Mohon tunggu...
Raden Kenarok
Raden Kenarok Mohon Tunggu... -

Pemerhati Rakyat, Hentikan Kebohongan Public, No Fitnah, Anti Suap, Anti Korupsi, Anti Penindasan INTIMIDASI, Anti Kekerasan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lagi, Semua Ini karena Ulah Forsil CPB

21 Februari 2013   04:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:58 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TULANG BAWANG—Memasuki kawasan pertambakan udang PT.Centralpertiwi Bahari (CPB) saat ini, terasa berbeda sekali dengan ketika kita mengunjungi CPB pada tahun 1996-2009. Saat itu CPB dimeriahkan dengan kegiatan budidaya udang, sehingga ketika kita masuk ke areal pertambakan: pemandangan ribuan kincir berputar untuk melarutkan oksigen ke dalam air yang dibutuhkan udang,petambak plasma tebar pakan, petambak plasma lagi nyipon, petambak plasma sedang cek kesehatan udang, petambak plasma sedang kontrol pakan dan sederetan aktifitas-aktifitas budidaya udang yang lainnya, adalah panorama yang khas atas bernyawa dan berjayanya usaha budidaya udang di CPB.

Keberhasilan dan kesuksesan CPB dalam membudidayakan udang telah disaksikan langsung oleh Presiden RI Soeharto waktu itu, yang kemudian dilanjutkan oleh kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi—mendampingi Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, yang bertatap muka langsung dengan ratusan petambak plasma lunas kredit dan petambak plasma saldo positif. CPB pun mencatat era emas kejayaan produksi udang pada tahun 2008 dengan produksi tidak kurang dari 60 ribu ton! Itulah era gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem karto raharjo di CPB.

Bagaimana kabar CPB sekarang? “Kini CPB benar-benar memprihatinkan! Itulah kata yang tepat,” ujar Petambak Plasma Blok 01 Nangsur, yang dibenarkan oleh Petambak Plasma Blok 81 Mardini.

Kini budidaya udang di CPB terhenti, lingkungan tambak tak terawat dan petambak plasmanya terkotak-kotak menjadi dua kubu yang berseberangan visi, misi dan tujuannya, yakni petambak Plasama Peduli Kemitraan (P2K) dan petambak Plasma Forum Silaturahmi (Forsil). Dari rekam jejak yang dilakukan media ini, plasma P2K ingin terus bermitra dengan Inti, sedangkan plasma Forsil nyeleneh dengan kecendrungan untuk memilih tebar mandiri yang dibingkai dengan sejumlah pembenaran versi Forsil.

Kenapa demikian? Jawabannya tidak datang dari “rumput yang bergoyang”. Akan tetapi semua itu karena ulah Forsil yang konon ingin petambak plasma CPB kehidupannya menjadi lebih baik dari kesuksesan membudidayakan udang dengan biaya yang murah sehingga bisa menguntungkan, yang ternyata pada prakteknya jauh panggang dari api. Yang dibuat Forsil adalah kehancuran di muka Bumi Bratasena Adiwarna maupun di Bumi Bratasena Mandiri, yang sudah tampak terlihat jelas di depan mata, berupa kelumpuhan budidaya udang yang menjadi bisnis utama CPB.

Carut-marut itu dimulai dari “kudeta” kewenanganTim Pembahas Kemitraan Petambak Plasma (TPKPP) oleh Forsil, yang kemudian mengaku sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili lebih dari 95% petambak plasma CPB. Pada perkembangannya kemudian Forsil melenceng jauh, karena Forsil menyimpang dari tujuan utama pendiriannya. Wajar jika kemudian banyak petambak plasma yang ramai-ramai keluar dari Forsil. “Forsil pada perkembangan selanjutnya sudah melenceng dan menyimpang jauh dari tujuan awal didirikannya,” tegas Plasma Blok 71 Gazali dan Mastari, yangtidak lain dari pendiri Forsil dan sekarang bergabung dengan P2K.

Pengunduran diri mereka selain disebabkan oleh Forsil yang tidak konsisten dalam perjuangannya, juga karena dominasi dan manajemen gaya Cokro Edy Prayitno yang otoriter atas Forsil, membuat Forsil kini banyak ditinggalkan oleh anggotanya. Mereka yang kemudian keluar dari Forsil dan kemudian mendirikan P2K. Konon P2K sekarang ini anggotanya berjumlah 1.427 orang petambak plasma, sedangkan Forsil sekarang beranggotakan tidak lebih dari 400 orang petambak plasma, dan sangat mungkin anggota Forsil akan terus berkurang.

Dari kalangan petambak plasma tertangkap “bisik-bisik tetangga”, konon Cokro Edy Prayitno dan penasehat utama Forsil Waluyo, sedang membuat rumah permanen di Gaya Baru dan Rumbia, Lampung Tengah. Dari mana Cokro Edy Prayitno dan Waluyo punya uang? Karena mereka lama tidak budidaya, bahkan tidak punya bisnis.

