Menuliskan kembali perjalanan yang telah berlalu nggak pernah gampang. Mengingat memori yang macam semakin berkurang belakangan ini – entah karena faktor usia atau memang males aje, terkadang saya perlu maksain diri untuk benar-benar mengingat sesuatu. Wokeh, saya coba sajalah... Saya berangkat ke Semarang pada 2 Januari sore dari Stasiun Jatinegara, Jakarta sekitar jam 3 sore. Setelah melalui perjalanan sekitar 8 jam yang bikin emosi jiwa, alasan: kaki keinjek/kepepet orang-orang yang seliweran-aneka-gaya-di-gang-sempit-antar-kursi-kereta, saya sampai di Stasiun Semarang sekitar jam 11 malam. Seperti saat berusaha masuk, keluar kereta pun dengan penuh perjuangan. Apalagi udah menjelang tengah malam, jadi jalan juga dipenuhi dengan orang yang tidur dan pura-pura tak mendengar mesti saya sudah permisi lewat. [caption id="attachment_251969" align="aligncenter" width="432" caption="Penuhnya Kereta Menuju Semarang"][/caption] Sesampainya di luar stasiun, beberapa pengemudi taksi dan becak segera menawarkan jasa. Saya pun clingak-clinguk – seperti biasa – mencoba bertanya lokasi tempat penginapan. Saya akan menginap di Wisma Pemda Jateng tanpa tahu nama jalannya. Untunglah seorang supir taksi berkata wisma itu di jalan Menteri Supeno. Yeah, semoga bener dah dan saya pun segera mengikutinya. Untunglah benar! Saya sampai di depan wisma.... yang sudah terkunci! Akhirnya, setelah ketok-ketok beberapa kali, penjaga wisma keluar. Saya segera memperkenalkan diri dan dia pun mempersilahkan saya masuk sambil meminta KTP. Pembayaran akan dilakukan menjelang keluar wisma, sehingga saya bisa segera beristirahat di kamar. Kamar yang saya tempati cukup luas dan nyaman. Iyalah, secara pake AC dan kamar mandi ada di dalam, ehehe... Saya segera bersiap tidur karena badan terasa bagai mau rontok. [caption id="attachment_251970" align="aligncenter" width="432" caption="Kamar Messier-happier di Wisma Pemda Jateng, Semarang"]
[/caption] Paginya saya bangun sekitar jam 8 (atau 9 yak??). Setelah cengak-cengok sebentar, saya keluar untuk mencari
minimarket dan makan pagi. Untungnya,
minimarket terletak tak jauh dari wisma tempat saya tinggal. Setelah membeli beberapa keperluan, saya memutuskan untuk makan sisa kue kemarin yang saya beli di Jakarta dan minum susu saja. Kemudian, saya pun bersiap-siap pergi... ke warnet. Sebenarnya, saya sudah mempersiapkan semacam catatan tempat dan kegiatan apa saja yang akan saya lakukan di Semarang dan Solo. Ehh, entah kenapa, catatan itu menghilang dari laptop saya. Yeah..., mungkin saya lupa menyimpannya, ehehe... Maka tempat pertama yang saya tuju adalah warnet. Di situ saya juga
chatting dengan seorang teman untuk memutuskan transportasi yang kami gunakan untuk dan dari Bali nantinya (perjalanan saya selanjutnya setelah Semarang-Solo). Saya pun memutuskan akan ke: Gereja Blenduk, Lawang Sewu, Sam Po Kong dan Kopi Banaran – seperti yang diusulkan teman yang lain. Beranjak dari warnet dan setelah tanya sana-sini, saya pun sampai di Kota Lama, lokasi Gereja Blenduk. Wah.., jalannya ber-
paving block, seperti yang diceritakan seorang teman di catatan perjalanannya ke Semarang. Saya pikir, Gereja Blenduk itu pasti geda, sehingga saya tidak akan kesulitan mencarinya. Maka, saya pun berjalan saja tanpa bertanya lokasi gereja itu. [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Gereja Blenduk a.k.a GPIB Immanuel"][/caption] Namun setelah kaki mulai terasa nyut-nyut dan saya belum juga menemukan posisi gereja itu, saya pun mulai bertanya. Setelah kembali clingak-clinguk, saya pun sampai di depan sebuah gereja yang ternyata tidak terlalu besar dan.... sebenarnya sudah saya lewati tadi. Jiaaahhh, ini toh gerejanya. Lha, kan tulisannya GPIB Immuel trus terkunci