Arya menghentikan motornya tepat di depan rumah Bimo, matanya menangkap keranjang berisi jeruk nipis di teras Bimo. Keranjang ini lebih besar ukurannya dari pada keranjang yang dilihat di rumahnya. Dadanya masih berdegup kencang, rasa khawatir berubah menjadi rasa takut. Malam belum begitu larut, tapi keadaan di sekitar terasa sangat sepi. Lampu di rumah Bimo juga sudah dimatikan, pertanda tak ada aktifitas di dalamnya. Arya memutuskan meninggalkan rumah Bimo dan melaju ke rumah Aris-temannya selain Bimo.
Sepanjang jalan jantungnya berdebar sangat kencang, ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu. Salah satu temannya yang bernama Bagas mengalami kecelakan di area balap motor. Arya dan teman-temannya iseng menaburkan perasan jeruk nipis di atas darah Bagas yang masih basah di jalan. Mereka ingin membuat lelucon, menakut-nakuti teman yang lain bahwa arwah Bagas akan merasa kesakitan dan mendatangi siapa saja yang diinginkan. Entah, tak satupun dari mereka saling mengingatkan agar tidak melakukan hal konyol itu.
Arya yakin malam ini dia telah dikerjai oleh teman-temannya juga. Tapi, Arya tetap merasa ketakutan. Tiba-tiba dirinya merasa bersalah karena tidak membersihkan darah bekas Bagas kecelakaan, Â malah membuatnya sebagai bahan bercanda dengan teman-temannya. Arya menyesal. Besok Arya akan datang ke makam dan meminta maaf kepada Bagas, karena itu akan membuatnya tenang dan mengurangi rasa bersalahnya.
Malam semakin naik, jalanan semakin sepi. Arya mengurangi kecepatan motornya, merenungi apa yang telah dilakukannya bersama teman-teman beberapa hari lalu. Sebuah bayangan berkelebat di sampingnya. Arya memasang matanya baik-baik, memastikan apa yang dilihatnya baru saja adalah salah. Seseorang berdiri di depannya, dengan sekuat tenaga Arya mengerem motornya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Bagas berdiri tepat di depannya, wajahnya berlumuran darah. Tatapan matanya kosong, bibirnya pucat. Bukankah dia sudah mati? pikirnya.
"Sakit, perih!" kalimat itu muncul dari mulut Bagas, membuat Arya gemetar dan tidak bisa bergerak ke mana pun.
"Maafkan aku." hanya kata itu yang keluar dari mulut Arya.
"Tolong, bersihkan darahku, sakit...perih sekali." kembali rintihan keluar dari mulut Bagas terdengar menyayat hati.
Arya segera melaju dengan motornya, berusaha mencari pertolongan di jalan yang sangat sepi. Tiba-tiba Arya terkejut karena di depannya sangat ramai, Arya tahu keramaian itu pasti disebabkan kecelakaan. Arya memarkirkan motornya, ikut bergabung dengan keramaian. Kedua matanya terbelalak, mendapati Bimo terkapar di tengah jalan. Temannya meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Tubuh Arya lemas, rasanya  ingin pingsan saja dan melupakan kejadian itu untuk beberapa menit. Tetapi dia memtuskan membungkuk, mendekat pada tubuh Bimo yang telah tewas. Seseorang menepuk punggungnya dan berkata, "Jangan kucuri darahku dengan jeruk nipis ya, aku tidak mau kesakitan seperti Bagas kemarin." Seketika Arya merasa lemas, apalagi dia melihat kedua sahabatnya berjalan meninggalkannya yang masih gemetar. Beberapa detik kemudian, sebuah truck dengan kecepatan tinggi menabrak Arya, seketika tubuhnya hancur di tengah jalan.*
Rachmawati Ash, Seorang Ibu yang gila baca, mendirikan Teater Satria Muda pada Agustus 2020 di Jatibarang Brebes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H