Mohon tunggu...
Raden Adil
Raden Adil Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

I review movie and else. Please be kind to yourself.

Selanjutnya

Tutup

Film

Mahakarya Film Interstellar (2014)

15 November 2019   17:09 Diperbarui: 15 November 2019   17:08 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Interstellar adalah mahakarya yang melampaui ekspektasi gua saat pertama kali nonton -- sekarang sudah dinonton berkali-kali -- di Bioskop. Bahkan dulu gua masih ga ngerti tentang baik dan buruknya suatu film, tapi saat pertama kali nonton ini, entah mengapa ini adalah Mahakarya.

Dikira hanya film tentang petualangan luar angkasa dengan buih-buih drama, di mana karakter utama sangat tertarik dengan adanya "lubang cacing" di mana dia akan menemukan hal-hal baru di ujung sana. Ternyata tidak, karakter utama bahkan tidak ingin ke luar angkasa lagi, hanya ingin menjadi petani, menjalani hidupnya bersama anak-anaknya, dengan damai. Tetapi di film diceritakan kalau Bumi sedang kesakitan, dengan premis mencari planet baru untuk dihuni, karakter utama mau tidak mau mengambil kesempatan untuk menyelamatkan keluarganya. Benar, terdengar ego yang tinggi, tetapi karakter utama ingin menyelamatkan keluarganya dan jutaan keluarga yang lain.

Ego inilah yang gue suka dari film ini, film ini bukan sekadar petualangan luar angkasa, bukan sekadar science-fiction, ini film tentang kekeluargaan. Cinta seorang ayah untuk anak-anaknya, pergi keluar angkasa demi menyelamatkan mereka, tetapi anak-anaknya belum paham -- karena waktu itu mereka masih kecil. Mengira Ayahnya ingin meninggalkan anak-anaknya dan tidak akan kembali lagi.

Dengan scoring racikan Hans Zimmer, kepergian ayahnya begitu dramatis, salah satu bagian di mana gue sendiri meneteskan air mata, karena kepergian itu tidaklah mudah diterima dari kedua belah pihak.

Saturnus dan planet-planet baru yang dikenalkan di ujung lubang cacing menarik perhatian gue, betapa kecilnya kita.

Tidak disangka, semuanya penuh pengorbanan, karakter utama mengalami error yang tidak bisa dihindari, hilangnya waktu. Detik, tahun, puluhan tahun berlalu, menjadi hantaman kegagal bagi karakter utama, mau tidak mau. Belasan pesan didapat, menjadi bagian di mana gue meneteskan air mata, anak-anaknya tumbuh dewasa, menyalahkan sang Ayah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, yang ia bisa tunjukan adalah hasil dari misinya.

Mengambil teori sendiri tentang "Black Hole" atau Gargantua sangat riskan karena ilmuan sendiri tidak tahu kalau di dalamnya ada apa dan Sutradara memiliki imajinasi sendiri dengan membuat isi dari Gargantua sangat tidak diduga.

Setelah semua drama perjalanan dan kesedihan yang dialami, setelah gue menangis berkali-kali, masih dibuat nangis. Climax dari film ini benar-benar terbayarkan, pembangunan karakter dari anak dan ayah sudah jadi. Anaknya menjadi paham kalau Ayahnya memang pergi demi menyelamatkan sang anak. Ayahnya menjadi paham kalau sang Anak adalah kunci untuk menyelamatkan kehidupan. Ternyata belum selesai, sang Ayah -- karakter utama -- ternyata salah, temannya bilang kalau cinta itu tidak pernah salah. Dr.Brand -- temannya sang Ayah -- mempunyai intuisi kalau planet pilihannya dapat dihuni. Di akhir cerita karakter utama ternyata siap-siap untuk menjemput temannya.

Clearly, masterpiece.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun