Lalu bermoralkah “main hakim sendiri“ ?
Jika kita akan melihat tentang jawaban dari pertanyaan bermoralkah “main hakim sendiri”, tentu saja akan banyak muncul dua jawaban antara “iya” dan “tidak”. Jawaban akan didapat tergantung darimana kita akan melihat dari berbagai sudut pandang, dari sudut pandang pelaku sendiri atau dari sudut pandang korban.
Jika kita melihat dari sudut pandang pelaku, jelas ini termasuk sebuah penganiayaan, walapun pelaku memang bersalah, tak seharusnya pelaku dihakimi massa. Sebab kan ada aturan hukum tersendiri yang mengatur sanksinya.
Sedangkan jika melihat sudut pandang korban, main hakim sendiri tak menjadi suatu masalah yang berarti. Wajar saja dilakukan, kan itu merupakan suatu resiko atas apa yang telah pelaku perbuat dan akibat dari menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Lantas haruskah “main hakim sendiri” dibasmi ?
Kembali lagi jawaban ini menimbulkan pro dan kontra. Tapi jika kita melihat kejahatan yang dilakukan oleh kalangan atas seperti korupsi, suap, dll apakah kita juga dapat melakukan main hakim sendiri ? tentu saja sulit dilakukan atau bahkan mustahil, beda hal jika harus menghakimi pelaku kejahatan kalangan bawah.
Padahal kejahatan kalangan atas dan bawah seperti korupsi dan mencuri sebenarnya memiliki suatu persamaan, yakni sama-sama mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan juga besarnya nilai mencuri biasanya atau bahkan memang lebih kecil ketimbang korupsi.
Tapi, korupsi juga tak selalu bernilai besar, terkadang juga ada korupsi yang nilainya tak terlalu besar bahkan kecil, hanya saja tak tampak secara langsung. Beda hal dengan mencuri, sekecil apapun dapat tampak secara langsung bahwa seseorang telah mencuri.
Jika main hakim sendiri berlaku bagi pelaku kejahatan kalangan bawah, seharusnya kalangan atas juga dapat dilakukan demikian biar adil. Atau kalau satu tidak, tidak semua.
Akan tetapi kembali lagi kepada keadaan, kejahatan kalangan bawah dapat langsung tampak dilihat, sedangkan pada kejahatan kalangan atas sulit untuk tampak dilihat.
Salam !