[caption id="attachment_188608" align="alignnone" width="300" caption="alun-alun kota malang, sumber www.malangkota.go.id"][/caption] [caption id="attachment_188606" align="alignnone" width="500" caption="suasana ancolnya jambi, banyak penjual jagung bakar disini. foto,aldino/tribun jambi"][/caption] Ini sedikit cerita, menindaklanjuti status di facebook saya. Nostalgia lima-enam tahun lalu. Ceritanya, soal panganan kesukaan saya, jagung bakar! Kompasianer penyuka jagung bakar, sepertinya perlu terus membaca tulisan ini. J Adapun yang tidak suka, tak mengapa membaca hingga tuntas. Semasa kuliah di Kota Malang, saya kerap melakukan aktivitas ini. Dari kos-kosan saya di kawasan Kerto-kertoan, menumpang angkot atau line LDG saya bertolak ke alun-alun kota. Alun-alun yang persis berada di depan masjid raya. Lebih sering saya pergi selepas ashar, atau jelang magrib. Di antara dua waktu itu, bersama sejuknya udara Malang memang mengasyikan bersantai di alun-alun. Penjual jagung bakar adalah pilihan tepat untuk menemani duduk di taman yang asri itu. Memang nikmat. Sambal merah yang dioleskan ke jagung dengan kuas, menambah nikmat, pedas berpadu manis. Sebelum menulis, tadi saya sempat googling, ternyata wajah alun-alun sudah jauh berubah. Sama berubahnya dengan halaman hijau lagi luas rektorat kampus saya dulu. Sebuah tugu dipancang di sana. Seingat saya, kenalan saya juga kerap melakukan ini. Seorang teman wanita yang aktivis organisasi mahasiswa muslim itu juga sering duduk sore di sana. Hanya bedanya, ia bersama suaminya. Duh mesranya, apalagi mereka jarang bertemu. Apa kabar ya tuh temen saya. Nah, sayang di kota saya, tidak memiliki alun-alun. Kalaupun ada ruang publik, kondisinya berbeda jauh. Untungnya, ada tempat asyik di kota saya, Jambi, untuk menikmati jagung bakar ini. Tepatnya persis di tepi Sungai Batanghari. Kawasan wisata yang aslinya bernama Tanggo Rajo ini, lebih populer dengan nama Ancol. Kelak, bila Anda mampir di kota saya, silakan mencicipi lezatnya jagung manis bakar di sini. Sebagai pendamping, ada es tebu asli yang langsung digiling sebagai pelepas dahaga. Bila dulu saya menikmati jagung bakar sendirian atau bersama teman, sekarang saya menikmatinya bersama keluarga kecil saya. Kata Rumaisha, anak saya yang berusia dua tahun itu, ‘kipas-kipas bi,” dengan cedal. Hmmm…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H