[caption id="attachment_142101" align="alignnone" width="600" caption="Menunggu sunset di Pulau Berhala, fotonya aldino/tribunjambi"][/caption] Selama dua hari dua malam saya berada di Pulau Berhala. Itu belum cukup untuk menikmati segala keelokannya. Menyusuri pantai berpasir putih atau menaiki bebatuan besar yang banyak terdapat di sana. Termasuk singgah di empat pulau kecil di sekitarnya. Dua hari terlalu sedikit. Keindahan Belitung dengan bebatuan besar di tepi pantai seperti yang disajikan Laskar Pelangi, seperti itulah banyak orang menggambarkannya ketika untuk kali pertama melihat Pulau Berhala. Sekian lama berada dalam status quo, akhirnya pulau di Selat Berhala ini resmi menjadi milik Provinsi Jambi sejak akhir Oktober lalu. Mendagri Gamawan Fauzi menetapkannya melalui Permendagri Nomor 44 Tahun 2011. Dan, keputusan itu menjadi pukulan telak bagi Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (kepri). Dikatakan telak karena selama ini Kepri dan Kabupaten Lingga telah mengeluarkan dana tak sedikit di pulau seluas sekira 20 hektare itu. Mulai dari untuk membangun infrastruktur, pembebasan lahan, membangun sekolah, puskesmas hingga permukiman bagi warga. Tak luput subsidi dan jatah hidup bagi pemegang identitas kepri di berhala. Sementara pemprov Jambi nyaris dikatakan tidak ada melakukan itu. Ketika keputusan Mendagri itu disampaikan ke publik, di Pulau Berhala akan berlangsung event Lingga Fishing Festival (LFF) yang digelar Pemkab Lingga, Kepri. Kini, sejak ditetapkannya Berhala menjadi milik Provinsi Jambi, Kepri tambah agresif. Puncaknya adalah kedatangan Gubernur Kepri M Sani untuk meresmikan BTS milik Indosat di sana. Mengapa saya katakan agresif? Saat di sana, Sani mengikrarkan bahwa Pulau Berhala ia ganti nama menjadi Pulau Berlian. Malah ia langsung menelpon Mendagri ketika itu dan menyampaikannya. Ia juga menegaskan bahwa Berhala adalah milik Kepri, bukan Jambi. Tindakan gubernur yang seorang birokrat itu kontraproduktif dengan pernyataan lainnya. Ia meminta agar Jambi dan Kepri bisa menahan diri tak membuat tindakan provokatif. Nyatanya? Keputusan Mendagri yang “menguntungkan” Jambi seolah jadi sandungan bagi Sani. Aksi demo mengkritik pemrintah Kepri langsung terjadi. Sani dinilai gagal mempertahankannya. Ini adalah periode pertama kepemimpinan Sani menjadi Gubernur Kepri, sebagaimana halnya Hasan Basri Agus (HBA) menjadi Gubernur Jambi. Sebagaimana yang mafhum terjadi di negeri ini, satu periode kepemimpinan dirasa belum cukup. Maka banyak kepala daerah yang mencoba menjadi pemimpin untuk periode kedua kalinya. Dan konstitusi memang membenarkan hal itu. Dalam kasus ini, boleh jadi Sani dirugikan. Seorang teman yang pernah bekerja di Batam bercerita, “lepasnya” Berhala dari Kepri diembuskan menjadi isu politis yang dapat merugikan Sani. Tentu itu berbeda dengan Gubernur Jambi lantaran seolah menerima berkah dari langit. Terlebih perjuangan Jambi mendapatkan berhala gigih dilakukan oleh gubernur sebelumnya, Zulkifli Nurdin. Bahkan seorang pejabat Jambi menyebut, ada kepentingan next election terkait perebutan Pulau Berhala. Tentu ia tak sedang menunjuk atasannya. Diluar intrik politik jika itu memang ada, banyak masalah yang harus ditangani di Berhala. Kesejahteraan penduduknya, pendidikan anak-anak di sana hingga pengelolaan pulau sebagai destinasi wisata. Tapi patut pula dipertanyakan, siapa sesungguhnya pemilik Berhala? Pemilik di sini bukan merujuk pada Kepri atau Jambi. Tapi pada individu atau mungkin korporasi yang menguasai petak tanah di sana. Mereka yang akan mencari untung ditengah konflik kepemilikan Berhala. Merka yang mementingkan kepentingannnya ketimbang kepentingan orang banyak. Jadi siapa tuan tanah pemilik Berhala? Tulisan tentang Indahnya Pulau Berhala ada di Sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H