Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur, Minggu (24/8/2015). (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Di kampungku, Kampung Kebon, Kemang, Jakarta, kebanyakan teman-teman sepermainanku, setamat Sekolah Dasar melanjutkan pendidikannya di bangku pesantren. Jarang yang meneruskan sekolahnya ke sekolah umum atawa SMP. Tujuan mereka dikirim ke pesantren oleh orang tuanya agar kelak (syukur-syukur) bisa menjadi pemimpin agama atau –paling tidak—bisa memimpin tahlil, arwahan atau ngajarin ngaji para tetangga kiri-kanan. Saking fanatik (atau lebih tepatnya) kuat memegang ajaran agama, para orang tua di kampungku seakan alergi dengan pola pendidikan yang diajarkan di sekolah mainstream alias sekolah berbasis pendidikan umum semisal, SD, SMP, dan SMA. Akibatnya, jenjang pendidikan yang dituju setamat sekolah dasar adalah langsung dikirim ke pesantren, atau bagi mereka yang anaknya gak betahan tinggal di Pesantren, biasanya dikirim ke sekolah (binaan Kementerian Agama) tingkatan tsanawiyah, dan aliyah.Â
Bagi para orang tua di kampungku, menyekolahkan anaknya ke pesantren seakan menyandang prestise dan gengsi yang tinggi di kalangan mereka. Makin jauh pesantren yang dituju, makin kesohor pula anak atau orangtuanya itu, apalagi bila sanggup mengirim putra-putrinya berguru ke Kairo, Mesir. Oh ya, menariknya, kebanyakan pesantren yang dituju adalah di Jawa Timur. Tidak ada yang ke Jawa bagian barat atau tengah. Maklum, mayoritas atau hampir di-reken 90% muslim Betawi di kampungku beraliran dan berpaham politik NU (entah sebagai partai politik ataupun sebagai jam’iyyah). Bagi mereka, Jawa Timur dipandang sebagai kiblat ajaran ahlussunnah waljamah di mana banyak berdiri pesantren. Sebut saja misalnya, di Jombang. Di sana ada 4 (empat) pesantren besar yang mewakili 4 penjuru mata angin. Di selatan ada Tebuireng, di utara ada Tambak Beras, di barat ada Denanyar, dan di timur ada Rejoso, Peterongan.Â
Dalam analisaku, kebiasaan mengirim anaknya ke pesantren di Jombang, Jawa Timur, lantaran --pada selepas Gestapu-- banyak pemuda Betawi di kampungku yang belajar di sana. Walhasil, ini seakan meneruskan tradisi yang sudah berjalan selama ini, yakni mengirim kembali para adik atau anaknya ke pesantren di sebelah Mojokerto itu. Selain itu, guru mengaji para orang tua di kampungku adalah juga jebolan dari pesantren asuhan kakek Gus Dur. Jadilah kebanyakan teman di kampungku nyantri dan mondok di pesantren di Jawa Timur.
Namun, bagi kalangan Islam ‘modernis’ di kampungku atau mereka yang tidak saklek pengikut NU, --meski jumlahnya sangat sedikit-- mereka, para orang tua, mengirim belajar putranya ke Pondok Modern (PM) Gontor, di Ponorogo ataupun pesantren yang berafiliasi ke Gontor. Kebalikan dari pesantren ‘tradisional’ khas NU, maka Gontor lebih menekankan pada ke’modern-annya. Seperti, para santri sudah dibiasakan berbusana rapi, berjas dan berdasi dalam tata acara resmi, serta memakai sarung dengan ikat pinggang saat shalat berjamaah di Masjid. Di samping itu, dalam sistem belajar pengajaran, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab atau Inggris. Sebaliknya, pada pesantren yang berafiliasi ke Tebuireng, untuk penterjemahan kitab-kitab klasik karya dari para ulama terdahulu adalah dengan memakai bahasa jawa atau Indonesia. Well, Saya tidak akan berpanjang kalam membahas perbedaan antara mazhab Tebuireng dan Gontor ini.
Waktu itu, tahun 80-an pesantren yang terkenal dan santer di perbincangan dalam obrolan antar orang tua di kampungku, selain Tebuireng dan Gontor, adalah Yapi Bangil, Asembagus, Situbondo; Pesantren di Malang; dan di Kediri. Tampaknya para orangtua mulai mencoba keluar dari konvensi yang ada dalam dunia kepesantrenan dengan menyekolahkan anaknya di luar kedua pondok besar itu. Ya mungkin dengan melihat pertimbangan bahwa di luar kedua pesantren besar itu banyak pula pesantren bagus dengan kualitas kyai dan guru pengasuh yang mumpuni.
Selain ke Jawa Timur ada pula sebagian kecil temanku yang gak betah jauh dari orang tua alias hanya ‘nyantri ‘ di sekitaran Jakarta. Ada banyak pesantren terkenal di Jakarta saat itu. Sebut saja misalnya Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta di mana pengasuhnya adalah jebolan dari PM Gontor. Ada pula pesantren yang diasuh oleh para guru dan ulama Betawi, seperti Pesantren As-Syafiiyyah di bilangan Balimatraman, Jakarta Selatan. Pesantren asuhan KH Abdullah Syafei ini banyak digemari kalangan Betawi. Beliau adalah ulama pribumi, dalam arti bukan dari kalangan habaib yang banyak bertebaran di Jakarta saat itu. Sama dengan KH. Hasyim As’arie, pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Syafei juga pernah berguru dan belajar di tanah suci, di Mekkah.
Kini, selepas mesantren, saat usia teman-temanku rata-rata berada di kisaran 40 (empat puluh) tahunan, yang berarti mereka sudah punya anak yang masuk usia layak di-pesantren-in, sudah tidak ada lagi yang meneruskan tradisi mengirim anaknya ke pesantren. Entah karena apa. Zaman dan pergeseran budaya telah berubah tampaknya. Atau bisa jadi ke-‘engganan’ mereka mengirim anak-anaknya ke pesantren lantaran himpitan dan biaya ekonomi yang tidak murah. Maklum saja, sekarang biaya untuk mesantren tidak murah, bisa berjuta-juta. Lain bila dibandingkan dengan uang masuk SMP/SMA yang murah bahkan gratis, ditambah ada embel-embel tunjangan dari Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H