[caption id="attachment_316158" align="alignnone" width="191" caption="cover buku panduan bahasa indonesia, diambil dr hasil gogling"][/caption] Anda yang dulu mengenyam pendidikan dasar era 1980-an, tentu tidak asing dengan tokoh Budi, Iwan, Wati. Bahkan sebagian anak masa kini, ada yang tahu akan tokoh tersebut. Budi dan dua adiknya itu adalah tokoh dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Ternyata penulis buku itu, Siti Rahmani Rauf memiliki kedekatan historis dengan Jambi. Usia Siti Rahmani Rauf sudah cukup tua. Tapi ketika saya mewawancarainya, suaranya terdengar jauh lebih muda dari usianya yang menginjak 91 tahun. Bahkan ketika ditanya tanggal lahir, ia gesit menjawab. “Tanggal lahir saya angkanya cantik. 5 Juni 1919,” katanya, Selasa (2/11). Terlahir di Sumatera Barat, kini nenek yang dulunya seorang guru itu tinggal di Jakarta. Perbincangan saya dengannya memang tidak secara langsung, melainkan melalui sambungan telepon. Namun, dimensi ruang dan jarak tak membatasi Siti bercerita panjang lebar. Antusiasme Siti juga tampak ketika saya memberitahu bahwa domisili saya di Jambi. Maklum, ternyata almarhum suaminya Abdul Rauf, merupakan orang Bungo. “Saya empat tahun tinggal di Jambi,” katanya. Perkenalan Siti dan Abdul Rauf, terjadi di masa awal kemerdekaan. Itu ketika Siti muda yang tinggal di Kota Padang harus mengungsi ke Muara Labuh, Solok. Di sanalah ia bertemu lelaki yang kelak menjadi ayah bagi sembilan anaknya. Siti yang oleh cucunya dipanggil Nenek Rauf mengatakan, suaminya merupakan saudagar di Bungo, Jambi. “Dulu ia ke Solok untuk berbelanja. Dia saudagar, bahkan ketika belanja ke Solok ia membawa 40 orang tukang pukul,” ujar Siti mengenang. Di sanalah awal mula pertemuan Siti dan Abdul Rauf. Sayang, Siti mengaku lupa ketika ditanya tanggal pernikahannya. Namun pernikahan itu terjadi dalam rentang waktu 1945-1948. Jauh sebelum mengenal suaminya, Siti merupakan seorang guru sekolah rakyat. Tak heran, ditengah keterbatasan guru di awal kemerdekaan, ketika ia ikut suaminya hijrah ke Jambi, Siti pun tetap mengajar. Menurutnya ia sempat tinggal di Jambi selama empat tahun. Itu, kata dia, dari tahun 1951 sampai 1954. Menurut penulis novel Di Ujung Penantian yang dimuat di Majalah Femina ini, ia dulu mengajar di sekolah rakyat. Sekolah rakyat itu, kata Siti, kini menjadi SDN 1 Kota Jambi. Siti tak bercerita banyak mengenai masa-masa ketika ia mengajar di Jambi. Pembicaraan via telepon kemarin pagi itu memang melompat-lompat. Tapi, menurutnya hingga saat ini keluarga mediang suaminya masih banyak yang menetap di Jambi, utamanya di Bungo. Asrani Rauf (59), anak ketiga Siti sempat berbincang dengan saya. Ia tak kalah antusias begitu diberitahu, yang menelponnya berada di Jambi. “Keluarga kami banyak di Jambi,” katanya. Menurut Asrani, silaturahmi mereka dengan keluarga ayahnya di Jambi masih terjalin. Ia juga membenarkan bahwa mediang ayahnya merupakan pengusaha. “Kalau sekarang keluarga yang di Bungo juga masih buka usaha, rata-rata hotel,” ujarnya sembari menyebut nama sejumlah hotel. Armaylia, salah seorang cucu Siti, dalam tulisannya di kompasiana menyebut bahwa neneknya itu merupakan anak kedua dari 13 bersaudara. Soal cerita buku ‘Ini Budi’, Siti bercerita bahwa buku itu terbit berawal dari keprihatinannya akan minimnya bahan bacaan untuk sekolah dasar ketika itu. Kala itu, cerita Siti, Menteri Pendidikan kerap memberikan up grading kepada guru-guru yang ada. Pembekalan dan jam mengajar itulah yang kemudian membuatnya menghasilkan masterpiece-Ini Budi. Karena kaya pengalaman mengajar, Siti akhirnya membuat buku pelajaran Bahasa Indonesia dengan tokoh Budi tersebut. “Tahun berapa ya…saya lupa,” aku Siti lantas tertawa saat ditanya tahun pembuatan buku itu. “Saya ketika itu sedih melihat guru-guru kelas satu sekolah dasar saat mengajar muridnya. Mereka tidak ada buku pegangan,” ungkap Siti datar mengingat dunia pendidikan Indonesia tempo dulu. Namun ia ingat betul, ketika buku itu lantas ia tawarkan ke penerbit untuk diperbanyak. “Saya tidak minta apa-apa waktu itu,” kata Siti polos dan mengaku lupa nama penerbitnya ketika itu. Siti memang tidak menerima royalti berupa rupiah yang terus mengalir atas karya ciptanya itu. “Oleh penerbit ketika itu saya hanya dibiayai haji,” katanya yang mengaku senang dengan imbalan itu. Pengakuannya, ia memang tidak mengetahui dan memikirkan soal royalti ketika itu. Menurut sang cucu Armaylia, buku panduan pelajaran Bahasa Indonesia itu diterbitkan oleh Balai Pustaka. “Dulu naskahnya dibeli putus. Bayaran yang diterima Nenek saat itu adalah pergi naik haji,” kata cucu Siti yang hobi menulis itu. Kini, darah penulis yang mengalir di darah Siti mengalir ke anak dan cucunya. Keterangan dari Asrani, saudaranya yang bekerja di Kementerian Kesehatan juga kerap menulis buku-buku panduan menegenai kesehatan. Di cucunya, darah penulis itu mengalir kepada Armaylia, sarjana teknik yang telah menerbitkan tiga buku anak. tulisan ini juga terbit di Tribun Jambi http://tribunjambi.com/read/artikel/6075 Baca juga: Surat dari Penulis Buku Ini Budi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H