pulak, seru batin saya dengan o’onnya. Bahh, acemana mau liat dalemnya yak... *kembali clingak-clinguk-nanya* Menurut beberapa orang yang saya tanya, gereja itu memang terkunci dan hanya digunakan saat ibadah atau malam hari. Capeee deh! Saya pun mengambil beberapa foto gereja dari beberapa sudut. Kemudian, meminta tolong sekelompok anak SMA yang juga sedang berfoto untuk mengambilkan foto saya, hehehe... Setelah itu, saya tanya-tanya bagaimana caranya ke Lawang Sewu, Kuil Sam Po Kong dan Kopi Banaran. “Mbak mau ke semua tempat itu dalam satu hari?” tanya salah satu dari mereka. Saya mengangguk sambil mengiyakan. “Wah, kayanya nggak akan sempet mbak. Ini kan udah siang,” katanya lagi sambil melirik ke jam yang sudah menunjukkan tengah hari. “Oh gitu... Hm..., mungkin Kopi Banarannya besok aja ya, sambil menuju Solo,” jawab saya yang dibenarkan mereka. Kebetulan di situ ada penjual es krim, saya pun membelikan mbak yu-mbak yu itu sebungkus es krim. “Wah makasih, mbak,” balas mereka. Saya senang karena mereka begitu ramah dan cukup tahu transportasi ke tempat-tempat yang saya tuju, ehehe.... Saya pun beranjak ke Lawang Sewu dengan bus. Sebenarnya tempatnya tidak terlalu jauh dari Kota Lama, hanya saja bus yang saya tumpangi ngetem cukup lama di... entah apa namanya. Tapi, karena supir bus berkata dengan ramah, “Mbak, cari 'sewa' dulu yah..,” saya pun tak keberatan. [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Lawang Sewu, brrrr....."][/caption] Sesampai di Lawang Sewu, segera terlihat kesibukan proses renovasi – seperti yang diceritakan Kak Yusni. Saya sudah takut tidak bisa masuk, tetapi saya tetap bertanya. Ternyata, bisa! Hore!!! Tapi.... biaya masuknya cukup mahil. Karena gedung sedang direnovasi, saya harus menyewa
guide untuk mendampingi perjalanan mengitari Lawang Sewu. Biaya masuknya sih 10 rebu, tapi biaya guidenya 30 rebu. Sebenarnya nggak rela ngeluarin uang sebanyak itu hanya untuk mengitari gedung yang entah-apa-menariknya itu. Tapi, secara saya sudah ada di situ dan tidak tahu kapan lagi akan berkesempatan berkeliling di tempat itu, saya pun memutuskan merelakan 40 rebu itu, huhuhuh.... Di awal, saya sempat berpikir, keknya pernah dengar deh Lawang Sewu, tapi tentang apa yah... Pertanyaan itu segera terjawab si mas
guide ketika menjelaskan sumur tua yang terletak di luar gedung, “Itu sumur yang digunakan untuk pembuangan mayat. Bla bla bla... Kalau malam, kadang ada hantu wanita...” [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Sumur Keramat di Lawang Sewu"][/caption] Wekkk, oh iye, Lawang Sewu kan tempat yang angker itu yak! Saya membatin sambil sedikit menyesal, ngapain juga gue ngiterin tempat horor sambil bayar 40 rebu. Ntar pake ngeliat macem2 pulak. Hiiii.... Untunglah ketakutan saya itu tidak terbukti dan sempat ditenangkan juga oleh si mas
guide (ehehe.., abis gak tau namanya. Biasa, males basa-basi ;p), “Nggak apa-apa kok Mbak,
image horor itu kan karena tv dan film-film yang cuma bercerita hal-hal nakutin di sini. Sebenarnya, nggak ada apa-apa kok. Yah, mungkin kalau malam sering terlihat angker dan ada beberapa kejadian orang kesurupan...” Makk, enak kali dia ngomong kesuruan, batin saya sambil mulai berdoa dalam hati. Kalo udah gini aja, baru inget Tuhan... Lawang Sewu sendiri merupakan lahan sekitar 2 hektar yang terdiri dari beberapa gedung yang dulunya Kantor Pusat KAI. Tempat ini dikenal sebagai seribu pintu (
lawang: pintu,
sewu: seribu). Menurut si mas
guide, setiap 3 pintu, menandakan satu ruangan. Beberapa bagian memang membutuhkan renovasi, namun secara keseluruhan masih cukup bagus kondisinya. [caption id="attachment_251972" align="aligncenter" width="300" caption="Seribu Pintu, Sepertinya Memang Demikian..."]