Waluyo adalah adik kandung dari Cokro Edy Prayitno, yang dikerjasamaopersikan ke CPB. Dulu waktu di AWS, Waluyo adalah petambak plasma pro kemitraan sehingga diusir dari Blok 00 Kampung Bumi Sentosa oleh Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW). Waluyo lama mengungsi di Tata Kota AWS, sampai akhirnya di-KSO-kan ke CPB.

Tanda-tanda Forsil menuju tidak popular semakin tampak, yakni dengan terus bertambahnya anggota Forsil yang keluar dan mengambil program Tali Asih, yang kemudian dikuatkan dengan terbitnya Surat Bupati Tulangbawang No.: 523/45/DKP-TB/2013 tentang Penyelesaian Permasalahan Inti-Plasma PT.CPB, di mana untuk petambak plasma CPB yang tidak mau lagi bermitra, dipastikan tidak bisa jika ingin tebar mandiri. Jika tetap berkeras untuk tebar mandiri, Forsil dipersilahkan mengambil program relokasi ke tambak udang PT.Aruna Wijaya Sakti (AWS) dengan mendapatkan: Tali Asih Rp.20 juta, biaya transportasi sebesar Rp.1,5 juta, biaya hidup tiga bulan sejumlah Rp.1,5 juta dan boleh membawa satu unit pompa isap. Di AWS mereka bisa pinjam-pakai tambak selama tiga tahun dan sesudah itu tambak boleh dibeli dengan harga yang akan ditentukan kemudian. Program ini selambat-lambatnya berlaku sampai 25 Pebruari 2013.

PERNAH MENEMPUH JALURPERUNDINGAN

DI AWAL PERJUANGANNYA Forsilpernah menempuh jalur perundingan dengan Perusahaan/Inti, dan Intimenyambutnya dengan baik, karena memang waktu itu Forsil berjuang untuk perbaikan system budidaya agar lebih baik dan untuk budidaya yang berbiaya irit, yang tujuannya agar petambak plasma bisa meraup keuntungan. Dari hasil perundingan itu diantaranya Inti menyetujui: (1) kenaikkan Biaya Hidup (BH) dari Rp.1,2 juta menjadi Rp.1,5 juta, (2) pemberian insentif akad kredit Rp.750 ribu, dan (3) pemberlakuan Tambahan Pinjaman Biaya Hidup (PTBH) per Kg.

Akan tetapi karena Cokro Edy Prayitno sebagai Ketua Umum Forsil banyak “memelintir” hasil perundingan saat sosialisasi kepada petambak plasma dan acap kali membatalkan hasil perundingan yang sudah dituangkan dalam bentuk Berita Acara, serta ditambah dengan jalannya perundingan juga tidak kondusif yang diantaranya ditandai dengan “sepakat untuk tidak sepakat”, akhirnya Inti lebih memilih menyambut keinginan petambak plasma dengan meluncurkan teknologi budidaya yang berbiaya murah dan menguntungkan bernama Budidaya Parameter Baru (BPB), yang bisa menghemat biaya produksitidak kurang dari 23%, dan setelah dicoba satu siklus hasilnya sungguh menggembirakan. Target biomass 2,8 ton dari padat penebaran 55 ekor per meter persegisetelah 90 hari budidaya, dicapai rata-rata produksi 3,8 ton per tambak. Mantap!

Akan tetapi Forsil terus melumpuhkan sendi-sendi bisnis budidaya udang di CPB dengan memperjuangkan nasib enam orang plasma—yakni Sarni, Azirwan, Supriyadi alias Edi Gading, Tugino alias Tekad, Subiyanto, dan Bibit Saputro, yang diputuskan hubungan kemitraannya karena menolak BPB—agar dipulihkan kembali hak-haknya sebagai petambak plasma dengan mengandeng pengacara Grace P.Nugroho dan kawan-kawan. Karenagerakan enam orang petambak plasma—dari sembilan orang yang diputuskan hubungan kerja kemitraannya—yang didukung Forsil itu, Bumi Bratasena Adiwarna dan Bumi Bratasena Mandiri dibuat gonjang-ganjing!

Forsiljuga telah merusak nilai-nilai kehidupan sosial dan tatanan kemasyarakatan di CPB,yakni antar petambak plasma jadi tidak akur dan jika bertemu seperti saling bermusuhan, dan juga runtuhnya pondasi kerukunan umat beragama yang terlihat dari ketidaknyamanan dan ketidakhormanisan dalam beribadah di mushollajalur/modul. “Kini banyak musholla kosong, tak ada orang atau anak-anak mengaji, tak ada lagi pengajian, Yassinan, dan Jum’atan saja kami sudah ke masjid kampung penyangga,” tegas Nangsur. (TAN&HERdari berbagai sumber).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun