Konsep kesetaraan gender merujuk pada kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan untuk menikmati seluruh hak-hak politik, ekonomi, sipil, sosial, dan budaya. Secara lebih spesifik, konsep ini juga merujuk pada situasi di mana tidak ada individu yang ditolak atas hak-hak tersebut, atau hak-hak tersebut dirampas dari mereka, karena jenis kelamin mereka. Namun perlu diingat bahwa kesetaraan gender bukan berarti menyamakan peran gender secara mutlak, tetapi lebih kepada memberikan akses yang sama untuk hak-hak yang tidak diatur oleh agama. Misalnya, dalam konteks pekerjaan, tidak boleh ada perbedaan kesempatan kerja antara laki-laki dan perempuan, kecuali untuk pekerjaan yang dianggap haram bagi salah satu atau keduanya. Demikian pula, hak-hak sosial, seperti perhatian dan perlindungan bagi laki-laki yang dilecehkan, harus dipenuhi setara dengan apa yang diberikan kepada perempuan.
kesetaraan gender merupakan hasil pemikiran yang muncul akibat dari gerakan kaum feminisme di dunia Barat yang sering dianggap ekstrim. Feminisme berangkat dari ideologi kebencian sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan perempuan yang terjadi dalam peradaban Barat-Kristen di masa lalu. Menurut Ratna Megawangi, ide kesetaraan gender ini bersumber pada ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Namun penting untuk dicatat bahwa menganggap bahwa semua lelaki adalah kaum penindas merupakan contoh dari over-generalization. Kesalahan berpikir ini terjadi ketika seseorang membuat kesimpulan luas berdasarkan bukti yang sangat terbatas atau pengalaman pribadi yang mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua lelaki memiliki perilaku atau sikap yang sama.
Hal ini juga terlihat dalam adanya ketidaksetaraan dalam perhatian sosial terhadap korban pelecehan laki-laki yang menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki bias yang perlu diatasi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kesetaraan gender benar-benar tercapai dalam ranah sosial, kemudian diperluas ke ranah lainnya selama hal tersebut tidak bertentangan dengan agama.
Memang benar bahwa kesetaraan gender tidak berarti semua hal harus disamakan secara mutlak. Misalnya, dalam hal warisan, agama menetapkan aturan yang berbeda mengenai pembagian harta, atau siapa yang bertanggung jawab memberikan nafkah dalam keluarga. Maka dari itu, dalam hal yang memang diatur oleh agama, ketentuan tersebut harus diikuti. Namun demikian, dalam hal-hal yang tidak diatur secara spesifik oleh ajaran agama, kesetaraan hendaknya diterapkan dengan memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Ini termasuk dalam hal bekerja, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mengakses layanan atau perlindungan dari negara.
Meskipun laki-laki dan perempuan secara fisik berbeda, konsep kesetaraan gender harus dipahami dalam konteks yang bisa disetarakan. Artinya, kesetaraan gender menekankan pada kesempatan yang sama untuk segala hal yang memungkinkan, tanpa mengabaikan perbedaan fisik atau ketentuan agama yang ada. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa kesetaraan gender adalah tentang memberikan akses dan hak yang sama dalam lingkup yang bisa disetarakan, bukan mencoba menyamakan segala hal secara mutlak. Dengan pemahaman ini, masyarakat bisa lebih adil dan inklusif, memberikan kesempatan yang setara kepada semua individu tanpa diskriminasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H