Semalam saya tiba kembali di Surabaya. Setelah menempuh perjalanan sekian jam dari Jogja ingin rasanya cepat-cepat pulang ke rumah. Namun di pintu keluar, aliran penumpang yang baru turun dari kereta menjadi tersendat karena rupanya para pengemudi taksi (baik taksi biru, taksi warna lain, dan yang tak berwarna alias taksi plat hitam) dan pengemudi ojek memperlambat aliran penumpang keluar dengan menawarkan jasa mereka. Akibatnya untuk keluar dari stasiun jadi cukup memakan waktu.
Setelah keluar, terlintas di pikiran saya untuk menggunakan ojek. Supaya cepat dan lebih murah ketimbang naik taksi. Saya pun menanyakan harganya dan ternyata cukup fantastis sehingga saya sempat berpikir, kalau dengan harga segitu bedanya tipis sekali dengan naik taksi. Mending naik taksi saja. Tiba-tiba terlintas untuk memesan ojek online.
Karena sewaktu di Jakarta saya sudah pernah menggunakannya, saya pun menginput data asal dan tujuan. Kemudian keluarlah harga yang harus dibayarkan. Sangat masuk akal dan berbeda jauh dari yang ditawarkan ojek yang tadi. Selama ini pula selama menggunakan ojek online saya tidak menemukan masalah. Nah, ketika di stasiun Gubeng inilah baru saya menemukannya.
Pengemudi yang “ditugaskan” untuk menjemput saya menghubungi via telepon genggam. Melalui komunikasi yang singkat itu, dia meminta saya untuk bergeser sedikit ke kanan. Lebih tepatnya ke arah yang jauh dari pintu keluar stasiun. Karena sudah terlanjur memesan dan saya pikir pasti ada alasannya dia meminta hal tersebut, saya pun berjalan menjauhi pintu keluar stasiun. Untung barang bawaan saya tak banyak. Hanya satu kresek oleh-oleh dan tas ransel.
Akhirnya pengemudi ojek online itu terlihat. Masih dengan jaket kebanggaan yang berwarna hijau berikut helm yang berwarna hijau pula. Singkat cerita, sebelum menyodorkan helm untuk penumpang, dia meminta maaf karena saya menjadi repot harus berjalan dulu menjauhi pintu keluar. Di perjalanan baru saya ketahui sebabnya.
Pengemudi ojek ini pun bercerita panjang lebar bahwa dia pernah disandera karena mengambil penumpang seorang ibu-ibu muda yang nekad menggunakan ojek online di depan pintu keluar stasiun Gubeng. Dalam sekejap si pengemudi ojek online dikerubungi massa yang terdiri dari tukang ojek pangkalan, dan beberapa pengemudi taksi biru. Hingga saat ini, salah satu helm berwarna hijau yang dipercayakan padanya masih ditahan oleh massa tersebut. Peristiwa itu sudah hampir sebulan, katanya.
Hingga sekarang mereka harus sembunyi-sembunyi jika mengambil penumpang dari stasiun Gubeng. Ada titik-titik yang disepakati bagi pengemudi ojek online dan penumpang dari stasiun Gubeng yang masih ingin menggunakan jasa ojek online tersebut. Titik-titik pertemuan ini pun beredar dari mulut ke mulut dan sudah berjalan kurang lebih sebulan pula.
Apa artinya? Artinya, masih ada penumpang yang setia menggunakan ojek online. Mengapa? Karena datanya jelas, diinput di satu sistem sehingga jika ada sesuatu semuanya bisa terlacak. Okelah, itu memang keunggulan ojek online dibanding ojek biasa. Kalau dibandingkan dengan taksi bagaimana? Kalau dengan taksi sebenarnya masalahnya sepele.
Hanya masalah harga saja. Kita sama-sama tahu kalau menggunakan taksi biru dalam kondisi macet, maka tak bisa terbayang berapa harga yang harus dibayar. Tak ada patokan dan tak ada kesepakatan awal.
Lalu bagaimana nantinya? Akankah ojek online kehilangan pamor? Ternyata tidak juga, selagi masih ada orang-orang yang membutuhkan pasti mereka semakin kreatif mencari solusi. Seperti titik-titik pertemuan yang hanya diketahui dari mulut ke mulut tadi. Yang hanya diketahui oleh si penumpang loyal dan si pengemudi.
Lantas bagaimana nasib ojek pangkalan dan taksi biru tadi? Si taksi biru mau tak mau harus segera berbenah. Dulu ojek pangkalan adalah lawan mereka, tak hanya ojek, bahkan taksi-taksi yang memonopoli bandara juga masih bisa ditemukan sebagai lawan mereka. Dan kini mereka bersatu dengan para mantan lawan mereka dulu. Karena kepentingan yang sama? Mungkin juga.