidangan di mana Tergugat tidak hadir memenuhi panggilan sidang hingga lebih 2-3 kali, merekayasa (memalsukan) berita acara sidang, merekayasa (memalsukan) jadwal dan riwayat perkara yang ditampilkan dalam situs SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), menetapkan jadwal sidang yang biasanya setiap satu minggu dibuat menjadi setiap dua atau tiga minggu oleh hakim tanpa alasan yang sah, mencari-cari kesalahan Tergugat / kuasa dalam kelengkapan surat kuasa, dan seterusnya hingga penundaan pembacaan putusan dengan alasan yang tidak wajar.
Terhadap praktik mafia hukum oleh oknum hakim sebagaimana diuraikan di atas tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pencari keadilan dan kuasanya. Undang-undang telah menentukan bahwa oknum hakim yang diduga sedang melakukan praktik mafia hukum tidak dapat dilaporkan ke polisi. Sedangkan untuk melaporkan kepada KPK, dibutuhkan informasi lengkap dan akurat mengenai transaksi pemberian suap oleh pihak yang berperkara atau kuasa hukumnya kepada oknum hakim atau oknum staf pengadilan yang menerima uang suap: nama pelaku, di mana dan kapan terjadi, apa bukti atau bukti awalnya dan seterusnya dikarenakan belum pernah ada oknum pelaku yang secara sukarela membocorkan informasi suap menyuap ini kepada pihak lawan atau kepada KPK. Beda halnya apabila perkara itu sendiri bagian dari operasi intelijen KPK dalam upaya pemberantasan korupsi / mafia hukum yang sedang dijalankan.