[/caption] [caption id="attachment_251973" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu... Pintu... Dan Lebih Banyak Pintu Lagi..."]
[/caption]
Gedungnya sendiri seperti tipikal gedung Belanda – entah apa nama aliran arsitekturnya – dengan langit-langit tinggi dan jendela besar. Terdapat juga kaca hias – entah apa namanya, hadohh, saya sangat menyedihkan sebagai pencerita perjalanan yak – di dekat pintu masuk yang cukup besar dan megah. Terdapat beberapa komplek bangunan yang semuanya memiliki banyak pintu dan jendela. Saya sempat berfoto di depan hamparan pintu dan jendela yang seperti ruangan mengerucut. Di bagian bawah, terdapat ruang bawah tanah. Pada zaman Belanda, ruang itu digunakan sebagai drainase. Tetapi pada zaman Jepang, ruangan itu digunakan sebagai penjara bawah tanah dengan sistem yang sangat kejam. Saya pun ditawari untuk melihat ke dalam, kembali dengan membayar sekian puluh ribu, karena akan ditemani oleh guide dan dibekali sepatu boot plus senter. Saya segera menolak. Bahh, ngapain awak bayar lagi untuk nakut-nakutin diri sendiri. Di bawah pasti gelap dan luas, ntar kalo ada apa-apa, tereak-tereak juga percuma. Males banget!!! Tapi..., kapan lagi ya bisa ke sini. Ye elah, cemen amat sih kek gitu aja nggak berani. Bikin malu aja, udah ke Lawang Sewu tapi nggak berani liat ruang bawah tanahnya. Apa kata dunia?! Demikianlah pertentangan batin norak yang terjadi di pikiran saya sebelum akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti tour-de-undergorund itu. Setelah menggunakan sepatu boot dan memastikan senter yang saya pegang menyala dengan baik, saya bersama si mbak guide (lagi-lagi saya tidak bertanya namanya ;p) turun ke bawah tanah. Hiiiiii..., semoga nothing’s happen – doa saya sambil komat-kamit... Benar saja, ruangan bawah tanahnya cukup luasss... Secara saya harus berjalan pelan menyusuri genangan air, perjalanan terasa saaangggat lambat dan lumayan horor. Huhuuhuh... tapi udah terlanjur di bawah, gan! Si mbak guide menunjukkan beberapa ruangan dari mulai penjara jongkok yang diisi enam orang dewasa yang berjongkok(!!) sampai penjara berdiri yang diisi 5 atau 6 orang dewasa yang berdiri sambil menunggu kematian. Bagaimana tidak, mereka harus berjongkok atau berdiri sepanjang hari tanpa diberi makan dan berada di genangan air. Keadaan seperti itu tentu memberi kematian pelan-pelan yang begitu menyakitkan. Hiiiii........ Si mbak guide juga sempat menunjukkan ruang pemancungan dan saluran air tempat pembuangan mayat. Arghhhh, lemme outta here!!! Di satu pojok, saya perlu naik melewati semacam jendela kecil untuk bisa ke ruangan selanjutnya. Dengan noraknya saya menolak. “Ahh, mbak, mana muat. Lagian celana saya sempit”, kata saya beralasan dengan o’onnya. “Saya aja muat, Mbak. Nih saya coba duluan,” katanya sambil menggelungkan dirinya yang jauh lebih besar dari saya dan berhasil masuk. [caption id="attachment_251975" align="aligncenter" width="300" caption="Senyum-Senyum Sambil Menahan Takut"]
[/caption]
Wew, keren juga si mbak guide. Yah, mau tak mau, saya pun mencoba dengan menarik-narik kaki secara jeans keramat yang saya kenakan memang makin sempit. Kami pun melanjutkan perjalanan di dalam. Saya sempat melihat seperti bayangan hitam dan berteriak, “Eh, apaan tuh, mati gue!! Sori mbak..., kaget!!!” yang sepertinya hanya halusinasi semata. Asli, sungguh memalukan! Untungnya si mbak guide-tanpa-ekspresi itu diam saja, heee.... Setelah selesai dengan ruang bawah tanah, si mas guide yang menunggu di atas berkata, “Tuh kan mbak, nggak ada apa-apa.” Saya mesem-mesem sambil membatin: Iyeeee, emang gue parnoan dengan tempat-tempat model gini. Saya sempat bertanya: "Mas, emang muat satu ruang penjara untuk sekian orang?" Si mas guide senyum-senyum sambil memberi jawab yang membuat saya BT!: "Yah, kan orang jaman dulu belum... mm.. segemuk mbak gini." Tolong ya mas, kok maenan fisik sih!? Untung saya lagi gak bawa beceng! Yeah, perjalanan masih berlanjut sebentar sambil saya minta tolong si mas guide mengambil beberapa foto. Di akhir perjalanan, karena si mas guide bertanya, saya pun menjelaskan rute perjalanan saya selanjutnya: Sam Po Kong. Ternyata, ada guide lain yang mendengar dan menawarkan diri untuk mengantar saya. “Lha, emang mas nggak kerja?” Si mas guide mayan ganjen berkacamata hitam itu pun berkata, “Nggak apa-apa mbak, di sini santai kok. Lagian saya kan freelance aja.” Kalau sinis-tingkat-tinggi saya lagi kumat sih saya pasti sudah pergi dengan cuek sambil mengatakan kata-kata pedas... Tapi..., mengingat sudah banyak uang yang keluar di Lawang Sewu dan kaki makin nyut-nyut, saya pun mengiyakan tawaran si mas. Ada juga gunanya jeans-keramat-sobek-sobek.
Tak lama, saya sampai di Sam Po Kong dan melenggang turun dari motor sambil berkata, “Gratis kan mas.” Dia sepertinya masih mau mengantarkan saya pulang. Heleh,
not even in ur dream, dude, demikian batin saya. “Saya jalan sendiri aja nanti mas. Makasih banyak yah,” kata saya menutup pembicaraan. Di Sam Po Kong, biaya masuknya cukup murah: Rp. 3.000,- sajah. Tapi... kalau mau masuk ke dalam ruangan kuil, harus membayar Rp.30.000,- lagi. Malesss bett. Saya pun memutuskan untuk mengambil foto dari luar kuil, toh juga keliatan. Kuil yang didominasi warna merah ini memang cukup besar. Ada banyak patung entah apa di sepanjang komplek kuil. Saat itu, pengunjung bisa dibilang sepi, sehingga saya bisa leluasa berjalan sambil mengambil foto. Yah... cukup menariklah, meski saya tak bisa masuk mengamati berbagai ornamen dari jarak dekat. Setelah Sam Po Kong selesai sekitar jam 3, perut sudah terasa keroncongan, secara sarapan saya hanyalah risoles plus susu tadi pagi. Karena tidak tahu di mana tempat makan yang enak di sekitar situ, saya pun memutuskan pulang. Tetapi kemudian, saya teringat pesan seorang teman: Bakso Kumis RS Elisabeth. Segera saya mencari tahu bagaimana mencapai rumah sakit itu. Saya berjalan lumayan jauh dari Sam Po Kong untuk naik bus ke arah RS Elisabeth. Sebelum sampai di tujuan, saya sudah melihat tulisan Bakso Kumis di kiri jalan. Karena takut terlewat, saya pun turun di situ. Entah itu memang bakso kumis yang dimaksud teman saya, tapi rasanya cukup lumayan. Saya pun memesan bakso spesial dan jus alpukat. Makkk, jus nya mantap kali pun. Langsung kuhajar habis sebelum menyicipi baksonya. Jadilah awak kekenyangan... Jalan-jalan dan makan-makan sudah, berarti tibalah waktu pulang... ke wisma. Saya sempat singgah di warnet di dekat situ untuk bertanya apakah saya bisa membawa laptop untuk online di situ. Karena menurut si penjaga bisa, jadilah saya mengambil laptop ke wisma. Ternyata eh ternyata... kagak bisa, gan.Gue udah bawa nih laptop segede gaban, akhirnya ngedeprok sia-sia, nggak jadi
upload foto dan catatan dah... Bosan ngenet sekitar sejam, saya kembali lagi ke wisma,
wondering mau nongkrong di mana malamnya. Seorang teman, Nunik, berkata akan menemani saya
ngafe malam ini. Aseeekkkk.. Eh tapi..., menjelang malam dia tiba-tiba berkata bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. Hadohhh, sendiri lagi... sendiri lagi... Saya pun bertanya tempat nongkrong ber-
wi fi yang asik di Semarang. Dia menyarankan saya pergi ke Brux yang ternyata sudah tutup! Untunglah, di dekat situ masih ada cafe lain: Rinjani View. Wih, ternyata tempatnya asik dan ada
wi fi. Saya langsung menuju bagian balkon. Tapi kok dingin banget yak... Maka, saya pun kembali masuk ke dalam. Eh, afa-afaan ini kok rame. Ohh, ada artess, si Hanung Bramantyo sama Saskia entah sapa itu. Keknya si Hanung lagi promo film teranyarnya. Saya sih cuek ajeh, lanjutkeun makan bubur ayam dan dimsum udang sambil minum c
hocolate peppermint.
Setelah nongkrong sekitar tiga jam plus ber-
wi fi ria, saya pun memutuskan pulang. Naek taksi dong, seperti sewaktu datang, toh jaraknya mayan dekat dari wisma. Di kamar, saya yang tadinya sudah mengantuk, justru segar kembali. Demi mengantuk lagi, saya pun membaca “Midnight Children” nya Salman Rushdie yang nyaris setebal kamus. Hadohh, salah colok banget sih bawa buku setebel itu pas jalan-jalan, bikin tas makin berat aja. Sebenarnya, malam itu saya sempat takut untuk tidur, secara baru dari Lawang Sewu kan. Bahkan saya sempat takut melihat foto-foto, siapa tahu jumlah orang yang terambil fotonya jadi bertambah. Hiiiii..., hororrrr. Maka, saya membiarkan lampu menyala sehingga tidur pun tidak nyenyak dan terbangun-bangun sampai keesokan pagi. Jadilah saya bangun dengan badan pegel dan mata bengep. Hm..., musti nyari sarapan nih biar seger. Saya pun keluar wisma sekitar jam 9 dengan tujuan Pasar Johar dan Toko Oen. Biasa, clingak-clinguk sambil tanya-tanya. Keduanya bisa saya datangi, dengan bonus melihat Masjid Agung Semarang yang ternyata masih ada di kawasan pasar. [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Pasar Johar, Rame Euy..."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Mesjid Agung Semarang"][/caption] Di Toko Oen, saya memesan pancake yang ber-
topping 3 jenis es krim dan bolen-bolen apa gitu – katanya sih adonan dari daging lalu dibentuk bundar dan digoreng. Pancakenya mantap, meski tipis. Es krimnya juga enak. Walaupun untuk
rhum and raisinnya tidak seenak yang saya bayangkan. Bolen-bolen-apa-gitu cukup enak dan mengenyangkan. Dari 12 bundaran yang tersedia, saya hanya sanggup menghabiskan sekitar 5. [caption id="attachment_251980" align="aligncenter" width="300" caption="Bolen2-Apa-Gitu plus Pancake+Triple Scoop Ice Cream, Yipppieee..."]
[/caption]
Demikianlah sedikit cerita tentang perjalanan singkat saya ke Semarang. Meski singkat, namun cukup berkesan. Apalagi, tempat-tempat dan makanan yang saya sempat cicipi sangat menarik, hehehe... Sampai jumpa di cerita perjalanan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya