Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Meludah Dekat Orang Rimba

22 April 2010   14:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_124495" align="alignleft" width="225" caption="Saya bersama tiga orang dari Suku anak dalam"][/caption] Di pedalaman taman nasional bukti duabelas (TNBD), sekira dua tahun lalu. Itulah kali pertama pertemuan saya dengan kelompok yang disebut-sebut sebagai suku asli orang Jambi. Ada yang menyebutnya suku anak dalam (SAD), suku kubu, dan orang rimba. Setidaknya itu merupakan pertemuan saya dengan suku kubu di tempat tinggal aslinya. Bukan seperti ketika bertemu satu kelompok yang dipimpin Tumenggung Tarib dimobilisasi berdemo ke Kota Jambi. Dari sebuah desa di Kabupaten Batanghari, pagi hari kami bertolak menuju TNBD. Menyusuri pedesaan sepi penduduk, perkebunan sawit lalu bekas perkebunan akasia. Mengendarai mobil off road melewati jalan terjal, curam membuat perut kami terguncang. Lewat tengah hari, barulah kami mendapati satu kelompok Suku Anak dalam yang dipimpin Tumenggung Nyenong. Begitu namanya kalau saya tak salah ingat. Satu hal yang menggelayuti pikiran saya ketika bertemu mereka. Ini cerita yang kudapat dari mulut ke mulut. “Jangan meludah di dekat orang kubu, jika tidak kita akan diguna-guna dan ikut mereka,” begitu pesan yang hingga kini aku tak tahu kebenarannya. Konon, jika itu kita lakukan, orang rimba atau suku anak dalam akan mengambil air ludah kita dan dengan jampi-jampinya, “takluk”lah kita. Soal ini, sampai-sampai dosen saya di Sumatera Barat sampai menunjukan ketakutan yang berlebihan ketika ia bertandang ke Kota Jambi. Padahal di Kota Jambi, boleh dibilang tidak ada suku anak dalam. Tapi, lantas aku lebih banyak miris melihat kondisi mereka. Seorang bapak dari mereka tengah menderita sakit ketika itu. Ia tampak lemas, berjalan membungkuk. Sehelai baju kampanye bupati dari porvinsi tetangga ia kenakan. Aku kian terusik tatkala dari belantara hutan dan semak belukar itu keluar sejumlah anak kecil. Di antara mereka ada yang tanpa mengenakan kain selembar pun, mereka berebut makanan yang kami sodorkan. Perutnya buncit, kulitnya hitam dan dekil, rambutnya kusut masai. Adapaun para pemudanya mengenakan kain yang menutupi kemaluan mereka. Badannya kurus, dagingnya tipis sehingga tulang rusuknya kentara terlihat. Mereka berebut mengambil rokok yang disodorkan. Sementara para wanitanya memilih bersembunyi di semak-semak. Tubuhnya juga tak tertutup sempurna. Dari anggota rombongan saya diberitahu, kaum wanita orang rimba tak mau diambil foto dirinya. [caption id="attachment_124497" align="alignright" width="300" caption="anak orang rimba yang memakan makanan ringan"][/caption] Banyak kearifan yang bisa dipetik dari suku anak dalam. Hal paling sederhana tentunya bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari sana saya ketahui bahwa  selain babi hutan, mereka mencari banar untuk makan. Banar sejenis umbi-umbian hutan. Tak jarang, mereka mencari damar lalu menjual-secara barter tentunya-di pasar atau permukiman penduduk. Tentu mereka harus keluar hutan lebih dulu. Sebulan terakhir, sejumlah daerah di Jambi dihantui ketakutan dengan  munculnya harimau sumatera. Raja hutan itu bahkan muncul ke permukiman, bahkan ada yang muncul di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Kerinci. Dari dulu saya bertanya, belum pernah terdengar kabar orang rimba yang dimangsa harimau. Aktivis lingkungan yang kerap mendampingi orang rimba tak pernah mengabarkan itu. Saya yakin jika kejadian itu pernah terjadi, tentu mereka tahu. Tapi, justru tahun lalu tak kurang delapan orang disantap raja hutan di Jambi. Masih banyak kearifan orang rimba yang perlu ditiru. Saya yakin itu. Terlebih soal menjaga dan melestarikan hutan.  Saya kutipkan ini dari http://www.warsi.or.id/Action/Action_Erinaldi.htm “Kami nioma Orang Rimba butuh rimba untuk kami berpenghidupon, sebab rimba adolah rumah kami, kalau rimba habiy samo artinye merubuhkan rumah kami. Lebih baik kami dibunuh segelonye daripado kami piodo lagi bisa hidup di rimba, sebab benyok pemakon kami dari rimba seperti gedung, benor, dan louk. Bermohon kami pado segelimang nang detong sio untuk mempertahanko rimba nang masih tesiso supayo piado habiy”. Artinya kurang lebih, Orang Rimba butuh hutan untuk kehidupan mereka. Hutan bagaikan rumah bagi mereka. Kalau hutan habis sama artinya merubuhkan rumah mereka. Lebih baik mereka dibunuh daripada mereka tidak dapat hidup lagi dalam hutan. Hutan memberikan makanan kepada mereka dengan ketersediaan gadung, banar (umbian hutan), dan hewan sebagai lauk-pauk mereka. Tapi dipertemuan itu, saya sempat dibuat heran. Mereka tidak terlalu buta dan anti dengan teknologi. Tumenggung Nyenong, yang beristri dua ternyata  memiliki satu unit sepeda motor. Padahal, entah berapa puluh atau ratusan kilometer jarak mereka ke permukiman. Timbul pertanyaan, bagaimana jika  mereka melangun (berpindah karena ada yang meninggal) ya, dimana motor itu akan disimpannya?... Salam kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun