Mohon tunggu...
Erza Aldis
Erza Aldis Mohon Tunggu... Lainnya - Tinta Hitam Si Tuan Omong Kosong. Mencoba Meng-Ada Dalam Ketiadaan

Jalan sunyi tanpa tepi bagi seorang pemimpi Mencoba merajut asa dengan karya Teruslah berkarya hingga Tuhan mengatakan cukup. waktu nya pulang

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kopi Hitam dan Coklat Panas

1 Desember 2021   16:40 Diperbarui: 6 Februari 2023   03:43 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi hitam dan coklat panas

Hari sabtu
Seringnya disebut malam minggu
Tepat pukul 7.30, kau minta aku untuk bertemu
Di tempat biasa, cafe pojok kota menjadi tempat kita akan bersua
Bukan tanpa sebab kau putuskan untuk berjumpa di sana
Meski ku anggap tempat itu biasa saja, tak ada yang istimewa
Namun bagimu disitu adalah tempat nostalgia yang sempurna
Banyak kenangan yang terjadi di situ
Dan di cafe itu pulalah kita pertama kali bertemu

Saat yang dijanjikan pun tiba
Dan aku yang datang pertama
Ku pesan kopi hitam tanpa gula
Sambil menunggu dirimu tiba
Secangkir kopi pahit sudah di atas meja
Didepan mata
Samar-samar dari balik kegelapan
Kau pun tiba dengan senyum tipis
Yang tak pernah ku lupa milik siapa
Seperti biasa sebelum duduk
Kau pesan secangkir coklat panas yang kau suka
Di satu meja, duduk berhadapan
Kopi hitam dan coklat panas
Bersanding mesra, mengepulkan uap
Meninggi terjalin bagai lantunan doa-doa
Menjelma aroma menghangatkan suasana

Hay sapa ku padamu
Lalu kutanya kabar mu dan kau bertanya serupa padaku
Belum sempat ku tanya apa maksudmu meminta ku untuk bertemu
Dengan sedikit ragu kau pun mengutarakannya pada ku
Kau pinta padaku untuk membuka hati kembali
Memberi ruang dan merajut ulang kisah usang kita dahulu
Namun apa semudah itu ? jawab ku
Rasa ku telah mati padamu
Hati ini pun sudah tak utuh lagi
Setelah tertikam belati penghianatan mu dahulu
Lalu atas dasar apa aku menerimamu kembali ?
Apa kau ingat saat dimana kau tinggalkan aku
Kau pergi berlalu tanpa sedikitpun menoleh padaku
Seakan tak peduli atas waktu yang telah kita lalui
Penghianatan mu laksana api dan membakar kisah yang pernah terajut indah
Musnah, lenyap menyisakan abu pilu
Namamu telah ku makamkan jauh didalam belantara rimba air mata
Setiap kisah telah ku lebur dalam kawah resah
Aku berusaha membalut luka ini sendiri
Kesetiaan ku telah kau terlantarkan
Rasa ku pula yang telah kau patahkan
Dan dia yang kau pilih sebagai tambatan
Lalu aku kau korbankan tanpa perasaan
Hubungan kita pun kau penggal tanpa belas kasihan
Lantas omong kosong apa lagi sekarang ?

Kepulan uap telah hilang
Menandakan kopi dan coklat telah dingin
Tanpa sedikitpun disentuh
Tetes pertama air mata pun jatuh
Bersama pecahnya tangis sunyi yang gaduh
Kini di antara kopi dan coklat
Kembali diselimuti sepi nan asing dan hening

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun