Mohon tunggu...
Raden Diky Dermawan
Raden Diky Dermawan Mohon Tunggu... -

A student of SMA 1 Karawang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tsnunami dan Sajak Para Penyair Aceh

27 Desember 2012   09:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:57 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata ‘tsunami’ mungkin tidak kita temui dalam puisi penyair klasik Aceh, Hamzah Fansuri. Namun, penyair sufi Aceh yang hidup pada abad ke-17 itu dalam puisi Syair Perahu ada menyebut perahu, riak, karang dan ombak: Ketahuilah olehmu hai anak dagang/riaknya rencam ombaknya karang.

Dengan bahasanya yang khas sang penyair penyebut riak yang kacau dengan riak rencam. Bisa jadi, itu sebuah isyarat, bahwa bencana ombak tsunami bisa mengancam rakyat Aceh setiap saat. Pada bagian lain untuk melukiskan betapa tajamnya karang dan akibatnya bila disentuh perahu diungkapkan dalam baris, karangnya tajam seperti tombak/ke atas pasir kamu tersesak.

Syair Perahu ditulis untuk menggambarkan alam dengan berbagai kemungkinannya. Mempunyai fungsi sebagai puisi nasihat Syair Perahu pada bagian awal sudah menurunkan baris-baris, Wahai muda, kenali dirimu/ialah perahu tamsil tubuhmu/tiadalah berapa lama hidupmu/ke akhirat jua kekal diammu.

Berbeda dengan kemungkinan perobahan alam yang dilukiskan Hamzah Fansuri, penyair modern Aceh yang hidup di abad ke-21 menulis puisi setelah perubahan alam itu terjadi. Mereka menulis puisi setelah bencana tsunami terjadi, meluluh-lantakkan Aceh, dan menelan korban puluhan ribu jiwa. Sejumlah penyair telah mengekpresikan diri dalam persentuhannya dengan gelombang dahsyat itu. Untuk menyebut beberapa nama, misalnya Azhari, Fikar W Eda, Mustafa Ismail, Doel CP Allisyah, Din Saja, Wina SW, dan Deny Pasla.

Bagaimana gelombang datang dan menyergap manusia dilukiskan Fikar W Eda (lahir 1966) dengan bahasa sederhana, namun indah karena mengandung dramatik. Dilukiskan ada bocah-bocah bermain-main dan berlari-larian di pasir pantai. Di belakang anak-anak itu ada menjaga ibu bapa mereka. Anak-anak dan orang tua mereka menangkap ikan yang terdampar di sana, karena air laut sedang surut. Tulis Fikar, bocah bocah polos berlari di pasir di belakangnya ibu dan bapak menangkapi ikan-ikan terdampar ketika laut surut. Lalu lanjut sang penyair,

tapi tiba-tiba
gemuruh menerbangkan pasir
langit gelap
ombak membentuk lipatan
menerjang dari arah belakang
tubuh rapuh tesentak kedepan
membentur beton-beton
terdorong ribuan meter

Pada bagian lain dalam puisi Nyeri Aceh (Republika, 9 Januari 2005) itu dilukiskan betapa bocah-bocah itu bagai kapas terlilit gulungan laut kemudian terdampar. Lalu, lenyaplah tawa/raiblah canda.

Lebih lanjut sebagai akibat terjadinya bencana tsunami digambarkan penyair kota-kota telah tiada. Jangan kalian cari lagi di Meulaboh /jangan kalian tanya di mana Banda Aceh/di mana Calang, Teunom, Lamno, Lhok Seumawe /Bireuen atau Sigli.

Penyair Azhari (lahir 1981) dalam puisinya Ibuku Bersayap Merah menggambarkan pengalaman seseorang yang kembali ke kampung halaman setelah terjadi bencana. Ia ingin melihat orang tua dan adik-adik. Tapi tiba di sana apa yang dilihatnya? Semua sudah tiada. Kampung sudah berubah menjadi lautan. Rumah tiada, ayah dan bunda tiada. Dan adik pun raib dibawa lautan. Tulis Azhari, Ibu, Abah dan Dik Nong /setelah bala aku pulang ingin melihat /kalian dan kampung.

Selanjutnya, baris-baris sajak seperti ditulis dengan rasa seperti menahan tangis,

kukira 26 Desember Cuma mimpi buruk
tapi tak kutemukan kalian disana
juga Arif kecil yang cerewet

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun