Setelah berjalan 16 tahun Reformasi tidak jua membawa kesejahteraan rakyat. RADAR-INDO.COM, JAKARTA - Suasana menjelang pilpres semakin panas. Saling serang dengan cara keji yang dikemas melalui black campaign menjadi sebuah peristiwa yang wajar. Padahal, cara demikian tidak pernah dibenarkan dalam terminologi demokrasi itu sendiri. Psy-war dalam bentuknya yang paling absurd dimainkan pula oleh para tokoh dan pengambil kebijakan. Ini, tentu sangat merusak tatanan demokrasi dalam konteks berkebangsaan di negeri ini. Strategi pencapaian sebuah tujuan dalam konteks demokrasi semestinya dibangun dan dipagari oleh nilai-nilai dan kultur budaya yang arif dan bijak. Tidak menghalalkan segala cara seperti yang ditempuh oleh kaum barbarian dengan menghembuskan fitnah yang tidak beralasan. Dalam konteks ini, begitu tampak bahwa kedewasaan dan cakrawala politik bangsa ini masih sangat rendah. Politik praktis yang menjadi alat untuk menyampaikan aspirasi dan perubahan, menjadi sebuah medan perang dengan slogan mati atau menang. Begitu kuatnya naluri manusia mengenyampingkan nilai-nilai dan kultur sebuah bangsa demi capaian politis yang hendak ditujunya. Mereka lupa tentang hakikat sebuah kekuasaan yang menjadi alat bagi terlaksananya kesejahteraan sebuah bangsa bahkan peradaban manusia secara keseluruhan. Dalam konteks pemilu presiden 2014 ini peperangan dalam bentuk abstrak antar pendukung telah begitu jauh dari nilai-nilai ideologi dan budaya bangsa Indonesia yang memiliki disiplin pancasila. Mereka dengan sengaja melepas makna dan simbol yang tergurat dalam 5 dasar dan prinsip di dalamnya. Strategi politik yang dibangun begitu jauh keluar dan tersesat dari lingkaran makna kesatuan dan kebersamaan. Pembunuhan karakter seorang individu menjadi sebuah peristiwa yang lumrah. Menyebarkan fitnah menjadi sebuah dagangan yang sangat laris. Kita belum mampu memahami secara seksama makna sebuah kemenangan dan kepemimpinan, apa lagi mengaktualisasikannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Demokrasi seakan membiarkan mereka melakukan apa saja demi kekuasaan yang mereka impikan meskipun membunuh dan menginjak-injak demokrasi itu sendiri. Betapa ruwetnya warna demokrasi dan politik di Indonesia. Untuk menjadi dan meraih kekuasaan, seseorang atau kelompok dan atau sebuah partai boleh saja menggunakan cara keji dan menyebarkan fitnah demi melumpuhkan lawan politiknya. Black campaign menjadi senjata ampuh untuk mematikan lawan. Beredarnya rahasia negara tentang kebijakan yang diambil oleh DKP mengenai sepak terjang salah satu calon presiden di pemilu 2014 nanti sangat kental dengan muatan politik. Beredarnya rahasia negara itu harus menjadi catatan khusus dan memberi sanksi bagi pelakunya serta menyeretnya ke meja hijau karena ini menyangkut keamanan dan kedaulatan sebuah negara Reformasi Menurut arti kata dalam Bahasa Indonesia, pengertian reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Di Indonesia, kata reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru.Dari wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa reformasi merupakan suatu perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Reformasi yang sesungguhnya tidak mengenal pertumpahan darah terhadap masyarakat yang tidak berdosa. Tidak ada perusakan terjadi bila reformasi itu murni untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Tema-tema reformasipun tidak pada sebuah perencanaan untuk terbangunnya tatanan baru yang lebih baik tetapi lebih kepada sentimen agama, jabatan, kekuasaan dan ekonomi semata di kalangan elit yang bisa saja masih dalam orde yang sama. Reformasi dalam penerapannya di lapangan sangat brutal. Pembakaran tempat-tempat publik yang menjadi kepentingan masyarakat banyak tidak terhindarkan. Penjarahan massif pun berlangsung dalam aksi reformasi kala itu. Kedaulatan negara harus dijunjung tinggi. Tidak boleh hanya karena kepentingan individu dan golongan, sebuah kedaulatan tersingkirkan begitu saja. Oleh karena itulah harus ada ksatria yang berani menghadang upaya-upaya yang akan merongrong kedaulatan negara. Bukan membiarkannya (chaos) tanpa upaya sedikitpun untuk menghalau yang ditimbulkannya seperti penjarahan dan kerusuhan masal. Alasan apapun akan menjadi naif terhadap seseorang, lembaga atau instansi apapun namanya yang membiarkan negara dan kedaulatannya dirongrong oleh pihak-pihak tertentu. Kasus Timor Timur juga menjadi pelajaran berharga bagi kita. Ini bukan pelanggaran HAM. Demi kedaulatan dan NKRI, apapun harus kita lakukan. Ini menjadi bagian penting dan sebuah bukti bahwa masih ada nilai-nilai nasionalisme dalam tubuh kita sebagai bangsa Indonesia. Analogi yang paling mudah dalam konteks ini adalah bahwa benar bila seorang pemilik rumah menghantam dan menghabisi pelaku kejahatan (penjahat) yang berniat merampok harta dan membunuh sang pemilik rumah. Namun mesti diingat bahwa pembunuhan terhadap perampok yang dilakukan oleh sang pemilik rumah hanya sekedar membela diri dan menyelamatkan harta yang dimilikinya bukan karena yang lain. Ironis sekali bila sikap pemilik rumah dilarang untuk membela diri dan menyelamatkan hartanya. Dan yang lebih tragis adalah ketika saudara, teman dan masyarakat menghukum sang pemiliki rumah atas tindakannya itu dengan mengusir dari lingkungan dan rumah miliknya dan memberi gelar sebagai pelanggar HAM. Bagaimanakah perasaan anda melihat tragedi ini? Apa yang ada dalam benak anda saat melihat si pemilik rumah terusir dari rumahnya sendiri? Apa pandangan anda terhadap suadara, teman dan masyarakat yang mengusirnya itu? Mengapa teman, saudara dan masyarakat mengusirnya?Jawaban anda adalah hati nurani anda sendiri./f/sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H