Mendirikan masjid mungkin gampang, memakmurkannya yang tak mudah. Merobohkan masjid mungkin juga gampang. Tapi mematikan ideologi…. *** Kalau beberapa tahun yang lalu kalian datang ke kampusku dengan menumpang line (angkot), kalian akan berhenti di dekat gerbang. Satu di gerbang Fakultas Ekonomi, satu lagi di gerbang dekat asrama mahasiswa. Maka tak sampai satu kilometer, sampailah kalian di masjid besar yang dibangun oleh Soeharto dan dinamai Masjid Raden Patah.* Enam tahun berselang, kini masjid yang dulu ramai syiar islam dan para aktivis dakwah kampus itu telah bersalin rupa. Arsitektur khas masjid yang dibangun dari dana Yayasan Pancasila-nya Soeharto--yakni atap yang bertumpang tiga--, telah berganti dengan beton menjulang tinggi. Beton itu masih akan terus tumbuh menjadi bangunan yang melenyapkan Raden Patah asli. Enam tahun meninggalkan kampus Universitas Brawijaya, Malang, saya takjub sekaligus geleng-geleng kepala. Sungguh banyak perubahan di kampus tempat saya dulu berkuliah. Bangunan baru terus bermunculan, tinggi nyaris bahkan mungkin sama tingginya dengan gedung rektorat. Dulu bangunan rektorat itulah satu-satunya gedung yang menjulang di Brawijaya. Dan kepala saya menggeleng seolah tak percaya, ketika tak menemukan Masjid Raden Patah, masjid kampus yang berada satu kompleks dengan Fakultas Ekonomi dan dekat dari sekretariat UKM. Sempat menghentikan motor sejenak, lalu merekonstruksi bangunan anggun masjid itu di pikiran saya. Dari cerita beberapa orang teman, Masjid Raden Patah memang sengaja dirubuhkan. Di tanah tempat masjid itu dulu berdiri, kini tengah dilakukan pembangunan gedung. Katanya itu adalah gedung untuk fakultas ekonomi. Nanti di sana tetap akan dibuatkan masjid kampus. Kini yang terlihat, peninggalan Masjid Raden Patah adalah sebuah papan nama di dekat bangunan yang terlihat mangkrak itu. Aktivitas dakwah di MRP dulu sangat hidup. Di sanalah para aktivis dakwah kampus menuntut ilmu agama, berdiskusi. Berbagai harokah, “aliran” ada di sana. Kadang rukun, atau sesekali bersebrangan pemahaman atau penafsiran. Ah biasalah.. Di sana dulu ada dakwah salafiyah. Sangat banyak mahasiswa yang mengikuti dakwah ini. Juga tumbuh di sana aktivis KAMMI yang sangat erat dengan PKS. Muaranya, kepada pemahaman Ikhwanul Muslimin. Juga di sana ada aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka mempunyai underbow Gema Pembebasan sebagai wadah bagi kader mereka yang mahasiswa. Tak ketinggalan, pecahan HMI, HMI MPO turut pula meramaikan MRP. Berbagai pengajian digelar. Ustad yang mengisi berselang seling. Konon, karena berbagai pemahaman itulah, pihak kampus akhirnya membatasi aktivitas dakwah di MRP. Ingin saya berbagi panjang lebar di sini, sayang hari sudah larut. Mendirikan masjid mungkin gampang, memakmurkannya yang tak mudah. Merobohkan masjid mungkin juga gampang. Tapi mematikan ideologi…. [caption id="attachment_126567" align="alignleft" width="300" caption="Masjid Raden Patah riwayat mu....foto dr facebook teman istri saya"][/caption] *Diadaptasi, meniru dari paragrap pembuka Robohnya Surau Kami, AA NAvis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H