Kantor mulai sepi. Keriuhan yang biasa tercipta, kini tak lagi riuh rendah. Ia senyap, nyaris. Sabtu (6/3) siang tujuh orang teman bertolak ke daerah penugasannya masing-masing. Batanghari ada Suang, Bungo digawangi Heru dan Habibie, Tanjab Barat diisi oleh Berman, Merangin digawangi Jariyanto. Terjauh Kabupaten Kerinci ada Edi dan Bandot.
Meski populasi di kelas, eh tepatnya di kantor, utamanya lantai dua tempat awak redaksi kian susut, tapi udara jauh lebih panas. Bukan karena jumlah karbondioksida yang dikeluarkan lebih banyak.
Kantor mulai sepi. Bukan saja sepi dari pada mahluk pembuat berita. Tapi dari mahluk pembuat sejuk udara alias AC. Sore ini, AC mulai dibongkar. Bukan karena digusur om.., tapi pendingin ruangan itu harus dipasang di kantor baru kami. Itulah mengapa suhu di ruang redaksi kian panas.
Wartawan daerah telah berangkat. Peralatan kantor pun telah didrop ke kantor baru. Tanda-tanda si jabang bayi Tribun Jambi akan lahir. Segera lahir, bahkan.
Sesekali aku membayangkan hari ketika edisi perdana Tribun Jambi terbit. Mulai dari konten, perwajahan, menjualnya hingga mengoreksi apa yang harus dibenahi.
Seperti apakah wajah kami nanti. Raut bahagiakah, atau sebaliknya? Ah, mengapa pula harus bersedih. Wajah letih kami kelak pasti akan bersinar bahagia.
Meski sudah sejak empat tahun lalu aku bekerja sebagai jurnalis, tapi itu bukan menerbitkan Koran untuk kali pertama. Maka tatkala bekerja untuk melahirkan Koran baru, suatu hal yang istimewa bagiku. Aku menyebutnya, angkatan kami sebagai golongan "assabiqunal awalun".
Menerbitkan Koran bukanlah perkara gampang. Terlebih sebagai pendatang baru di tengah menjamurnya media lain. "Gesekan", kalau memang mau disebut seperti itu, kini sudah mulai terasa.
Yang lebih jahat malah tidak sekali dua terjadi. Black campaign ternyata tidak saja di dunia para politisi. Entah siapa yang melakukannya. Biarlah mereka akan memakan tuahnya sendiri.
Tribun Jambi edisi perdana. Aku sudah membayangkan ketika menerima Koran edisi perdana itu. Ia akan kusimpan rapi. Aku yakin teman lain juga akan melakukan itu. He..he...he..Biarlah dikatakan norak, atau padanan kata lain yang dimaksudkan untuk mengejek atau memperolok-olok, he,,heh...
Aku juga yakin, utamanya teman-teman yang baru jadi wartawan. Hampir dapat dipastikan, ia akan membaca tulisannya terlebih dahulu. Berkali-kali mungkin. Ya, dulu ketika awal-awal menjadi wartawan, penyakit itu juga menjangkitiku. He..he..
Tribun Jambi. Semoga saja ia benar-benar membawa spirit baru bagi bumi puteri selaras pinang masak tinggal. Spirit yang mengubah paradigma yang salah terhadap pers di Jambi, mengubah sesuatu menjadi lebih baik tentunya. Terdengar common sense, tapi itulah yang memang hendak kami bangun. Mohon doanya.
"Jangan tersesat di jalan yang terang...." Kata-kata bang Dahlan Dahi yang akan diingat terus oleh kita, teman. Lalu, dengan semangat kita menyanyikan lagu kita bersama...
Kami wartawan Tribun....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H