Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sawit Itu Masih Menjadi Penanda

20 Januari 2016   12:26 Diperbarui: 20 Januari 2016   13:23 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dahulu, sekitar tahun 70-an, saat aku masih kecil, bila diajak bunda pergi berbelanja ke Pasar Minggu dengan Bus, (Mayasari Bakti, warna Hijau) pasti akan ‘singgah’ sebentar di Ragunan, tepatnya di Pintu Utama (Utara). Bus sengaja berhenti untuk melayani mereka yang hendak datang dan bertolak ke/dari Ragunan, Jakarta Selatan. Bus terpaksa singgah lantaran saat itu minim sekali trayek yang menuju dari dan ke objek wisata –satu-satunya dan murah meriah di Jakarta-- Kebun Binatang, Ragunan. Walhasil, rute Pasar Minggu – Blok M via Kemang yang di jalani Mayasari itu tidak langsung menuju ke barat, ke arah Ampera/Kemang, namun harus melipir terlebih dahulu selatan, ke Ragunan, untuk kemudian balik arah lagi ke utara lalu berbelok ke barat ke arah TB Simatupang dan Ampera, lalu ke Kemang dan berakhir di Terminal Blok M, (Aldiron Plaza) Kebayoran Baru.

Kebun Binatang Ragunan itu sendiri adalah pindahan dari Kebun Binatang Cikini yang berlokasi di pusat kota persis berseberangan dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) saat ini. Hikayat bercerita bahwa sekitar tahun 1964-an awal mula hijrahnya para kafilah binatang yang ada disana. Dalam catatan yang ditulis Soe Hok Gie, seorang pentolan mahasiswa UI tahun 60-an, ia dan teman-temannya kerap bersepeda, dari kampus mereka di Salemba/Rawamangun menuju ke arah selatan, yang berudara masih sangat segar, masih ijo royo-royo dan bersuasana alam khas ‘pedesaan,’ di Ragunan, Cilandak Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Hanya untuk sekadar melepas kepenatan dan hiruk pikuk kota.

Saking terkenalnya kawasan Pasar Minggu saat itu sebagai wilayah “pedesaan,’ maka masih sangat banyak dijumpai kebun-kebun penduduk Betawi yang lebar dan luas. Mata pencarian utama mereka adalah dengan berkebun, memanfaarkan luas areal lahan yang dimiliki untuk ditanami dengan aneka macam buahan. Jadilah kawasan Pasar Minggu, Ragunan, Cilandak, Jagakarsa, dan Ciganjur sebagai sentra penghasil beraneka macam buahan segar, di selatan Jakarta. Tak heran pada saat aku kecil, aku sering mendendangkan lagu anak-anak yang sangat beken pada saat itu yakni:

“Pepaya, mangga, pisang, jambu..

Dibawa dari Pasar Minggu..

Disana banyak penjualnya..

Dikota banyak pembelinya..”   

Nah, kembali ke ceritaku dimuka. Ada yang manarik saat bus melaju, yakni kita akan disuguhi jejeran pepohonan kelapa sawit yang dengan rapinya berbaris seolah menyambut dan tersenyum melambaikan dahan dan daunnya kepada para penumpang yang hendak ke Ragunan. Barisan kelapa sawit ini seakan sebagai penanda bahwa sebentar lagi, (lebih kurang 2KM) kita akan sampai di Kebun Binatang Ragunan. Saat itu, deretan Sawit itu, --dengan rentang jarak antar pohon sekira lima langkah-- terlihat oleh anak kecil sepertiku, seakan tentara yang berbaris rapi. Anggun dan seragam pertumbuhannya. Ini bisa jadi, lantaran sewaktu awal mula ditanam, dengan kondisi anakan pohon yang sama, maka pertumbuhannya pun seragam, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semua sama berjejer rapi.

Deretan pohon sawit ini akan kita jumpai mulai dari pertigaan Jalan Buncit Raya dan Jalan Raya Ragunan. Dengan sisi di kiri kanan jalan rumah penduduk yang masih tampak asri, belum terlihat show room ataupun perkantoran di sekitarnya, seperti saat ini. Namun kini (dalam amatanku pada Desember 2015 lalu) meski jajaran pohon sawit masih tersisa di sana, deretan itu tidak berjajar rapi, melainkan ada beberapa pohon yang sengaja atau tidak, telah tumbang atau ditumbangkan dan tercabut dari asalnya. Akibatnya, meski penanda arah menuju ke Ragunan yakni Sawit itu masih ada, namun tidak serapih dan seanggun saat aku sering melewatinya di tahun 70-an.

Tampaknya arus pembangunan menerjang berbagai kawasan di Jakarta. Wilayah yang dulunya tertata rapi, kini berubah oleh tuntutan hidup dan modernitas. Rumah dan pekarang milik warga Betawi yang lebar dan luas, tergusur oleh pembangunan, berubah menjadi show room, bengkel, pom bensin, perkantoran, dan lahan usaha lainnya. Beruntung, meski tidak se-asri dan sebagus dulu, namun kini, selepas 30 tahun berlalu, mascot Ragunan, berupa deretan pohon kelapa sawit masih tetap ada. Deretan sawit masih kokoh berdiri sebagai penanda tak jauh darinya akan dijumpai aneka satwa di Kebun Binatang Ragunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun